Siapapun yang pernah menempuh 12 tahun pendidikan dasar di Indonesia, ingat-ingat lagi, berapa kali guru kalian pernah mengucapkan kata-kata ini di tengah pelajaran: vagina, penis, masturbasi, seks. Sering? Harusnya sih enggak. Kalaupun pernah, pasti momen kayak gitu bisa dihitung jari.
Semua guru dan orang tua kalau ditanya pasti menyatakan pendidikan seks sejak dini itu penting sekali untuk tumbuh kembang anak. Namun apakah yang dimaksud pendidikan seks berarti membahas secara terbuka penetrasi penis ke dalam vagina, petting, hingga memahami jenis kondom? Wah itu perkara lain.
Videos by VICE
Pemerintah sendiri sampai sekarang masih enggan menyajikan materi pendidikan seks yang gamblang. Opsi yang tersedia sekarang hanyalah sisipan pengetahuan soal organ reproduksi di mata pelajaran biologi atau pendidikan jasmani dan kesehatan, untuk pelajar tingkat SMP dan SMA. Kemendikbud berdalih itu sudah memadai.
“Materi pendidikan kesehatan reproduksi sudah ada di K-13. Sudah lengkap semua, tetapi maunya sebagian masyarakat dieksplisitkan melalui pendidikan seks,” kata Hamid Muhammad, Direktur Pendididikan Dasar dan Menengah Kemendikbud, saat dihubungi CNN Indonesia beberapa waktu lalu.
Kenapa baru dijelaskan di SMP dan tidak SD? Alasan Hamid karena di SD tak ada pelajaran eksata spesifik biologi untuk masuk ke pembahasan reproduksi. Kemendikbud lantas melempar bola panas soal pendidikan itu ke tenaga pengajar di tiap sekolah. “Kalau sekolah sudah menerapkan pendidikan kesehatan reproduksi dengan benar, itu sudah cukup. tidak usah menambah lagi,” tandas Hamid.
Hmm, benarkah materi yang ada sekarang sudah cukup memberi gambaran soal seks serta semua risikonya pada peserta didik?
Aku lantas membuka buku pelajaran yang dapat diakses online, mengunduh beberapa di antaranya terkhusus mata pelajaran Biologi dan Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, kemudian melahap isinya. Dua mata pelajaran ini yang menurut Kemendikbud disisipi materi kesehatan reproduksi yang nantinya bisa menuntun siswa memahami serba-serbi seks.
Dalam situs kumpulan buku sekolah digital tersebut, reproduksi manusia ternyata baru mulai dibahas satu kali di mata pelajaran Biologi, tepatnya bagi siswa/i kelas 9 atau tahun akhir Sekolah Menengah Pertama.
Untuk siswa/i Sekolah Menengah Atas, aku ngobrol sama mereka yang mengambil jurusan IPA. Para pelajar itu mengakui ada materi menyinggung pendidikan seksual, meski konteksnya memang tetap lebih berat ke anatomi organ reproduksi, bukan kegiatan seksual.
Separuh dari bab tersebut sibuk membahas anatomi alat reproduksi manusia baik laki-laki maupun perempuan dengan bahasa ilmiah yang njelimet. Karena aku baru lulus SMA tiga tahun lalu, aku ingat betul, istilah-istilah macam itu dengan cepat menguap dari pikiran sesaat setelah ujian berakhir. Bukannya membenci istilah-istilah ilmiah, tapi sepertinya pelajar butuh pengetahuan-pengetahuan terkait anatomi organ reproduksi yang sifatnya praktikal.
Siklus menstruasi sedikit diulas, cara pembentukan sel sperma dan sel telur. Juga penyakit yang dapat menimpa organ reproduksi manusia. Sekelebat membahas penyakit menular seksual, tetapi benar-benar seadanya, menghindari pertanyaan lanjutan dari topik tersebut. Artinya, guru lah yang dibebani tanggung jawab merespons semua pertanyaan murid. Itu kalau gurunya mau.
