Agak basi rasanya kita terlalu panjang mengulang-ulang sekian fakta muram soal 2020. Tahun ini anjing, tak kurang, tak lebih. Ada luka batin yang menganga di hati banyak orang. Masalahnya, sosok-sosok yang bisa merawat luka tak kasat mata sedang menjadi yang amat terpukul pandemi: musisi. Industri kreatif tiarap sepanjang tahun ini. Berbagai konser terpaksa dibatalkan. Konser digital belum bisa menggantikan peran festival musik dalam format biasanya. Industri musik dalam bahaya.
Banyak nama ternyata menolak tunduk, lalu berkukuh merilis album penuh. Redaksi VICE percaya, pertaruhan itu perlu diganjar apresiasi. Tidak akan ada yang menyalahkan musisi bila mereka cukup fokus melempar single atau maksimal mini album, mengingat keterbatasan situasi. Album-album yang lahir di tahun tidak biasa ini, seperti dugaan banyak pecinta musik, menyajikan keragaman musik Indonesia yang luar biasa.
Videos by VICE
Redaksi akhirnya berikrar meneruskan tradisi menyusun daftar album terbaik tahunan. Album adalah ajang musisi menampilkan gagasan yang padu. Dia bukan lagi wahana “jualan”, tapi justru menjadi sarana menyajikan idealisme, visi artistik, dan misi tertentu yang mereka percaya sebagai seniman. Menghargai kerja keras musisi lewat sebuah album, lewat sebuah kaleidoskop, sama halnya menghargai visi dan idealisme mereka dalam berkarya.
Beberapa nama kami minta terlibat dalam diskusi awal untuk menyusun daftar ini, di antaranya pegiat kebudayaan Indra Menus, pengelola label Rimauman Music Farid Amriansyah alias Rian Pelorr, musisi sekaligus penulis Rio Tantomo, serta pegiat musik asal Kota Malang, Samack.
Nama-nama tersebut menyusun daftar terbaik versi masing-masing (dengan bias personalnya), yang selanjutnya kami susun dalam tabulasi besar. Lalu, redaksi menentukan album-album yang konsisten disebut dan beririsan dari tiap kontributor. Pada akhirnya, kami memilih 10 album yang beririsan dan berulang kali masuk radar mereka, maupun pantauan redaksi VICE. Keragaman genre dan keberanian artistik menjadi bobot terbesar kurasi untuk daftar album terbaik 2020, versi redaksi tentu saja.
Karena dimampatkan menjadi 10 besar, sebagian album yang sangat layak didengarkan khalayak ramai sedikit terpaksa menempati honorable mentions. Daftar final yang kalian baca di bawah sepenuhnya keputusan redaksi VICE, tak lagi terkait kontributor yang kami minta bantuan memperkaya seleksi awal. Namun pembaca perlu tahu, bahwa semua album yang disebut dalam artikel ini membuktikan musisi Indonesia tidak kehabisan energi menghibur kita semua, sekalipun pada tahun ini hidup tidak baik-baik saja.
Selayaknya kita mendukung para musisi agar dapat terus berkarya dengan jalan apapun. Bisa dengan membeli merchandise resmi, membeli rilisan fisik, menggelar donasi, atau mendengar karya mereka lewat kanal-kanal streaming resmi.
*Honorable mentions:
- Harlan Boer – Fidelitas Cinta
- Petra Sihombing – Semenjak Internet
- Goodnight Electric – Misteria
- Dead Vertical – XVII
- NIKI – Moonchild
- Romantic Echoes – Persembahan Dari Masa Lalu
Mari beranjak ke sajian utama. Berikut 10 album yang menurut redaksi VICE sanggup mengantar imajinasi para pendengar sepenuhnya lepas dari belenggu 2020, menuju lembah harapan atau malah jurang kesuraman. Setidaknya, semua pihak bisa bersepakat, album-album ini punya potensi untuk terus relevan, hingga sekian tahun mendatang, sekalipun tak ada lagi pandemi sialan.
