Seorang perempuan berkain sarung dari kepala hingga kaki bersiap melaksanakan prosesi mandi uap. Bau minyak keletik dan ramuan tradisional tajam menusuk hidung. Ramuan itu buatan Mbok Reni, dukun beranak alias paraji dari Desa Agrasunya, Cirebon, Jawa Barat.
Reni sedang memandu perempuan muda yang baru saja melahirkan untuk melakoni prosesi mandi uap, biasa disebut garangan. Ritual ini bagian dari rangkaian puputan, atau selamatan pascamelahirkan, bagi masyarakat pedesaan Cirebon.
Videos by VICE
Garangan menjadi “wajib” bagi perempuan setempat yang baru melahirkan, karena diyakini membuat sang ibu terhindar dari penyakit. “Di kampung ini memang begitu tradisinya,” kata Reni saat ditemui VICE sesudah selamatan berakhir.
Ramuan bahan garangan terdiri dari daun kemuning, kosambi, kilayu, bunga tujuh rupa, serta rempah-rempah. Semua sumber alami ini didapat dari tanaman sekitar yang tumbuh di kawasan Argasunya.
Sunanto, suami perempuan menjalankan mandi uap garangan, sibuk menyiapkan segala perlengkapan. Ia mengumpulkan kayu dan dedaunan kering sebagai bahan untuk membakar beberapa bata merah dan memasak air.
Air mendidih kemudian dituang ke ember bersih yang sudah berisi ramuan tadi, dicampur dengan bata merah yang sudah dibakar. Asap dan uap segera mengepul. Mbok Reni memasukkan ember itu ke bagian bawah kain yang menutup tubuh ibu sang bayi.
Sebelum memulai garangan, Mbok Reni biasanya memijat ibu dan bayi. Dengan begitu, efek uap dari garangan bisa mempercepat relaksasi otot. “Biasanya habis melahirkan badan kan sakit-sakit. Nah, itu bisa sembuh dan si ibu bisa semakin lancar menyusui bayi karena fisiknya sudah lentur,” kata Reni.
Berbeda dari perempuan dewasa, memberi uap pada bayi tak boleh terlalu lama. Biasanya bayi diberi mandi uap setelah ibunya selesai mandi uap, agar suhu uapnya tidak terlalu tinggi. Sang bayi akan digendong, lalu uapnya dikipas-kipas ke tubuh.
Sunanto menyaksikan seluruh prosesi itu penuh antusiasme. Ia lega bisa menjalankan garangan demi kesehatan istri dan bayinya, agar mereka tidak mudah sakit. Bayi yang baru saja menyapa dunia itu putrinya yang ketiga. Usianya baru sembilan hari.
“Alhamdulillah bisa menggelar tradisi ini walaupun sederhana,” kata Sunanto. Ia menyebut ketiga anaknya lahir berkat bantuan bidan desa yang bekerja sama dengan paraji Mbok Reni.
Sunanto mengaku sangat terbantu dengan keberadaan paraji Mbok Reni selama persalinan, khususnya karena sang paraji tak mematok tarif tertentu. “Paraji juga mau dibayar seikhlasnya,” ujar Sunanto yang sehari-hari kerja kuli mencari pasir di desanya.
Perkara tarif yang tak tentu itu diamini Mbok Reni. “Kadang ada yang ngasih Rp25 ribu, kadang ada juga yang ngasih Rp50 ribu kalau buat mijat atau mandi uap,” ujarnya. “Kalau pas kelahiran ya kadang ada yang ngasih Rp100 ribu, kadang juga ada yang ngasih sampai Rp200 ribu. Jadi segimana di kasihnya saja.”
Paraji berusia 56 tahun itu mengatakan garangan yang paling banyak membutuhkan jasanya. Tradisi ini jamak dilakukan warga Cirebon sejak ia belum jadi dukun beranak. Setelah 26 tahun ia jadi paraji, dia termasuk dari sedikit orang yang masih menguasai dan melestarikan tradisi garangan bagi ibu baru melahirkan.
