Kami Bertanya ke Psikolog Kenapa Ada Orang Demen Menimbun Barang Gak Guna

oameni care sunt hoarderi, ce e un hoarder, de ce strang oamenii lucruri inutile

Saya punya kebiasaan menyimpan baju yang jarang atau sudah tak terpakai. Bahkan saya sulit merelakan pakaian yang sudah tidak muat. Entah mengapa saya bisa seperti ini, tapi mungkin karena dulu ibu selalu menyuruhku menyimpan pakaian terbaik untuk acara tertentu. Akibatnya, tanpa sadar saya membiarkannya menggunung, meski saya sudah tidak membutuhkannya. Baju tidur motif kartun kesukaan semasa kecil, kaus yang ternodai kuah sayur hingga celana jins yang kekecilan berjejalan di dalam lemari. Saya juga berpura-pura seolah tidak ada baju bekas yang berserakan di kolong tempat tidur atau di balik gorden.

Saya baru menata lemari dan menyisihkan pakaian lama setelah teman menyinggung betapa buruknya kebiasaan ini. Akan tetapi, yang saya lakukan cuma mengumpulkannya dalam satu bundelan dan… membiarkannya tergeletak begitu saja. Barulah ketika saya hendak pindah ke luar kota, saya mau tak mau menyumbangkan pakaian lamaku. Di satu sisi, saya merasa lega. Di sisi lain, saya dihantui perasaan gelisah.

Videos by VICE

Penimbun umumnya merasa berat membuang atau menyingkirkan barang yang sudah tidak diperlukan. Dalam kasus ekstrem, keharusan ini bisa bikin seseorang stres dan bingung berbuat apa. Mereka yakin bendanya masih berguna, dan siapa tahu akan membutuhkannya lagi suatu saat nanti.

Selain itu, ada yang memborong sesuatu dalam jumlah besar karena takut kehabisan. Contohnya bisa kita lihat sendiri saat orang menimbun masker di awal pandemi, atau mereka yang memborong susu suatu merek ketika varian baru Covid-19 sedang parah-parahnya.

“Orang menimbun barang yang secara objektif tidak bermanfaat karena mereka kesulitan melepaskannya,” terang psikolog konseling Devika Kapoor kepada VICE. “Tapi bagi para penimbun, mereka masih melihat nilai dari barang-barang ini, dan menjadikannya sebagai alasan kenapa mereka harus tetap menyimpannya.”

Kapoor menambahkan, pengalaman buruk seperti kematian orang terdekat juga dapat memicu kebiasaan menimbun selama mereka melalui fase berduka.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengategorikan perilaku gemar menimbun sebagai gangguan kejiwaan, menekankan ini masalah pelik dan sering dikaitkan dengan masalah kesehatan mental lainnya seperti depresi klinis. Tindakan ini sangat berbeda dengan hobi mengoleksi, yang meski barangnya mungkin tidak berguna, orang akan menata dan memajangnya dengan rapi agar terlihat indah.

Sejak dulu, keluarga Akshaya Iyer jarang sekali membuang kabel perangkat elektronik yang sudah rusak, dan kebiasaan ini diturunkan kepadanya. Perempuan 27 tahun yang berprofesi sebagai radio jockey kini menyimpan lebih dari 60 buah kabel di rumahnya. Sebagian besar kabel itu sudah tidak berfungsi atau tidak cocok dengan perangkat yang ia miliki.

Timbunan kabel yang tak terpakai
Sumber dari arsip pribadi Akshaya Iyer

“Setiap perangkat elektronik dilengkapi satu set kabel, tapi sering kali kami tidak tahu harus disambungkan ke mana. Kami menyimpan kabel-kabel itu karena siapa tahu saja kami membutuhkannya suatu saat nanti. Saya juga masih menyimpan kabel charger, meski sudah ganti hape,” ungkapnya.

“Saya rasa kami menimbun kabel semata-mata karena takut atau buat jaga-jaga. Seandainya kami membutuhkannya suatu saat nanti, kami tak perlu lagi pergi ke toko untuk membelinya.”

