Kita bisa berdebat, tapi aku punya alasan kenapa sampai bilang Nicholas Saputra idola yang agak “buruk”. Twitternya boring banget. Gaya hidupnya sangat positif. Boro-boro romantis, lucu aja ga. Pandangan politiknya moderat-konvensional. Beberapa pilihan hidupnya bahkan kontradiktif. Ia mengampanyekan pelestarian lingkungan sekaligus mempromosikan produk otomotif. Ia sering menghabiskan waktu di laut dan hutan, namun masih mau membintangi iklan mal.
Jika alasan menggemari Nico adalah ketampanan, nyaris tak ada selfie untuk dua juta pengikutnya di Twitter dan Instagram. Mengharap selfie dari Nico bahkan bisa dibilang harapan terlalu muluk mengingat ia jarang update medsos. Dan jika kamu ingat, salah satu selfie fenomenalnya adalah di hari coblosan pilpres 17 April tahun lalu. Dengan terang benderang Nico menunjukkan ia mendukung Jokowi dua periode. Artinya, ada banyak sekali alasan untuk biasa-biasa saja ke doi, atau bahkan antipati.
Videos by VICE
Masalahnya, alasan untuk suka Nico lebih banyak. Hehehe.
Nicholas Saputra sekarang adalah versi terbaik Nicholas Saputra. Maksudnya, kita sadar kok dia punya segalanya untuk tidak jadi Nicholas Saputra yang kita kenal. Menjajal hidup hedon dan pamer jalan-jalan pake jet pribadi, tentu dia bisa. Eh, dia malah sering kedapatan jalan kaki. Sendirian pula. Kalau mau, Nico juga bisa menggaet hampir semua perempuan (dan laki-laki, berhubung cowok-cowok juga mengaku klepek-klepek pas ketemu doi langsung) yang ia inginkan. Nyatanya, dan ini bikin dia makin keren, ia nyaman-nyaman aja sendirian. Baru belakangan kok dia serumah bertiga. Itu pun yang dua anjing.
Nico juga amat sangat bisa menggunakan keterkenalan, pengaruh, dan ketampanannya untuk jadi laki-laki jahat: petualang cinta lah, jadi buzzeRp lah, bikin drama di infotainment, atau ketularan demam bikin channel YouTube berisi konten nirfaedah. Belum kalau kita bicara politik. Aldi Taher aja pede menjajal peruntungan, apalagi Babang Nico. Dijamin langsung tembus kalau doi sudi nyaleg. Ketika dia tidak melakukan semua itu, alasan untuk kagum apa lagi yang kaubutuhkan?
Di sinilah hebatnya (gapapa rada hiperbolis, namanya juga fans). Selama delapan belas tahun, sejak Ada Apa dengan Cinta? meledak, Nico dikenal dan terkenal karena tetap membumi. Seolah-olah keaktoran cuma sambilan ga penting alias bukan identitas utama. Dulu dia pelajar tertib di SMA unggulan yang kebetulan jadi artis. Terus dia jadi mahasiswa-kebetulan-artis yang kuliah di jurusan bergengsi di kampus bonafide (dan lulus tepat waktu). Sekarang, Nicsap “sekadar” pria lajang pencinta alam yang lagi-lagi kayak kebetulan aja gitu jadi artis.
Pemandangan seperti itu membuat sosok Nico lain daripada yang lain. Dia kayak tokoh teenlit yang, suremnya, beneran ada dan nyata. Fahri Ayat-ayat Cinta 2 lewat. Rangga AADC sekalipun tak lagi menggugah selera karena diam-diam bucin dan itu menyebalkan. Nicholas Saputra adalah jenis orang yang fotonya layak kita posting di medsos dengan bubuhan caption “Kejar daku kau kutangkap”. Dengan kesempurnaan yang riil itu, Nico satu juta persen layak diidolakan.
Satu lagi yang membedakan Nicholas Saputra dari seleb-seleb idaman lainnya. Sebagai pengidap fetish cowok-cowok misterius, aku pernah tergila-gila pada Tio Pakusadewo karena punya bad boy look yang makin tua makin menjadi. Ketika masih lalu lalang di berbagai video-video klip album Bintang di Surga, Ariel Peterpan sangat sulit untuk tidak diimpikan. Namun, ada tempat khusus untuk Nicholas Saputra di diriku dan—terpaksa aku main klaim—jutaan orang Indonesia lain. Ia berhasil membuat kami belajar apa itu cinta. Ini terdengar norak. Tapi itu karena kalian belum merasakannya.
