Alasan Politis Glasgow Rangers dan Glasgow Celtic Punya Banyak Suporter Ideologis di Seantero Eropa


Walaupun Old Firm—julukan kolektif untuk Glasgow Rangers FC dan Glasgow Celtic FC—sudah punya nama besar di kancah persepakbolaan Skotlandia, dua kesebelasan itu tak cuma populer di Skotlandia. Baik Celtic dan Rangers punya fan setia di berbagai klab sepakbola di luar negeri. Para suporter ini umumnya tertarik lantaran perbedaan politik yang dianut oleh kedua tim. Dan layaknya, seperti yang terjadi di Skotlandia, persaingan fans kedua tim di negara lain juga tak kalah sengitnya.

Aliansi penggemar Celtic atau Rangers yang biasanya bersifat informal ini punya cerita asal-usulnya sendiri, atau—kalau boleh jujur—cerita yang asal-usul yang dibentuk dari fakta-fakta yang saling berlawanan. Contohnya, persahabatan antara St Pauli dan Celtic berawal dari kontak-kontakan antara pembuat fanzine kedua kesebalasan, pertemuan antara suporter, kelakatan hubungan fan kedua kesebelasan, pertandingan-pertandingan yang dijalani Celtic di kancah sepakbola Eropa pada dekade ‘80an dan 90an, serta laga-laga Celtic pada 1992 melawan Koln dan Borussia Dortmund yang anehnya dihadiri fan St Pauli.

Rangers, sementara itu, punya hubungan dekat dengan HSV, sebuah klub dari Hamburg selain St Pauli. Dalam kisah fan Rangers, persahabatan antara kedua kelompok pendukung ini bermula ketika segolongan penduduk Glasgow berimigrasi ke Jerman Barat sebagai gastarbeiter (terjemahan harfiahnya “pekerja tamu”) pada tahun ‘70an dan membentuk klub suporter Ranger. Ada juga yang bilang kalau kedekatan antara fan kedua klub lahir dari partai-partai persahabatan antara HSV dan Rangers pada dekade yang sama. Versi lain cerita awal persahabatan kedua klub menyebutkan bahwa fan Rangers dan HSV saling menyaingi karena kedua klub pernah dibela midfielder yang sama Jörg Albertz. Pada 1996, Albertz ditransfer dari HSV ke Rangers. Lima tahun berselang, giliran Albertz ditansfer balik ke HSV. Mana cerita yang paling valid? Entahlah. Keabsahan tiap cerita tergantung siapa yang kamu tanyai.

Kerancuan cerita-cerita adalah buah dari sejarah oral Old Firm—terminologi ini dianggap oleh banyak fan Celtic tak berlaku lagi saat ini sejak Rangers dilikuidasi pada 2012—yang rumit dan panjang. Pada kenyataannya, persaingan kedua klub punya akar yang sangat dalam hingga merembet ke kedekatan kedua tim dengan St Pauli dan HSV. Tak percaya? Cobalah ngobrol dengan fan Rangers dan Celtic tentang kedekatannya dengan HSV dan St Pauli, niscaya mereka kan mengaku kalau tak cuma kesamaan antara mereka begitu banyak, namun bahwa “rasa sayang’ antara mereka begitu intens dan tulus. “Dalam banyak aspek, kedekatan fan Ranger (dengan HSV) adalah reaksi mereka atas kedekatan Celtic dengan St Pauli,” ujar salah satu fan Celtic yang saya temui. “Persahabatan mereka muncul cuma demi menyaingi kedekatan kami dengan St Pauli. Saya pikir mereka enggak punya hubungan seperti yang kami punya.”

Tentu saja, fan Rangers yang saya temui ngomong sebaliknya.

