Kawasan wisata Lembah Harau di Sumatera Barat sedang jadi bahan diskusi warganet. Foto salah satu bagian lembah yang berisi miniatur berbagai landmark khas negara di Eropa-Amerika seperti Menara Eiffel dan Jembatan San Francisco dikritik.
Pasalnya, spot warna-warni mencolok akibat bangunan imitasi di tengah bentang hijau alam Harau dianggap miskin nilai dan cuma mengejar makna kabur Instagramable. Untuk memenuhi hasrat swafoto, penampilan Harau yang “dirombak” dianggap terlalu mahal harganya.
Videos by VICE
Diskusi warganet berlanjut ke pembahasan mental inlander, bagaimana Indonesia sebagai bangsa bekas jajahan merasa segala sesuatu yang kebarat-baratan lebih baik. Kita inferior, membuat kosmetik berbau Barat di lokasi wisata alam dianggap sebuah peningkatan.
Respons obrolan terbagi dua. Pertama, tentu saja mereka yang menyayangkan atas pembangunan miniatur bangunan Eropa. Kedua, mereka yang merasa kunjungan ke spot “Barat” di Harau sah-sah aja mengingat enggak semua wisatawan sanggup ke luar negeri.
Lembah Harau bukan satu-satunya kawasan wisata Indonesia yang memasang replika ikon wisata luar negeri untuk menarik wisatawan. Di Cangkringan, Yogyakarta, dibangun lokasi mirip Stonehenge asal Inggris. Dibuka sebagai destinasi wisata sejak Januari 2017, Stonehenge palsu laris manis dipakai bergaya di depan kamera.
Setiap harinya, Stonehenge Cangkringan didatangi 300-400 orang dengan biaya masuk Rp7.500. Anda juga bisa melakukan foto pre-wedding bermodal Rp150 ribu. Tidak penting apakah para pengunjung paham apa makna historis Stonehenge asli, berkutat pada ranah estetis biasanya murni jadi tujuan utama.
Selain dua di atas, Anda juga bisa melihat kincir angin Belanda di Yogyakarta, mendayung sampan khas Venesia di Cianjur, atau memandang gardu Arc de Triompe versi lokal di Kediri. Fenomena serupa juga tersebar di Purwokerto, Palembang, Malang, Boyolali, Lampung, Bandung, Bogor, dan Semarang.
Apakah fenomena begini emang berkaitan sama mental rendah diri bekas bangsa jajahan sehingga menganggap segala sesuatu dari Barat pasti lebih baik? Atau ini murni trik pembangun pariwisata untuk memberikan apa yang masyarakat inginkan: spot foto-foto eksis. Dosen Pariwisata UGM Sarani Pitor Pakan melihat kedua unsur tersebut.
Menanggapi Lembah Harau, Pitor menyebut duet ponsel pintar dan Instagram sebagai pemicu utama. Gara-gara Instagram, obsesi terhadap visual/fotografi kian menjadi-jadi. Tanpa penetrasi ponsel pintar, Instagram tak akan populer. Tanpa nafsu menjadi Instagramable, tak akan ada objek wisata seperti Lembah Harau.
“Lembah Harau dan kawan-kawannya adalah objek wisata hasil imajinasi bahwa masyarakat butuh foto untuk dipajang di media sosial. Para pembangun pariwisata—pemerintah daerah, swasta, komunitas lokal—hanya menciptakan apa yang dirasa disukai masyarakat dan bisa mengundang orang untuk pergi ke sana,” kata Pitor kepada VICE.
“Jadi, semua ini dimulai oleh adanya barang bernama ponsel pintar dan media sosial, gairah terhadap visual/gambar, ketakutan ketinggalan jaman, dan tren di medsos hari ini.”
Terkait banyaknya tempat wisata menyerupai luar negeri, Pitor melihat fakta bahwa kebanyakan berbau Eropa dan Amerika membuatnya bisa dilihat melalui pendekatan poskolonialisme.
“Poskolonialisme melihat bahwa meski penjajahan fisik/teritori sudah selesai di Indonesia, namun residunya kekal kita cium hingga hari ini. Obsesi-obsesi kita terhadap Barat jadi salah satu bentuk residu itu,” ujar Pitor.
“Lembah Harau dan kawan-kawannya hanya satu dari beragam manifestasi tentang relasi rumit antara kita dengan Barat. Di bidang ilmu pengetahuan misalnya, kita juga sering tergila-gila pada pemikir-pemikir Barat kan?””