Padahalpenyakit menular seksual bukanlah isu yang layak dibahas setengah hati. Pasalnya, satu dari setiap 25 orang di dunia, menurut WHO, memiliki setidaknya satu dari penyakit infeksi menular tersebut. Tapi, okelah. Mari kita kembali berprasangka baik pada keterangan Kemendikbud, bahwa materi yang ada sekarang sudah “lengkap.” Mari kita simak, sejauh mana materi yang disiapkan Kemendikbud menjabarkan penyakit menular seksual dan cara pencegahannya.
Mari kita pusatkan perhatian pada kalimat terakhir di halaman 39, yang bisa kalian baca juga di atas.
“Penyakit pada sistem reproduksi dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor pertama adalah kurang menjaga kebersihan organ reproduksi.”
Kemudian, dijabarkan tujuh upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjangkitnya penyakit pada organ reproduksi yang terkait dengan kesehatan. Namun ingat, sebelumnya tercatat bahwa ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan penyakit pada sistem reproduksi, bukan cuma hanya satu. Tapi, paragraf-paragraf selanjutnya membuang semua optimisme bahwa topik ini akan diulas mendalam.
“Faktor selanjutnya adalah perilaku seks bebas dan penggunaan narkoba. Walaupun ada juga yang disebabkan oleh transfusi darah yang sudah terinfeksi penyakit atau melalui proses kehamilan dan kelahiran. Agar kamu dapat mencegah terjadinya penyakit pada sistem reproduksi yang disebabkan oleh faktor tersebut, kamu harus dapat menjaga pergaulan dan memilih gaya hidup yang sehat agar tidak terjebak pada seks bebas.”
“Selain itu, gunakan internet secara arif dan bijaksana, dengan tidak mengakses situs-situs yang menyediakan gambar atau film porno, yang secara pelan tapi pasti akan mendorong kamu pada kehidupan seks bebas yang sangat rentan dengan penularan penyakit seksual.”
Kurikulum kita masih membayangkan remaja sebagai individu yang lemah dan gampang dipengaruhi. Alur logikanya mengandaikan akses gambar atau film porno otomatis membuat bocah yang menonton melakukan seks pra nikah. Dengan logika semacam ini, berarti hampir semua anak muda Indonesia telah melakukan seks pra nikah dong? Solusi yang disediakan pun intinya minta pelajar yang lebih aktif mencari tahu info soal seks. Yang begitu udah dilakukan tanpa belajar di sekolah atuh….
Begini, mumpung sudah membahas tentang ini, kenapa materinya menjabarkan jenis penyakit pada sistem reproduksi, penyebab, dan upaya pencegahan selain faktor kebersihan yang tadi dijelaskan panjang lebar?
Dan pertanyaan utama masih belum terjawab lho. Seks itu apa? Kenapa banyak yang bilang rasanya enak dan semua orang melakukannya? Petting itu ada risikonya atau enggak? Apa yang harus dilakukan bila hamil? Semua pertanyaan yang penting itu nihil dalam pembahasan “lengkap” ala kurikulum kita.
Sekali lagi, semua pertanyaan di atas valid. Namun minimnya pembahasan seputar seks dipengaruhi pola pikir boomer bila topik ini tabu. Memang itu realitasnya kok. Menurut Hamid saja, variabel penunjang pendidikan reproduksi adalah “budi pekerti”. Bukan obrolan terbuka soal seks.
“Orang Indonesia enggak ngerti bahwa pendidikan bukanlah soal kepercayaan, tapi soal kebenaran yang bisa dibuktikan,” ujar Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin. “Seks itu bukan soal moral. Akan tetapi, diri kita ini loh sebagai makhluk seksual kita harus tahu fungsinya bagaimana, praktiknya bagaimana, pada usia berapa, dia tumbuh seperti apa, dia bekerja seperti apa. Kita harus tahu.”
Ketidakpahaman secara mendalam seputar isu seks yang menimpa tidak hanya anak-anak muda namun juga generasi yang lebih tua ini dampaknya tidak main-main. Dalam buku laporan Rutgers WPF Indonesia (2017-2018) lembaga yang aktif menangani masalah seksualitas dan kesehatan reproduksi tercatat bahwa ketidaktahuan tentang seks memicu tingginya angka pernikahan anak, bahkan kehamilan di luar nikah.