10/ Mamang Kesbor – “Album Terbaik di Tata Surya”
Album ini berusaha keras meyakinkan semua orang, bila isinya cuma gimmick dan candaan yang tak perlu diseriusi. Rilis pertamanya saja di situs Pornhub. Untungnya materi yang digarap Mardial, produser berbakat asal Jakarta, bukan sekadar omong kosong, candaan garing, apalagi blunder yang tak perlu. Mamang Kesbor nama alias Mardial untuk setiap proyek yang melibatkan vokalnya sendiri, berhasil meracik musik maha goyang.
Cerdiknya lagi, dia membalut party banger itu dengan isu kekinian khas anak muda urban, seperti soal konsumsi anggur merah, Emo Night, hingga Story Instagram. Mardial merayakan euforia perkotaan secara kritis. Terdengar kocak dan jenaka, sekaligus kadang menampar pipi. Sebuah hiburan ringan, namun tetap bisa diseriusi. Saatnya semua pihak mengakui Mardial bukan cuma raja shitposting, namun juga sebagai musisi kompeten yang konsisten menghasilkan banger demi banger di kancah elektronik dan hip hop.
9/ Raja Kirik – “Rampokan”
Terinspirasi dari seni Jaranan atau Jathilan, Raja Kirik memanggul corak musik yang kaya warna: mulai dari avant garde, world music, noise, sampai industrial. Produksi sound-nya sangat detail dan menghunjam gendang telinga. Komposisinya, bila mendengar penjelasan Yennu Ariendra—gitaris Melancholic Bitch yang kini fokus melakoni proyek solo Raja Kirik—dibangun dari prosesi ritual, tari dan musik sampai menemukan frekuensi tertentu.
Hasilnya, sebuah perjalanan transendental yang digerakan oleh sejarah perlawanan kultural, fase kesurupan, serta hibrida budaya etnik dan seni musik populer Indonesia. Rampokan tidak pernah berusaha ramah untuk telinga semua jenis pendengar. Namun, bila didengar pada momen yang tepat, album ini akan melompat dalam sukmamu, membuat siapapun terpukau pada kekayaan suara nusantara.
8/ Rollfast – “Garatuba”
Musisi cenderung berkarya dipengaruhi oleh situasi lingkungannya. Rollfast, band psych rock kebanggan Bali, sangat menyadari pengaruh itu, dan tanpa ragu menyalurkannya ke album kedua mereka. Rollfast meninggalkan eksplorasi rock klasik yang terpengaruh Black Sabbath seperti pada debut mereka beberapa tahun sebelumnya.
Seakan menyadari 2020 bukan tahun yang normal untuk merilis album, Rollfast menjadikan eksperimen sebagai panglima. Percobaan para personelnya bagai gerombolan yang mengurangi putaran sloki arak, lalu memperbanyak dosis mushroom. Mereka mencampurkan nada pelog dengan riff hard rock, dibumbui sedikit jazz, techno, anime, hingga jejak kraut rock di sana-sini.
Garatuba bagaikan perwujudan roh leak yang terakumulasi dari kemuakan muda-mudi Bali terhadap ekses gurita industri pariwisata, hingga maskulinitas beracun dalam tradisi Pulau Dewata. Mungkin, lebih tepat menggambarkan Garatuba sebagai manifestasi trance sembari tetap sadar pada situasi budaya dan lingkungan.
7/ Joe Million – “Vandal”
Tidak ada beban buat Joe Million, saat merilis album ketiga yang terasa sekali diserap rapper asal Papua itu dari pengalaman hidup di Jakarta dan Bandung. Joe mengangkat lirik “sehari-hari”, yang tentu tak pernah terasa biasa saja mengingat dia mengemasnya dalam rentetan rima cerdas sekaligus ganas.
Pengalaman yang dia narasikan ulang, misalnya: terjebak kenalan keparat yang rupanya cepu aparat, efek ajaib kebanyakan konsumsi sinte, hingga retrospeksi musisi yang ingin sekali bertahan di belantara industri tapi tercekik inflasi.
Dalam debut albumnya, Vulgar, Joe meracik rima-rima dengan kesadaran sosial dan beragam komentar tentang Indonesia. Kini, dia melucuti ambisi serupa, tapi hasilnya justru tak kalah kritis menelanjangi problem-problem negara ini.