Bagi banyak pendukung Celtic dan Rangers, persahabatan dengan fan grup adalah tentang membina hubungan, bertukar cerita-cerita spektakuler yang melibatkan klub kesayangan mereka, mengingat-ngingat kembali kejayaan klub dan tentu saja mabok-mabokan. Namun, bagi sejumput fan lainnya, ada juga sudut politik dalam hubungan mereka dengan fanbase di luar Skotlandia. Di St Pauli, fan Celtic yang terkenal berada di kuadaran politik kiri—dan jumlahnya tak sedikit—menemukan saudara alami mereka. St Pauli memang dikenal sebagai kesebelasan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan sosialisme serta getol menentang fasisme. Sejarah panjang keterlibatan St Pauli di dunia politik juga tidak pendek. Klub ini punya reputasi sebagai klub punk yang lahir dari gerakan squatter di Hamburg pada dekade ‘80an. Akibatnya, ada beberapa fan Celtic yang menemukan kesamaan semangat anti kemapanan pada klub divisi dua Bundesliga itu.

Ketika saya ngobrol dengan Paul John Dykes, penulis beberapa buku tentang Celtic serta co-host podcast A Celtic State of Mind, kepercayaan akan adanya identitas bersama antara fan Celtic dan St Pauli terlihat jelas. “Kalau kamu nanya apa yang bikin fan Celtic tertarik dengan klub yang mirip dengan kesebelasan kesayangan mereka, maka jawabannya adalah kesamaan pandangan politik. Fan Celtic selalu terpesona dengan sikap politik kiri dan anti fasis, itu dugaan saya,” katanya. “Ada juga ketertarikan terhadap kelompok-kelompok yang pernah menjadi korban tindakan opresif seorang sosok otoriter. Inilah hal-hal selalu dicari oleh fan Celtic.”

Kecenderungan untuk mengambil sikap politik ada kaitannya dengan kancah politik Irlandia dan akar Celtic diaspora penduduk katolik Irlandia, yang secara tradisional tak cuma progresif namun juga secara historis selalu bersebrangan dengan kemapanan. “St Pauli dan Celtic punya sudut anti-otoritas yang sama.. ini sebenar-benarnya sikap memberontak,” kata Paul.

Keintiman antara fan St Pauli dan Celtic paling kentara di kelompok ultras Celtic yang paling politis, The Green Brigade. Gara-gara grup inilah, ikon-ikon khas St Pauli bersliweran di Celtic Park. Paul mengungkapkan bahwa meminjam banyak aspek dari rekan mereka di Hamburg. Yel-yel logo tengkorak mereka sangat dipengaruhi oleh fan St Pauli. Sebaliknya, banyak pendukung setia St Pauli yang getol hadir dalam laga-laga kandang klub itu jah cinta pada permainan sepakbola dan sepak terjang Celtic di dunia politik. Rasa cinta berlebih macam ini kadang diwujudkan dengan berkunjung langsung Glasgow, menyambangi markas Celtic. Beberapa suporter Celtic bahkan mengklaim pernah menjadi pemandu bagi fan-fan St Pauli yang datang ke melawat ke Glasgow selama lebih dari 20 tahun. Dengan berbotol-botol bir yang dihidangkan, pertemuan antara fan kedua klub biasanya jadi ajang edukasi tentang hak-hak squatter di Hafenstraße Hamburg hingga seluk peluk nasionalisme Irlandia yang rumit.

Tentu saja, tak semua pecinta sepakbola di Hamburg mencintai Celtic. Beberapa diantaranya menyerahkan hatinya pada Ranger. Kendati kedekatan HSV dan Rangers kurang berbau politis—buktinya waktu saya ngobrol dengan Fan kedua klub di grup Facebook “Rangers Hamburg Linfield Blues Brothers,” mereka lebih doyan ngobrol tentangJörg Albertz–tak berarti sisi politis dari Old Firm sama sekali tak menarik bagi mereka. Sebelum sebuah pertandingan liga Eropa antara Celtic dan HSV pada 2009, seorang fans Hamburd terlihat mengangkat tinggi-tinggi sebuah poster bendera Union Jack berwarna hitam dan biru dengan tulisan “No Surrender” di atasnya. Hanya orang naif yang menganggap ini sebagai aksi yang kurang politis, apalagi kalau pelakunya paham betul seluk beluk kancah persepakbolaan Skotlandia.