Sadar ada yang tidak beres dengan dirinya, Iyer berusaha untuk mendaur ulang kabel yang sudah tidak berfungsi. Ini tidak mudah, sehingga dia menjalani prosesnya secara bertahap. “Saya rasa kami terikat secara emosional dengan benda-benda ini, jadi kami membuangnya pelan-pelan.”

Koleksi label harga
Sumber dari arsip pribadi Divya Swamy

Divya Swamy, eksekutif pemasaran produk makanan berusia 30 tahun, sudah 10 tahun lebih menimbun label harga. “Saya awalnya menyimpan label harga kaus band yang desainnya keren atau ada logo band,” tuturnya. “Lama-lama jadi kebiasaan, dan sekarang jumlahnya sudah ratusan.”

Dia pernah bertengkar dengan ibunya gara-gara tidak sengaja membuang label harga. “Ibu langsung mencabut dan membuangnya,” kenang Swamy. “Ibu sampai mengubek-ubek tempat sampah karena saya ngambek berat. Sejak itu, ibu tertular kebiasaan menyimpan label harga, tak peduli labelnya biasa-biasa saja. Saya baru mulai merasa muak setelah melahirkan, karena ibu juga menyimpan label harga baju bayiku.”

Yang lebih aneh, Swamy suka menimbun bungkus teh kosong. “Saya pertama kali menyimpan kotak teh supaya tidak lupa merek, tapi sekarang saya punya tempat penyimpanan khusus untuknya.”

Koleksi bungkus teh
Sumber dari arsip pribadi Divya Swamy

Bagi Kapil Darbari, kebiasaan menyimpan gadget bekas didorong oleh latar belakang kehidupannya. Pegawai bank berusia 42 itu bukan dari keluarga berkecukupan, sehingga memiliki gadget bagaikan suatu keistimewaan. “Gadget macam Walkman termasuk barang mahal bagi keluargaku yang kelas menengah. Saya harus menabung dulu untuk bisa memilikinya, sehingga saya tak rela melepaskan barang itu jika mengingat perjuangannya.”

Semua gadget yang Kapil miliki selama 20 tahun terakhir menumpuk di lemari penyimpanan, seperti alat pemutar MP4 yang dibelinya saat berlibur di Goa semasa muda dulu dan ponsel flip pertamanya. “Saya menyimpan semua gadget milikku sejak 2002,” imbuhnya. “Istriku sebenarnya kesal karena memenuhi tempat, tapi ada kalanya kebiasaan menimbun ini bermanfaat. Contohnya seperti saat kami ingin mendengarkan lagu yang tak tersedia dalam format digital.”

Dus berisi gadget bekas
Sumber dari arsip pribadi Edwin Wilson

Sejumlah orang sampai kewalahan merapikan barang-barang yang mereka simpan karena dianggap masih berharga. Aashna Sharma, penulis berusia 25 tahun, paham betul rasanya ketika menimbun kotak atau botol bekas sampo, conditioner, makeup dan produk skincare. “Saya tidak bisa membuangnya karena menurutku masih ada sisa. Saya juga menyimpannya biar tidak lupa merek kalau ingin beli lagi. Saya menyimpan semua ini di laci bawah tempat tidur, sampai akhirnya suatu hari, laci jebol karena keberatan. Meskipun begitu, saya tetap merasa berat. Tapi sekarang, saya berusaha tutup mata dan tidak mau pikir panjang saat membuangnya.”

Sementara itu, ada yang merasa telah mengurangi sampah karena mereka tidak pernah membuang barang-barang lama. Engineer 26 tahun bernama Edwin Wilson, misalnya, menyimpan baterai bekas karena alasan lingkungan.

Kotak berisi baterai bekas
Sumber dari arsip pribadi Edwin Wilson

“Semua gadget kecil di rumah kami menggunakan baterai listrik, tapi kami tidak suka membuangnya setelah baterai mati. Baterai mengandung bahan kimia yang tidak bagus untuk lingkungan,” Wilson memberi tahu VICE. Akibatnya, Wilson menyimpan ratusan baterai bekas di sebuah wadah Tupperware. “Kadang-kadang baterainya masih bisa digunakan saat kami sedang sangat membutuhkannya, jadi kami pikir masih ada kegunaannya.”

Follow Shamani di Instagram dan Twitter.