“Kamu sudah seratus juta/Mau kau tambah berapa rupiah/Juga berapa lama
/Di belakang sel tinggalkan mama,” ucapnya lugas mencatat perlakuan tidak adil yang acapkali dialami pengguna narkoba dalam track “Cepu”. Ketika belok menggali melankoli soal kampung halaman dan cita-cita, Joe pun bisa terasa amat manis, tanpa dosis sakarin berlebih, seperti yang dia tampilkan di track “Sepeda”:
“Verse-ku jimat khusus untuk orang gila/Yang percaya bahwa cita bisa digapai cinta/Dan untuk kesekian/Dia pergi dan vakansi bawa hanya sebagasi/Mencari letak bahagia.”
Beat-beat yang diproduseri Mardial (reuni setelah sebelumnya mereka kolab di “Sakaratul”), konsisten mengimbangi energi lepas Joe Million. Humor bertebaran di sana-sini, selalu ada percobaan flow, melodi, sehingga tak pernah ada satupun yang terasa seperti track generik. Album anyar dari Joe ini adalah meditasi atas problematika kehidupan urban, yang digarap dengan gemilang.
6/ Sajama Cut – “GODSIGMA”
Sajama Cut menemukan formula kreatif yang paling seimbang sepanjang karirnya di album ini. GODSIGMA terasa sekali dikerjakan dengan harapan punya energi lebih saat dibawakan di atas panggung. Hasilnya, album ini terasa organik, penuh melodi yang bisa membangkitkan memori terdalam di kepala pendengar. Namun capaian paling menarik dari Sajama Cut kali ini adalah lirik-liriknya yang kini mengeksplorasi bahasa Indonesia, menawarkan sarkasme, optimisme, hingga kejahilan yang terasa manusiawi. Hal itu terlihat dari lagu cinta nakal “Adegan Ranjang 1981 ❤ 1982”, atau “Kesadaran/ Pemberian Dana/ Gempa Bumi/ Panasea”.
Sajama Cut, veteran kancah indie rock di Jakarta, sering disebut salah satu yang terbaik sebagai perwakilan genrenya. GODSIGMA adalah pembuktian, bahwa puja-puji tersebut tidak berlebihan. Andai tak ada pandemi, materi album ini seharusnya bisa menyulut ribuan orang melakukan air guitar bersama-sama.
5/ FSTVLST – “Fstvlst II”
Album ini bagaikan teman lama yang menyapa lagi, lalu mengingatkan kalau banyak hal mustahil senantiasa berjalan sesuai rencana. Kita tidak selalu baik-baik saja. Kadang kompromi diperlukan, serta perlu pandai-pandai memainkan pedal gas kala mengarungi kehidupan.
Untuk tahun yang penuh chaos seperti 2020, semangat tanpa pretensi macam itu yang kita perlukan. Unit rock FSTVLST asal Yogyakarta melakukan tugasnya dengan tuntas. Liriknya tak neko-neko. Jujur. Apa adanya. Tanpa tendensi. Tema-tema yang dibahas teraba oleh indera kita, dan setelah didengarkan, akan terbenam dalam nurani.
4/ Nadin Amizah – “Selamat Ulang Tahun”
Nadin lahir di awal milenium yang baru. Dia anak kandung dari abad yang penuh dengan berbagai disrupsi, sergapan teknologi, serta tudingan-tudingan miring generasi tua pada anak muda.
Kemudaan konon sering tak akrab dengan pengalaman. Nyatanya Selamat Ulang Tahun membuktikan materi-materinya ditulis seseorang yang telah sungguh-sungguh berkenalan dengan hidup. Surat cintanya pada sang ibu, di track “Bertaut”, akan menjadi nomor klasik bertahun-tahun ke depan.