Kedekatan yang lebih politis memang tak terjadi antara Rangers dan Linfield. Fan Rangers bakal merasa senasib sepenanggungan secara politis dengan kesebelasan Linfield asal Irlandia utara. Mereka sama-sama merasa bagian dari komunitas protestan unionis di kawasan itu. Ketika saya cecar apakah ada elemen politis dalam relasi fan club kedua klub, seorang pendukung Linfield menjawab: “Kayaknya sih ada…dan saya rasa ini bukan hal yang harusnya bikin kamu malu. Suporter Linfield bangga dengan background kelas pekerja dan akar protestan mereka. Begitu juga dengan fan Rangers. Seperti di Hamburger, ada kebencian tersendiri di kalangan pendukung Linfield saban kali Celtic berlaga melawan Linfield dalam babak kualifikasi Piala Champion musim panas lalu. Aura permusuhan membuat pertandingan berlangsung panas. Striker Hoops—julukan untuk kesebalasan Celtic—kewalahah menghindari segala macam benda yang dilemparkan kepadanya. Sebotol Buckfast hampir mengenai kepalanya. Beredar juga tuduhan bahwa fan kedua kesebalasan sama-sama menyanyikan yel-yel bernada sektarian. Bahkan, beberapa anggota The Green Brigade harus dicokok polisi karena mengibarkan bandner bernada kontroversial. “Kenakalan” ini pada akhirnya memaksa Celtic membayar sejumlah denda (meki tentu saja ini bukan yang pertama kali.)

Videos by VICE

Penggemar Barcelona yang pro kemerdekaan Katalunya memajang banner menyambut kedatangan pasukan Celtic sebelum bertanding Melawan FC Barcelona . Foto: ZUMA Press, Inc / Alamy Stock Photo

Beberapa kali, ada semacam upaya untuk menghubungkan dengan Celtic dengan beragam grup fan yang cenderung “kekiri-kirian” di Eropa seperti supoter Livorno, Marseille, AEK Athens dan FC Barcelona. Namun, usaha ini hanya upaya semenjana yang digalang di forum fan dan dalam komunikasi online antara grup online. AEK punya kedekatan dengan St Pauli yang dibangun oleh suporter AEK dalam fan-fan St Pauli. Lantaran St Pauli dikenal mesra dengan Celtic, bisa jadi ada semacam “rasa sayang” terhadap Celtic di antara pendukung AEK. buktinya, beberapa tahun lalu, fan AEK kedapatan memamerkan banner anti Rangers bernada kasar. Hubungan Celtic dan Barca—klub lain yang dianggap anti fasis gara-gara punya sejarah perlawanan terhadap pemimin fasis Fransisco Franco—seperti bakal makin penting, apalagi setelah referendum kemerdekaan Katalunya yang ditanggapi dengan keras oleh pemerintah Spanyol. Reaksi keras pemerintah Spanyol mendorong munculnya pesan-pesan solidaritas dari fan Celtic yang membanjiri sosial media dan berbagai kanal lainnya.

Jika fan-fan Celtic ini konsisten mengidentifikasikan diri mereka dengan grup lain yang mereka anggap sebagai korban opresi pemerintah otoritas serta dengan kesebesalan pendukung pemisahan diri sebuah wilayah—yang kian relevan dalam perbincangan tentang nasionalisme Irlandia dan isu kemerdekaan Skotlandia—hubungan antara Barca dan Celtic niscaya bakal makin lekat di masa depan. Malah, tanda-tanda penguatan sudah muncul beberapa tahun ini. Saat Celtic bertandang ke Camp Nou untuk menjalani laga Liga Cahmpion september 2016 silam, Hoops disambut dengan banner bertuliskan “Welcome to Catalonia”, yang dihiasi bendera Irlandia dan Skotlandia.

Di saat yang sama, hubungan antara Rangers dan Espanyol, tim dari Barcelona lainnya, juga mulai tumbuh. Pada Desember 2016, The Daily Record menurunkan sebuah berita yang menyebutkan bahwa segelinit fan Espanyol baru mendirikan klub penggemar Rangers. Anggota klub penggemar Rangers anyar malah sampai rela melancong ke Ibrox untuk menyemangati the Gers—julukan Rangers. Pendiri klub tersebut menjelasakan: “Barcelona selalu dihubungkan status quo di Katalunya yang ingin memerdekakan diri dari Spanyol sementara Espanyol dihubungkan dengan loyalitas pada Spanyol dan keinginan untuk menjaga keutuhan bangga…di sisi ini kami merasa sangat mirip dengan Rangers.”
Jelas, dalam kasus ini, baik fan Rangers atau Celtic tak usah repot-repot mengambil inisiatif menjalin hubungan. Sebaliknya, fan kesebelasan lainlah yang berusaha menemukan kesamaan dalam kedua klub dari Glasgow tersebut.

