Di awal pecahnya Perang Dingin, Amerika Serikat ingin memastikan pihaknya mampu melancarkan serangan balasan terhadap Uni Soviet secepat mungkin menggunakan senjata nuklir. Rencananya serangan selesai dalam 15 menit saja. AS telah memiliki ambisi ini jauh sebelum munculnya kapal selam yang mampu meluncurkan rudal balistik dan silo rudal balistik antarbenua (ICBM). Amerika memerintahkan pilot pesawat tempur untuk siap siaga 24 jam guna mempertahankan kemampuan tersebut, dan ini berlaku dari 1960 hingga 1968. Jam kerja yang tidak manusiawi mengakibatkan banyak pilot dan kru mulai mengonsumsi amfetamin.
Amerika kehilangan banyak rudal untuk mengirim hulu ledak nuklir dalam kurun 10 tahun tersebut. Beberapa di antaranya belum ditemukan sampai sekarang, salah satunya merupakan roket nuklir siap ditembakkan.
Videos by VICE
Berdasarkan Task & Purpose, portal berita yang fokus pada sektor pertahanan, militer AS mengalami sebanyak 32 kecelakaan yang melibatkan pengangkut nuklir selama Perang Dingin, dan enam senjata raib entah ke mana. Setiap kabar tentang Broken Arrow—istilah yang digunakan untuk menggambarkan nuklir yang hilang—sangatlah mengerikan, namun insiden yang terjadi di Jepang pada 1965 merupakan yang paling menakutkan.
Pada 5 Desember 1965, Letnan Angkatan Laut AS Douglas Webster mendapat tugas menerbangkan pesawat A-4E Skyhawk yang mengangkut bom nuklir. Sementara itu, kru kapal induk USS Ticonderoga, yang ditempatkan di Laut Filipina sekitar 112 kilometer dari Okinawa, Jepang, bertanggung jawab memuat senjata ke dalam pesawat. Setelah Webster duduk di kokpit, kru mendorong pesawat hingga ke dek untuk lepas landas.
Rencananya, Webster akan membawa pesawat berkeliling, lalu mendarat kembali ke kapal induk dan menurunkan senjata yang diangkut. Namun, pesawat Webster gagal mengudara. Skyhawk meluncur dari lift yang akan mengangkutnya ke dek dengan kecepatan tinggi. Awak kapal melambaikan tangan dan berteriak agar Webster menginjak rem, tapi tampaknya sang pilot tidak menyadari itu. “Menurut kesaksian yang dikumpulkan Dewan Penyelidikan, pilot tampaknya tidak mendengar peluit dan melihat ke bawah,” Chief Petty Officer Delbert Mitchell, yang kala itu bertugas memasukkan senjata ke dalam pesawat, memberi tahu Institut Angkatan Laut AS pada 2019.
Kru Angkatan Laut berusaha mati-matian menghentikan Skyhawk, tapi hanya mampu memutarnya di tempat karena sudah keburu terguling ke sisi kapal induk. Pesawat menghantam jaring di sisi lift hingga jebol dan jatuh ke laut. “Kami tak akan pernah tahu apa yang dilakukan Letnan Webster untuk keluar dari Skyhawk. Kami tercengang menyaksikan pesawat, pilot dan senjata nuklir jatuh ke laut,” ujar Mitchell.
Pesawat tenggelam dalam posisi roda pendaratan mencuat ke udara, dan misi penyelamatan segera dilakukan. Pasukan AL meminta pertolongan kapal lain untuk mencari keberadaan Webster dan bom nuklir yang hilang bersamanya, tapi yang berhasil mereka temukan hanyalah helm Webster.
Angkatan Laut AS sempat merahasiakan insiden ini, dan baru melaporkannya ke Kongres AS setahun kemudian, tepatnya saat Komite Gabungan Energi Atom mendalami banyaknya kasus Broken Arrows. Namun, masyarakat baru tahu soal Amerika kehilangan bom nuklir aktif di laut Jepang sekitar 24 tahun sejak kecelakaan itu terjadi.
Jepang melarang keras sekutu membawa senjata nuklir ke wilayahnya, dan kebetulan AS bersekutu dengan negara itu. Okinawa juga menjadi salah satu tempat pasukan dikerahkan untuk bertempur dalam Perang Vietnam.
Entah apa yang akan terjadi dengan bom nuklir aktif di dasar lautan. Akan tetapi, Letnan Komandan James Kudla selaku juru bicara AL menegaskan pada 1989, “dampak lingkungan diperkirakan nihil”.
Strategi siap siaga 24 jam sepanjang tahun baru berakhir setelah terjadi dua kecelakaan lain. Dan pada kenyataannya, kecelakaan-kecelakaan ini meninggalkan kerusakan lingkungan yang cukup parah.
Pada Januari 1966, pesawat B-52 yang mengangkut senjata nuklir bertabrakan dengan sebuah kapal tanker saat mengisi bahan bakar di udara. Pesawat terjun bebas ke laut Mediterania di wilayah Palomares, Spanyol, dan menyebabkan ledakan hebat yang mencemari area tersebut. Kepada Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), Spanyol menyatakan akan melarang semua pesawat pengangkut nuklir terbang di wilayah udaranya.
Peristiwa selanjutnya terjadi di Greenland pada 1968. Pesawat B-52 terbakar saat mengangkut nuklir di sekitar wilayah Teluk Baffin. Anggota kru yang menaiki pesawat itu tak mampu melakukan pendaratan atau mengendalikan kebakaran. Akibatnya, bahan nuklir tersebar di lautan dan lapisan es Greenland setelah pesawat jatuh.
Kegagalan demi kegagalan akhirnya mendorong pasukan militer AS untuk mengembangkan silo dan kapal selam bertenaga nuklir. Negeri Paman Sam kini amat bergantung pada persenjataan tersebut.
Sementara itu, jasad Webster dan bangkai pesawat yang mengangkutnya masih bersemayam di kedalaman Laut Filipina, bersama bom nuklir yang belum meledak.