Selama berkarir, sudah ratusan orang yang dibantu persalinannya oleh Mbok reni. Ia mengaku pernah menangani satu keluarga yang punya sebelas anak, dan ia selalu menangani persalinan kesebelas anak tersebut. Mbok Reni mendapat warisan keahlian dukun beranak dari sang ibu yang menjadi paraji selama lebih dari 40 tahun, sampai wafat pada usia 75.
Profesi ini menuntut keahlian khusus sehingga jarang ditekuni sembarang orang. Keahliannya meliputi membantu proses persalinan ibu hamil, memandikan bayi yang baru lahir dan masih merah, memijat atau mengurutnya, mendampingi dan merawat ibu muda yang memiliki bayi untuk pertama kalinya.
Karena banyak peran yang sifatnya tradisional, paraji akhirnya tak pernah menjadi profesi formal. Berbeda dari bidan, paraji seringkali enggan menyebut biaya jsa tertentu. Tidak jarang jasa paraji cukup dibayar dengan makanan atau sembako.
Sejak Indonesia mengalami modernisasi besar-besaran selepas kemerdekaan, termasuk di bidang kesehatan, dukun bayi pun kian terpinggirkan dan langka. Peran persalinan oleh paraji coba dipangkas pemerintah dengan lahirnya Undang-undang No 29 tahun 2004 dan Permenkes No 97 tahun 2014 yang melarang paraji membantu proses persalinan ibu hamil.
Alasannya persalinan dengan cara tradisional seringkali memunculkan risiko kematian tinggi bagi ibu dan bayi. Merujuk data terkini BKKBN, terjadi kematian 305 ibu di setiap 100 ribu proses melahirkan. Sementara bayi yang meninggal mencapai 24 per 1.000 kelahiran.
“Di Indonesia, angka kematian ibu dan bayi dari data susenas masih cukup tinggi,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo, seperti dilansir Kompas.com.
Regulasi pemerintah akhirnya mengatur persalinan harus dilaksanakan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) atau Puskesmas yang memiliki ruang bersalin. Kendati demikian, regulasi ini tak serta merta menamatkan kiprah paraji di berbagai wilayah Indonesia. Mbok Reni setidaknya masih bisa bekerja, meski tugas pokoknya bukan lagi menjadi fasilitator utama persalinan.
Orang seperti Mbok Reni yang menjadi paraji desa kini lebih ditugaskan sebagai mitra bidan desa. Paraji biasanya menjadi asisten atau pembantu bidan yang menangani suatu persalinan.
Mbok Reni hanya bisa pasrah dengan adanya regulasi tersebut. Ia juga tidak keberatan menjadi asisten bidan di wilayahnya. “Kalau ada ibu yang lahiran, ya saya panggil atau saya telepon bidan biar ditangani bareng-bareng karena saya sudah enggak boleh lagi [menangani persalinan],” tuturnya.
Problemnya, akses ke layanan kesehatan, atau minimal klinik bidan, belum merata di berbagai wilayah. Di daerah yang terpencil dan akses jalannya sulit, seringkali yang bisa membantu persalinan hanyalah dukun bayi.
Namun, bila kelak pemerataan akses terwujud, maka Mbok Reni sudah siap menerima kenyataan. Dewasa ini dia mengaku sudah semakin jarang mendapat panggilan warga desa. Jika pun ada panggilan, ia hanya diminta memijat dan mengurus bayi yang baru lahir, seperti yang dilakukan Sunanto untuk istrinya yang memerlukan mandi uap.
“Paling sebulan dua sampai lima [pasien] yang minta, itu pun kebanyakan yang kenal, atau pelanggan ibu saya dulu,” tutur Mbok Reni.
Iqbal Kusumadirezza adalah jurnalis foto lepas, mukim di Bandung.