Fans Glasgow Rangers. Foto: Tony Clerkson / Alamy Stock Photo

Lalu, tentu saja, ada ikatan antara Old Fim dengan klub-klub liga Inggris. Celtic punya sangat akbar dengan Liverpool. Akarnya adalah diaspora penduduk Irlandia di Merseyside, persahabatan antara dua manajer legendaris Jock Stein dan Bill Shankly serta mazhab politik sosialis dianut di kedua kota pelabuhan pasca Industri tersebut. Tak beberapa lama setelah bencana Hillsborough terjadi, Celtic dan Liverpool segera menggelar pertandingan persahabatan yang akhirnya memperkuat ikatan antara keduanya. Kedua klub berbagai anthem yang sama “You’ll Never Walk Alone” (masih debat tentang fan mana dulu yang menyanyikan lagu ini. Biasanya yang menang tetap fan Liverpool sih). Sementara itu, Rangers sering terlihat mesara dengan Chelsea—atau tepatnya sebagain kecil fan Chelsea yang kerap berlebihan memamerkan patriotisme ala Inggris mereka—meski sebenarnya The Gers dikenal ramah dengan klub-klub Inggris lainnya.

Kita boleh saja mengaitkan perseteruan antara dua klub Old Form ini dengan beragam pemahaman politik entah itu unionis, secesionist, sosialis atau nasionalis, pada akhir kita bisa dengan mudah mengesampingkan kalau perseteruan antara Celtic dan Rangers hanya sebuah pertandingan sepakbola. Kenyataan ada banyak suporter kedua klub yang enggan menyamakan laga-laga anara Hoops dan The Gers sebagai saga simbolisme politik. Bagi mereka, ini cuma pertandingan sepakbola dan politik sebaiknya ditinggal sebelum masuk stadion. Orang-orang ini pulalah yang mungkin kurang nyaman—atau bahkan menunjukkan ketidaksetujuan—dengan yel-yel penuh ujaran kebencian yang lantang dinyanyikan di Ibrox atau Celtic Park. segelintir fan kedua tim yang malah tak punya waktu hal-hal seperti atau setidaknya menganggapnya berlebihan. Stewart, admin forum fan Rangers independen, Gersnet, misalnya.

“Saya curiganya politik—atau lebih tepatnya tribalisme—adalah bagian besar dari hubungan klub ini dengan klub lain di luar negeri,” katanya. “Unionisme, republikanisme, monarkisme, loyalisme, sosialisme dan agama tentu saja bisa ditemukan di kebanyak klub sepakbola di seluruh dunia. Beberapa klub sepakbola menganggap klub lain musuh bebuyutan cuma karena perbedaan pandangan politik. Apakah hal ini dibesar-besarkan di Old Firm? Bisa jadi. Beberapa peristiwa politik seperti kemerdekaan Skotlandia dan Brexit mungkin membuat hal ini makin kuat. Saya rasa bagi sebagain fan yang tak banyak angkat bicara, persinggungan dengan politik bisa menyulut rasa cinat mendalam terhadap klub sepakbola.”

Keengganan macam ini juga begitu kentara pada seorang suporter Celtic yang mengontak saya lewat forum Kerrydale Street. Ucapannya mengingatkan saya bahwa mencampur politik dan sepakbola bukan hobi semua orang. “Saya pernah ke Hamburg tapi melewatkan satu laga St Pauli buat nongkrong dan minum mojito di Reeperbahn,” akunya. Ya, beberapa orang punya priotitas yang lebih penting daripada politik atau sepakbola itu sendiri. Pria ini salah satunya.

“Saya enggak ngerasa bersalah dengan keputusan saya waktu itu,” imbuhnya.

penulis bisa dihubungi di akung twitter @W_F_Magee