Dilansir dari Tirto, Nur Jannah selaku koordinator Program Rutgers WPF Indonesia menunjuk Rembang sebagai daerah yang memiliki angka pernikahan anak tinggi di Indonesia. “Ya di Rembang ini kehamilan remaja cukup tinggi dan alami, masalahnya kompleks.”
Di tahun 2016, terdapat 54 kasus pernikahan anak terjadi di kota ini. Rata-rata remaja perempuan di Rembang dinikahkan pada umur di bawah 16 tahun, tiga tahun lebih muda dibanding remaja laki-laki. Tidak hanya karena alasan kultur adat, pernikahan anak ini terus dilestarikan karena asumsi orangtua di sana yang keliru. Mereka berpikir, dibanding anaknya berpacaran dan berzina, maka lebih baik menikah saja.
Tidak hanya di Rembang namun juga di Indonesia secara keseluruhan yang mengatasnamakan norma “ketimuran”, kasus pernikahan anak di Indonesia menempati urutan ketujuh tertinggi di dunia versi UNICEF. Gambarannya, satu dari tujuh anak sudah menikah sebelum umur 18 tahun pada 2016. Pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2017 (halaman 43) tercatat bahwa ada sekitar 37,91 persen anak usia kurang dari 16 tahun yang telah menikah.
Tidak ada yang salah dengan menikah muda, namun di Indonesia, pernikahan dini dapat mempersempit jalan anak untuk melanjutkan pendidikan. Setelah menikah ada tanggungan tambahan seperti anak dan rumah tangga. Belum jika ditambah kenyataan pahit bahwa banyak sekolah yang menolak siswa/i yang sudah pernah menikah. Hilanglah sudah kesempatan untuk hidup layak karena minimnya pendidikan mereka.
Padahal, kalau merujuk kajian UNESCO, pendidikan seks idealnya dimulai sejak anak berusia lima tahun. Mereka sudah harus diberi pemahaman tentang organ tubuhnya, hubungan dengan keluarga, serta relasi apa saja yang terjadi ketika manusia saling bersentuhan fisik. Ketika usia mereka sudah kelas 1 atau 2 SD, anak bahkan didorong untuk bisa mengkaji apa saja hubungan yang tidak pantas atau jenis pelecehan.
Melihat saran Kemendikbud, artinya anak-anak sekarang dibiarkan mencari pendidikan seks lewat Internet. Tanpa disuruh pun, survei menunjukkan mayoritas remaja sudah melakukannya. Kalau opsi “pendidikannya” adalah nonton serial Netflix macam Sex Education, ya mungkin itu solusi yang lebih bagus.
Serial produksi Inggris ini secara garis besar bercerita tentang seorang remaja bernama Otis Millburn (Asa Butterfield) yang membuka klinik konsultasi seks kecil-kecilan bersama Maeve Wiley (Emma Mackey). Otis punya ibu yang berprofesi sebagai terapis seksual.
Serial ini secara jenaka berhasil menyoroti isu-isu yang esensial seputar seks dan seringkali tidak bisa didapat dari pendidikan formal (termasuk di Inggris).
Spektrum yang dibahas cukup luas. Sesederhana hubungan percintaan, pertemanan, bahkan hubungan orangtua dan anak. Kemudian merentang lebih luas ke hubungan seksual itu sendiri hingga penerimaan jati diri, masturbasi, penyakit menular seksual, hingga orientasi seksual. Sex Education bahkan berhasil menggambarkan sanksi sosial yang harus dihadapi mereka yang terinfeksi penyakit menular seksual setiap harinya seperti ditertawai dan dikucilkan.
Jadi, untuk sementara kalian para anak muda, tetaplah belajar dari Internet. Buat para boomer, jangan menuduh anak atau pelajar belajar sendiri soal seks moralnya rusak ya. Kan kalian yang enggan terbuka membahasnya. Deal?