Attarine Mengembalikan Pengalaman Hakiki Saat Menikmati Makanan

Suasana Attarine relatif sederhana untuk restoran di kawasan elit Gunawarman, Jakarta Selatan. Tempat makan fine dining ini menjadi lini terbaru PTT Family yang sedang hip di Ibu Kota, menyusul popularitas bisnis mereka di bidang fashion dan hotel. Attarine menyediakan berbagai menu yang sederhana, cenderung tanpa gimmick berlebihan, namun sangat lezat dinikmati bahkan untuk penikmat kuliner kelas kakap sekalipun. Pilihan kata ‘sederhana’ ini lebih tepat disebut pujian. Karena memang itulah andalan utama Attarine: masakan yang sederhana dan jujur.

Karena sambutan publik terhadap restoran mereka di Jakarta sangat positif, PTT Family memutuskan membuka cabang kedua di kawasan Berawa, Bali. Lokasinya tak jauh dari Canggu, zona utama berkumpulnya hipster Pulau Dewata. Menu andalan untuk cabang baru ini adalah sajian kepiting rebus yang dirancang untuk santapan beramai-ramai.

Videos by VICE

“Kenapa dibuat dengan gaya makan bersama, karena kami ingin memberi konsumen pengalaman menyantap menu harian dengan cara berbeda. Harus ada sesuatu yang spesial,” kata Jacob Burell, Chef Kepala Attarine.

Burrell, chef asal Bay Area, Amerika Serikat, membubuhkan banyak cita rasa khas California dalam masakan-masakannya. Walau begitu, Attarine lebih menampilkan olahan gaya kuliner mediterania alih-alih AS. Nama restoran inipun berasal dari kawasan tersebut, dipinjam dari kata Souk el Attarine—bahasa Maroko untuk rempah-rempah.

Jacob Burrell, Kepala Chef Attarine. Foto oleh penulis.

Bahan baku Attarine dipilih dari kualitas unggulan, dipersiapkan tanpa main-main, dan yang lebih penting lagi, tak pernah diolah berlebihan. Menu-menu di restoran ini berusaha kembali ke khittah, di saat restoran sejenis di Ibu Kota sedang tergila-gila pada maltodextrin dan algae baths. Gimmick kuliner semacam itu dihiraukan. Hasilnya, yang akan kalian dapatkan dari restoran ini adalah sajian yang tampak biasa-biasa saja sebelum gigitan pertama. Barulah, ketika masakan mereka sampai di lidah, maka citarasa khas Burrell akan kalian sadari.

Ambil contoh kepiting rebus mereka yang sebelumnya sudah disinggung. Makanan semacam ini mudah kalian temukan di manapun. Tapi kepiting Attarine disajikan dengan nuansa komunal; potongan-potongan kepiting disebar begitu saja di atas meja, sehingga para tamu wajib mengambil bersama-sama pengunjung lain. Konsep sederhana macam itu jadi terasa berbeda bagi penikmat kuliner Jakarta.

“Saya tumbuh besar menikmati makanan diatas meja piknik yang dilambari koran bekas, lalu semua lauk ditaruh begitu saja di atasnya,” kata Burell. “Jadi semua yang makan harus berbagi dengan orang lain.”

Burrell terkejut saat mendapati makanan-makanan yang idelanya dinikmati pakai tangan di Jakarta, suasana penyajiannya masih terasa kaku dan formal. Sebenarnya, ide Attarine juga tak baru-baru amat untuk Indonesia yang sudah terbiasa dengan panganan komunal. Tapi, bagaimana lagi kita harus menarik tamu di restoran pinggir pantai Bali, kecuali dengan tawaran seafood lezat?

Saya mencoba sajian kepiting rebus itu di Jakarta, bukan Bali. Saya datang lebih awal dari jam reservaasi, berbeda dari kebiasaan manusia Ibu Kota saat tiba momen fine dining. Sebagai ganjarannya saya punya waktu lebih menikmati acar dan crudités Attarine yang menggoda lidah.

Pengolahan bahan baku yang jempolan, menjadi tulang punggung kuliner minimalis di restoran ini. Hors d’œuvre ala Attarine terasa begitu segar dan punya keseimbangan rasa asam yang top. Menu tersebut menjadi pembuka yang tepat untuk sajian selanjutnya: kepiting rebus. Bersama kepiting, pelayan menumpahkan pula udang goreng jagung dan sosis merguez ke atas meja.

Penampilannya sekilas acak-acakan. Sebagian pengunjung malam itu mengeluh kesulitan makan kepiting dengan cara seperti itu. Sejujurnya, mereka emang manja. Karena, seharusnya kepiting rebus ya dinikmati dengan cara seperti ini. Kita harus pakai tangan, mengulik daging di sela-sela cangkang itu untuk mendapatkan sensasi gurih, lembut, sekaligus manis dari daging kepiting. Rumit, agak susah, tapi selayaknya dilakukan ketika kita menyantap kepiting.

Intinya, kepiting Attarine lezat sesuai dengan reputasinya. Tapi yang kurang disorot sebetulnya side dish mereka. Sajian itu benar-benar lezat, bahkan nyaris mengalahkan karisma menu utama.

Lebih penting lagi, atmosfer penataan ruang di Attarine—setidaknya di resto Jakarta—tidak sampai menenggelamkan fokus pengunjung pada makanannya. Kalau ada orang yang datang ke sini demi foto-foto instagram, kayaknya mereka akan salah alamat. Meja dan kursinya bersahaja, tapi nyaman untuk santap malam ataupun makan siang beramai-ramai. Pendekatan ini menyegarkan, lantaran restoran fine dining Ibu kota lainnya sedang sibuk bersolek dekorasi interior.

Di tengah ruang makan utama, terdapat satu mobil Fiat klasik yang dipajang. Mata pengunjung pasti akan tertuju ke sana. Tapi jangan salah. Pemandangan paling menarik sebenarnya dapur restoran yang dirancang terbuka, sehingga kalian bisa melihat juru masak bekerja. Dari ruangan itulah, Burrell mengolah masakannya. Dan itu sajian utama paling penting dari pengalaman makan kalian saat mengunjungi Attarine.