Menyingkirkan gengsi di hadapan cinta
Aku beberapa kali ketemu artis. Christian Sugiono pas acara Wikipedia. Sissy Priscillia di toilet mal Citywalk. Dwi Sasono ketika promo film di kampusku. Duta Sheila on 7 pas ngantre di CGV. Respons umumku saat ketemu mereka: jaga gengsi dengan pura-pura tidak peduli biar ga dianggap fans norak.
Lain cerita kalau bicara Nicsap. Secara orang ini perwujudan kesempurnaan di muka bumi. Aku rela melakukan segalanya demi bisa dekat dengannya, menarik perhatiannya. Di level paling ekstrem, kalau Nicsap nyuruh aku jadi pembantunya, dapat bayaran di bawah UMR pun aku rela. Jika Nicsap lewat di depanku, diminta joget “Terpesona” aku bersedia. Aku ga tahu dari mana asal-usul hilangnya rasa malu khusus untuk Nicsap ini, tapi konon cinta sejati membuat kita jadi diri sendiri. Kepada Mas Nico, cinta itu aku persembahkan. Sisa-sisanya baru untuk calon suami.
Membuktikan cinta platonis itu ada dan tetap membahagiakan
Kamus Oxford mengartikan cinta platonis sebagai cinta tanpa tendensi seksual. Kalau diindonesiakan dengan kearifan lokal, platonic love sinonim dengan cinta tak harus memiliki. Terdengar agung dan luhur, tapi buat sebagian besar orang konsep ini omong kosong. Terkecuali tokoh kita satu ini.
Emang sih, perilaku mencintai pesohor emang bisanya platonis doang. Tapi kurasa sama Nico platonisnya keterlaluan. Pertama, unsur seksualnya udah sangar minor. Aku ga pernah dan ga sanggup juga ngebayangin ngewe sama doi saking suci gambaran Nico di kepalaku. Kedua, jika tak bisa memiliki, paling ga kita memelihara hasrat ini dengan stalking medsosnya dong. Masalahnya resep ini ga berlaku di Nico. Buka medsosnya yang ada malah foto bangunan, gajah, pantai, hutan, karya seni, lanskap perkotaan. Nyaris tak ada selfie. Jarang sekali foto diri.
Rasanya baru kali ini nyari selfie idola susahnya minta ampun. Aku sampe ngitung, dari 4.848 twit dan 796 post Instagram yang pernah dia buat sampai hari ini (29/12), cuma dua kali doi post selfie. Selain foto diri di pilpres kemarin, cuma tersisa selfie di Ambon pada 2014 berikut. Fyuh! Bodo amat angle-nya dari bawah ala om-om paruh baya, orang jual mahal tetep ngegemesin. Iiih!
Keterbatasan stok selfie Nico menimbulkan kegilaan lain di diriku. Aku jadi suka banget nykrinsut video atau foto di mana ia tampak super duper ganteng. Misalnya waktu dia posting selfie nyoblos itu. Di bawah intimidasi “delete soon” aku gercep menyimpan foto tersebut beserta komen-komen dari sesama artis. Aksi skrinsut dengan semangat ‘45 terulang saat video klip “Adu Rayu” milik Yovie Widianto-Tulus-Glenn Fredly dirilis. Semua skrinsutan tersebut tersimpan aman di folder khusus “Nicholas Saputra” di laptopku.
Bukti lain betapa luhur cinta platonis penggemar Nico ada pada kesediaan kami berbagi cinta. Udah jadi urban legend kan gimana halunya penggemar Nico ketika memberondong kolom komentar medsos idola mereka. Segala komen ditambah kreasi editan foto artinya satu doang: semua berpikir Nico milik mereka seorang. Namun, di saat yang sama, di kolom komentar itu, mereka juga mestinya sadar spesies halu kayak mereka banyak banget. Tapi semuanya bisa berdamai dengan kehaluan satu sama lain. Kesimpulannya: Ahmad Dhani boleh menyanyikan ulang “Madu Tiga”, Einstein boleh membuat kutipan “Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan”, dan RCTI boleh jadi pemilik tunggal acara “Dahsyat”. Tapi Nicholas Saputra membuktikan, dirinyalah yang berhak atas semua itu.
Refleksi: Walau doi ga pernah protes, sepertinya komen halu-menggoda ke Nico perlu dikurangi deh. Hasil memantau ke-796 postingan feed Instagramnya, aku mendapati jaman dulu dia masih mau ngupload foto diri lho. Baru belakangan kebiasaan itu berhenti. Sebagai fans yang bermartabat aku jadi lumayan insecure, jangan-jangan dia ga nyaman ya sama komen-komen kita?
