Andai Pecah Perang Dunia III, Apa yang Bakal Dialami (Warga) Indonesia? Ini Kata Pakar

Andai Pecah Perang Dunia III, Apa yang Bakal Dialami (Warga) Indonesia? Ini Kata Pakar

Sebuah pertanyaan klasik kembali muncul tiap terjadi ketegangan antar negara berpengaruh: apakah kita sedang mendekati momen pecahnya Perang Dunia ke-3?

Kali ini, biang keroknya adalah panasnya tensi geopolitik antara Amerika Serikat dan Iran. Jenderal Qasem Soleimani, komandan yang memimpin pasukan elite Quds dari Garda Revolusi Iran sejak 1998, tewas dibunuh pasukan Amerika Serikat di Irak, pada 3 Januari 2020.

Videos by VICE

Kabar itu telah dikonfirmasi oleh Pentagon, yang menyebut pemboman Soleimani merupakan “perintah presiden [Donald Trump]”. Tagar #WorldWar3 tak lama kemudian trending di Twitter—termasuk dengan meme-meme gelap netizen karena ini masih awal tahun, tapi potensi perang mendadak muncul di depan mata.

Kabar tewasnya Soleimani muncul setelah adanya laporan bahwa Bandara Internasional Baghdad digempur dan menewaskan sejumlah orang. Menteri Luar Negeri Iran, Javad Zarif, menyebut aksi AS tersebut “sangat berbahaya dan eskalasi konflik yang bodoh.”

Soleimani adalah sosok penting dalam kancah politik pertahanan Iran. Dia mengawasi setiap operasi rahasia militer Iran di luar negeri. Soleimani melapor langsung ke Pemimpin Spiritual Tertinggi Iran Ayatullah Ali Khamenei. Dia adalah veteran perang Iran-Irak pada 1980-an dan menjadi pahlawan bagi muslim Syiah. Para pendukungnya menilainya sebagai sosok karismatik dan efektif. Sementara bagi AS dan sekutunya, Soleimani adalah salah satu sosok paling berbahaya.

“Atas perintah Presiden, militer AS telah mengambil aksi pertahanan yang menentukan demi melindungi para personel AS di luar negeri dengan membunuh Qasem Soleimani,” tulis Pentagon dalam pernyataan resminya. “Serangan ini ditujukan untuk mencegah rencana serangan Iran di masa mendatang. Amerika Serikat akan melanjutkan menempuh semua aksi yang diperlukan guna melindungi rakyat kami dan kepentingan kami di mana pun mereka berada di dunia.”

Pentagon beralasan, Soleimani bertanggung jawab atas serangan terhadap markas tentara koalisi di Irak dalam beberapa bulan belakangan yang menyebabkan tewasnya personel militer AS dan Irak.

“Jenderal Soleimani bertanggungjawab atas serangan di Kedutaan Amerika Serikat di Baghdad minggu ini,” begitu keterangan Pentagon melalui keterangan tertulis. Dalam serangan di markas militer AS di utara Irak, seorang kontraktor sipil tewas dalam serangan roket pada 27 Desember 2019. Tentara AS membalas dengan serangan udara terhadap milisi Iran di Irak dan Suriah. Seperti dilansir BBC, harga minyak dunia melonjak lebih dari empat persen, sehari pasca serangan terjadi.

Ayatullah Ali Khamenei sendiri sudah berjanji akan membalas tindakan Negeri Paman Sam, tanpa merinci lebih lanjut. “Kami membalas dendam dengan seberat-beratnya,” kata Ali Khamenei via Twitter, seperti dikutip the New York Times. “Pembalasan yang sangat sengit akan dilancarkan terhadap para kriminal yang melumuri tangan-tangan bodoh mereka dengan darah [Soleimani]. Insya Allah, pengabdian dan jasa almarhum tidak akan berhenti.”

Apa yang mungkin dilakukan Iran? Jika menilik analisis dari lembaga kajian politik Eurasia, target balasan paling awal adalah aset penting AS di Timur Tengah. Terutama di negara dengan keberadaan milisi pendukung Iran cukup banyak—misalnya Libanon dan Suriah. Target-target itu mencakup gedung Kedutaan Besar, kantor perusahaan asal AS, dan instalasi militer. Iran bakal mengerahkan sekian milisi tersebut dan memicu perang proxy, tanpa mereka harus terjun langsung.