Nadin menyajikan suaranya yang lembut sebagai fasad, untuk kemudian menikam pendengar dengan lirik-lirik yang dewasa dan menohok emosi, saking jujurnya. Kita semua dalam hidup, akan bisa merasakan kedekatan dengan kegelisahannya akan cinta, keluarga, dan persahabatan. Album pop terbaik selalu menawarkan kedalaman, selain mutunya sebagai hiburan. Nadin berhasil mencapai keseimbangan itu lewat album ini, dan menjadi perwakilan musisi yang amat jujur dari generasinya.
3/ Stars and Rabbit – “Rainbow Aisle”
Tidak banyak musisi berani mengubah arah musikalitas, menempuh jalan baru, dan tetap berhasil menjaga konsistensi energinya. Stars and Rabbit, lewat album ini, adalah perwakilan segelintir yang berhasil melakukannya. Elda nekat melepaskan imej folk akustik. Dibantu sobat lamanya, Didit Saad, menenteng gitar sarat riff dan distorsi, mengingatkan banyak kalangan pada album mereka saat masih memakai bendera EVO.
Rainbow Aisle adalah album penuh materi rock alternatif dengan basis gitar dan vokal yang lebih lepas. Seru dan menyenangkan. Kita diajak kembali ke era musik ’90-an kala Alanis, Garbage, No Doubt, dan segala band bersuara perempuan menguasai tangga lagu. Album ini adalah eskapisme dalam wujud yang paripurna.
2/ Bars of Death – “Morbid Funk”
Morbid Funk muncul sesaat sebelum gelombang Covid-19 menyapu Indonesia. Bars of Death secara tidak langsung menyoroti “pandemi” yang sebenarnya, wabah yang justru tidak pernah selesai di negeri tanpa vaksin ini. Seperti misalnya arogansi polisi (“A.C.A.G), nasionalisme buta (“Tak Ada Garuda Di Dadaku”), sampai aneka instruksi kekerasan dari dalam barak (“Pecahan Tengkorak” dan “Bait Kematian”). Pada rima yang lain, MC veteran kancah Bandung, Morgue Vanguard dan Sarkasz, dibantu DJ Evil Cutz, sekaligus merayakan pestanya sendiri untuk memberi penghormatan yang layak pada kultur funk dan hip hop, yang dapat kalian dengar sendiri di track macam “Radio Raheem”, “Buckshot Riddim”, dan “Morbid Funk”.
Album ini menjadi paket yang menawan kelindan ekspresi politik ditaburi dosis humor pas lewat 9 tracks (plus satu remix) boombab. Menggebuki gendang telingamu bagai ayunan pentung isilop saat semangat mengganyang demonstran. Dan, seperti mengamalkan ajaran “Sekali berarti, sesudah itu mati” dari Chairil Anwar, Bars of Death langsung memutuskan bubar setelah album ini dirilis.
1/ BAPAK – “Miasma Tahun Asu”
Album ini adalah kulminasi tahun 2020 yang memang layak dijuluki “Asu”. Penuh dengan chaos, referensi musik yang kaya, tapi uniknya diimbangi kedalaman lirik yang penuh sensitivitas emosi kaum belia, seperti terlihat dari lirik, “Aku ingin berguna//aku bertapak di atas sentimen masa muda”.
BAPAK adalah unit eksperimental hardcore yang tiap anggotanya sudah malang melintang di kancah independen, mulai dari Kareem Soenharjo (lebih dikenal lewat proyek hip hop BAP), Bagas Encek (Tarrkam), Alfath (FLWRPIT), dan Kevin (Whoosah). Tiap pengaruh pribadi melebur jadi satu, menghasilkan kolase bebunyian yang terasa alami (bahkan indah), dari awal sampai akhir album.
Pendengar tidak akan lagi mempedulikan batasan genre di album ini. Kalian bebas menjulukinya punk atau noise, atau free jazz sekalipun. Karena yang pokok memang bukan lagi batasan, tapi ekspresi natural manusia saat dihadapkan pada tuntutan bertahan hidup di tengah berbagai kondisi tak normal.
Miasma Tahun Asu sukses merekam perasaan-perasaan ganjil yang muncul di sebuah tahun penuh anomali. Keseimbangan antara visi artistik unik dan energi mentah ini amat kami nantikan wujudnya di atas panggung, saat dunia (semoga) kembali normal.