Cinta adalah cinta
Kamu mungkin ngira aku sedang meniru definisi ala UU Cipta Kerja, tapi ini maksudnya hanya ada cinta di antara penggemar Nicholas Saputra, gituuu.
Jadi gini. Mungkin ini dialami fans Nico lainnya. Seumur hidup mencintai Nicholas Saputra dan terang-terangan menunjukkannya, aku udah kenyang sama omongan orang lain yang menyahut, “Kan dia gay?” Ini isu yang udah bertahun-tahun disematkan ke Nico dan kayaknya ga banyak yang menulis. Jadi kita buka-bukaan aja sekarang. Aku, sebagai fans, selalu gampang merespons pernyataan kayak gitu. Satu, itu urusan pribadi Nico. Kedua, kalau iya juga kenapa. Suka-suka dia lah.
Isu gay adalah satu dari dua rumor paling kencang yang menerpa Nicsap. Emang tipikal Indonesia banget ya, kita susah banget melihat orang bahagia sendirian. Gosip lainnya tentu tak lain dan tak bukan soal Nico punya perasaan ke Mariana Renata, tapi Mar ga membalas (pelajaran moral: di atas langit masih ada langit).
Untunglah, kelihatannya fans santai dengan dua kabar burung ini. Aku ga pernah lihat isu gay tersebut jadi omongan besar, berhenti jadi bisik-bisik doang. Sedangkan soal Mar, selain sadar diri kita ini cuma minyak jelantah di hadapan Mariana Renata, kayaknya semua orang sepakat mereka emang cocok.
Indah banget kan mencintai Nicsap tuh. Kayak gini nih yang namanya make love not war. Tak sabar menunggu ada yang bikin agama Nicholas Saputra.
Menyatukan berbagai generasi
Gontok-gontokan antargenerasi di Indonesia lumayan kenceng. Satu sama lain merasa berbeda dan lebih baik. Yang boomer suka nyalahin milenial (dan sebenarnya Gen Z juga, tapi mereka suka susah ngebedain), sementara kaum milenial dan Gen Z kadung antipati sehingga kerap menjadikan boomer olok-olokan. Padahal kalau sadar, boomer yang ngatain milenial kan sama aja ngatain anaknya sendiri sebagaimana milenial dan Gen Z lagi ngejekin ortu mereka.
Alhamdulillah. Puji tuhan. Di hadapan Nicholas Saputra, antargenerasi ini bisa adem ayem damai berangkulan dalam kasih. Dari Maia Estianty yang hampir kepala lima sampai dedek gemes kelahiran 2000-an. Dari ibu-ibu yang keranjingan kriwilnya Nico karena nonton AADC semasa SMA sampai anak mereka yang baru kenal Nico gegara iklan sabun pembersih muka. Kalau ada yang menyimpan gondok, palingan bapak-bapak perut buncit yang lelah dibanding-bandingkan.
Menulis artikel ini menyadarkanku, sebenarnya kita ga akan kehabisan idola yang positif dan less drama kok. Yang penting prinsip utama tetap dipegang aja: kalo ngefans jangan dekat-dekat, nanti kecewa.
Bonus dari sisa riset artikel ini: kumpulan fun fact seputar Nicholas Saputra.
- Medsosnya cuma berisi postingan kerjaan (promosi film dan brand) dan liburan (yang kadang sulit dibedain dari kerja).
- Nicsap tidak punya FB dan paling aktif di Instagram. Tapi seingatku doi ga pernah posting IG Story.
- Pertama kali ngetwit pada 20 Juli 2013, Nico pernah punya hestek andalan #nyeruputkopi. Fix, doi pernah dan mungkin masih jadi anak senja dan kopi.
- ‘Comfort food’ Nicsap: nasi telur ceplok/dadar dikasih kecap
- Foto pertamanya di Instagram ini mengingatkanku pada tren awal di media sosial tersebut: fotografi ala-ala kamera lomo dengan tone cokelat. Siapa sangka kelak definisi Instagramable adalah potret warna-warni.
- Nicsap adalah anak Jakarta yang benci Jakarta. Semua twitnya soal Jakarta cuma seputar panas dan macet
- Nicholas Saputra suka durian!
Jadi, setelah baca sampai sini, apakah kalian sudah tertarik bergabung dalam keluarga besar penggemar Niscap?