Katakanlah, Iran betul-betul melakukan aksi balasan terhadap AS, kondisi Timur Tengah akan tidak stabil. Terakhir kali ada instabilitas, seperti dialami Suriah, hasilnya adalah kemunculan Negara Irak dan Suriah (ISIS), kelompok teror yang aksinya melebar hingga Indonesia.

Di luar potensi terorisme, perang betulan melibatkan AS dan sekutunya versus Iran bisa berkembang jadi konflik senjata lintas negara. Dengan kata lain, ini mungkin yang bisa disebut Perang Dunia III. Imbas peperangan tersebut bisa saja merambah Asia Tenggara, apalagi jika Tiongkok dan Rusia memutuskan terlibat. Lantas jika ketegangan tersebut berujung pada perang nuklir apakah Indonesia sudah siap dengan semua risikonya?

Indonesia termasuk memiliki hubungan diplomatik yang harmonis dengan Iran. Hubungan diplomatik dimulai sejak 1950. Kedua negara tersebut tercatat sebagai anggota penuh dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Gerakan Non Blok, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), dan Kelompok D-8 Negara Berkembang.

Pada April 2016, Atase MIliter Iran di Indonesia Kolonel Shahriar Dasin mengatakan ingin mempererat kerjasama di bidang militer antara Iran dan Indonesia. Dasin menganggap Indonesia sebagai sekutu negaranya, namun mengakui bahwa hubungan militer keduanya belum berjalan mulus. Pada Agustus 2019, Indonesia dan Iran sepakat meningkatkan kerjasama di bidang militer melalui pertukaran informasi dan teknologi.

Posisi Indonesia menjadi sulit, kata Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjajaran Muradi. Sebab Indonesia menjadi sekutu bagi AS maupun Iran.

“Ada dua opsi bagi Indonesia, membekukan sementara semua kerjasama militer dengan Iran, atau memilih tidak terpengaruh oleh aksi Amerika Serikat,” kata Muradi. Sebab, kata Muradi, Indonesia bisa menarik diri dari kerjasama kapan saja jika situasi memburuk atau ada tekanan dari AS. “Lagi pula kerjasama dengan Iran kurang strategis.”

Kemungkinan Indonesia terlibat konflik antaran Iran-AS? “0,0000001 persen,” kata Muradi. Sebab Indonesia tidak memiliki koalisi militer seperti negara-negara barat. Lagipula, kata Muradi, doktrin militer kita tidak bersifat ofensif. “Indonesia akan lebih bersikap defensif, menjaga kedaulatan negara dari serangan asing. Kita tidak punya kapasitas untuk mengirim pasukan ke luar negeri untuk berperang. Hanya kemanusiaan,” kata Muradi. “Alutsista Indonesia, toh, masih tertinggal dari negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.”

Faktanya, alutsista Indonesia memang masih mengandalkan perdagangan terutama dari Korea Selatan, Iran dan Rusia, imbas dari embargo penjualan kelengkapan militer AS sepanjang kurun 1995-2005. Indonesia, ambil contoh, tak memiliki kapal induk pengangkut jet tempur. Kapal selam saja modern pun baru kita punya dari pabrikan di Korea Selatan pada 2017 lalu. Di matra udara, Indonesia masih mengandalkan hibah dari AS berupa F-16 berusia tua yang terus dipaksakan terbang. F-16 milik TNI AU beberapa kali tergelincir, sehingga tak bisa digunakan lagi karena sparepart-nya mahal dan harus didatangkan langsung dari negeri pembuatnya.


Tonton dokumenter VICE menjelaskan penyebab Iran punya pengaruh besar di Timur Tengah:


Muradi berpendapat, kemungkinan keterlibatan militer kita dalam konflik baru terjadi, andai pemimpin negara ini punya sifat seperti presiden Sukarno, yang lebih bersikap konfrontatif dan ofensif. Jika Sukarno yang memimpin, kata Muradi, maka lain ceritanya. Sebab, dia bakal memihak Iran sebagai negara sahabat. “Sukarno tidak terlalu dekat dengan AS,” kata Muradi.

Faktor lain yang membuat Indonesia tak siap menghadapi risiko peperangan tingkat global merembet ke kawasan Asia Tenggara, adalah ideologi pertahanan nasional yang dianut pemerintah. Muradi menyatakan Indonesia mengadopsi Sistem Pertahanan Semesta (Sishanta), prinsip militer untuk mengerahkan seluruh masyarakat jika diperlukan, yang diadopsi sejak Dwi Komando Rakyat (Dwikora) 1962.

“Kita itu terakhir kali perang beneran kan tahun 1975 di Timor Timur. Pertahanan kita berbasis teritorial, mengandalkan pulau-pulau besar. Kita terbiasa dengan perang model gerilya, head-to-head. Kita terbantu karena negara kita kepulauan,” ujarnya. “Saya ibaratkan sistem pertahanan kita itu seperti taktik sepakbola total football. Jadi undang dulu musuh masuk, ketika sudah masuk, lantas dipukul ramai-ramai secara total. Kan pertahanan kita namanya Sistem Pertahanan Semesta [Sishanta] jadi ya semua warga dikerahkan, total warfare.”

Pendek kata, kemungkinan yang besar yang akan dialami anak muda Indonesia andai Perang Dunia III betul terjadi, adalah perekrutan tentara sukarela sejak usia SMP, melindungi wilayah kita dari serbuan pasukan manapun. Ide Prabowo Subianto yang tahun lalu dikritik dan jadi guyonan jadi kenyataan.

Tagar World War 3, sekonyol apapun kedengarannya, sebenarnya tak terlalu berlebihan. Sebab, alutsista Iran juga termasuk mumpuni. Pada 24 Juni 2019, Iran menembak jatuh pesawat nirawak (drone) Global Hawk di Selat Hormuz, yang memicu Trump buat mencuit “Iran membuat kesalahan besar!” Berdasarkan studi Pentagon, Iran juga memiliki rudal balistik jarak jauh tak tertandingi di seantero Timur Tengah. Dalam soal anggaran, setiap tahun negara pimpinan Ayatollah Ali Khamenei itu menghabiskan US$14.6 miliar, atau sekitar Rp209,7 triliun.

Meski begitu, VICE pernah menghubungi Pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie yang memberi opini sedikit menyejukkan soal potensi konflik di abad ini. Dia bilang, berbagai konflik AS yang diyakini akan berlanjut perang lebih tepat disebut propaganda bisnis militer. Termasuk risiko perang nuklir AS dengan Korea Utara dua tahun lalu. Desas-desus perang adalah prasyarat terbaik agar bisnis senjata kembali naik daun.

“[Presiden] Trump bagaimanapun juga adalah businessman. Dia melihat sesuatu dari segi ekonomi. Dan sektor pertahanan adalah yang paling menghasilkan uang. Kampanye militer AS di Timur Tengah bisa dibilang gagal, jadi Trump perlu menciptakan perang baru. Ini akan membuat sekutu AS mempersiapkan diri [untuk membeli alutsista], termasuk Australia, Korsel, dan Jepang,” ujar Connie.

Jika dilihat ke belakang, tensi antara AS dan Iran sudah memanas sejak 2018. Saat itu AS menarik diri dari kesepakatan internasional yang bertujuan untuk membatasi ruang gerak Iran dalam mengembangkan senjata nuklir. Menurut Presiden AS Donald Trump, kesepakatan era Obama belum cukup dalam membatasi ruang gerak Iran.

Sentimen Trump didukung oleh pelobi Israel (yang tidak suka dengan pengaruh Iran di kawasan), kelompok Kristen Evangelis yang amat mendukung rezim Zionis, dan politikus konservatif yang pada dasarnya punya cara pandangan agresif (hawkish) soal peran militer AS dalam percaturan politik dunia.

AS pun pada akhirnya kembali mengenakan sanksi ekonomi bagi Teheran. Hubungan kedua negara kembali memburuk, dan ujungnya, setelah sang jenderal dibunuh, dunia sekarang menghadapi konsekuensinya.

Untuk Indonesia, semua opsi kecuali meredanya ketegangan antara dua negara itu, sama sekali tidak membahagiakan.