Bangga Sama Kevin/Marcus? Jangan Euforia, Indonesia Sebetulnya Masih Paceklik Gelar Badminton

Kiprah pasangan ganda putra bulutangkis terbaik dunia saat ini, Kevin Sanjaya Sukomuljo/Marcus Fernaldi Gideon belum bisa diatasi negara lain sampai akhir 2017. Akhir pekan lalu, mereka menggenapkan dominasi nomor ganda putra dalam rangkaian kompetisi elit BWF Super series. Kevin dan Marcus, sering dijuluki The Minions, menjadi kampiun pada gelaran Super series Final di Hamdan Stadium, Dubai. Kevin/Marcus menciptakan rekor yang tampaknya sulit dipatahkan di masa mendatang: menjadi ganda putra pertama dalam sejarah bulu tangkis dunia yang sukses meraih tujuh gelar super series dalam setahun kalender pertandingan.

Segera setelah smash keras Marcus—yang nyaris absen dari permainan The Minions dalam dua pertandingan sebelumnya—gagal dikembalikan dengan baik oleh Liu Cheng, kegembiraan keduanya tak bisa dibendung lagi. Mereka menjatuhkan diri, berbaring, tak percaya bahwa mereka bisa begitu sakti mandraguna tahun ini sebelum kembali bangkit dan menyalami lawan yang mereka pecundangi hari itu: juara dunia 2017, Liu Cheng/Zhang Nan.

Videos by VICE

Tentu, publik dan media massa di indonesia bergegas merayakan capaian luar biasa keduanya. Kesimpulannya cuma satu: kemenangan Kevin/Marcus adalah euforia nasional. Maaf ya, momen pemersatu olahraga Indonesia tahun ini ternyata bukan kirab kemenangan Bhayangkara FC!

Sayangnya, kami di VICE Indonesia khawatir kalau kemenangan Kevin/Marcus yang sensasional menjadi jebakan batman. Pasalnya, kita bisa terbuai hingga lupa—terlepas dari fakta dominasi The Minions yang belum ada tandingannya itu—kancah badminton nasional masih belum keluar dari masalah yang sama. Makanya, VICE Indonesia berusaha menyusun semacam panduan merayakan dan menyikapi kemenangan gemilang The Minions pekan lalu secara lebih kritis.

Tenang, kami enggak asal bikin analisis. Kami ngobrol lewat sambungan telepon dengan tokoh sepuh bulutangkis Indonesia yang disegani, Christian Hadinata, selama proses penyusuan panduan ini.

Jadi, Apakah Kita Harus Merayakan Kemenangan Kevin/Marcus?

Ya iyalah, jelas! Alasannya? Ini bulutangkis coy! Cabang olahraga ini mungkin kalah jauh populer dari sepakbola. Tapi, kalau masalah sumbang prestasi, badminton masih rajanya. Lagipula, kalau ada cabor yang atletnya disemangati pakai yel-yel “IN-DO-NE-SA” dan (seringnya) menang, maka kayaknya cabang itu cuma bulutangkis deh.

Terus, ya kayaknya kualat bener kalau enggak sumringah menyaksikan prestasi Kevin dan Koh Sinyo—panggilan akrab Marcus. The Minions harus melewati onak dan duri di Dubai kemarin. Leher Marcus cedera di hari latihan pertama. Alhasil, The Minions kehilangan daya gedor serta sering bikin kesalahan amatir. Kevin/Marcus sempat sangat kerepotan di babak penyisihan grup. Puncaknya mereka harus bermain sangat defensif saat bertemu Keigo Shonoda/Takeshi Kamura—ini jelas jauh di luar gaya permainan no lob yang jadi ciri khas The Minions. Beruntung Koh Sinyo kembali ke performa terbaiknya saat mengandaskan pasangan Zhang Nan/Liu Cheng.

Kemenangan atas Zhang Nan/Liu Cheng adalah pembalasan dendam yang manis. Patut diingat, Zhang Nan/Liu Cheng adalah pasangan yang mendepak The Minions dari gelaran Piala Dunia tahun ini. Pasangan Tiongkok itu pula yang pada Denmark Open Super series Premier mengandaskan Kevin/Marcus di laga puncak dengan skor sengit: 21-16, 24-22 dan 21-19. Minggu lalu, rekam jejak buruk dua pertarungan terakhir seakan hilang. Kevin dan Koh Sinyo membereskan Juara Dunia 2017 itu dengan menyakinkan dalam dua set langsung: 21-16 dan 21-15.

Terakhir, Kevin Marcus sukses meraih satu gelar lebih tinggi dari rekor yang dicetak ganda putra legendaris Korea Selatan, Lee Yong-dae/Yoo Yeon-Seong pada 2015. Rasanya capaian ini bakal bertahan lama deh. Pasalnya, persaingan ganda putra ke depan akan makin berat, sehingga dominasi Kevin/Marcus bakal susah diulang. Lagipula pemilik rekor sebelumnya kayaknya enggak tertarik menuntut balas setelah Lee Yong-dae pensiun dini setahun lalu.

“Tim pelapis seperti belum siap. Idealnya kita punya tiga atlet yang setara. Jadi, kalau satu istirahat yang lain tetap bisa juara.” — Christian Hadinata

Jadi, enggak ada alasan kita enggak merayakan kemenangan The Minions hari minggu lalu. Kalau perlu, ayo kita bikin petisi agar pemerintah mau meresmikan tanggal 17 Desember sebagai Hari Kesaktian The Minion agar kita bisa mengenang kehebatan Kevin/Marcus sampai kapanpun. Apalagi 17 Desember tahun depan jatuh pada hari Senin—biar kita dapat tambahan long weekend buat travelling #liveauthentic #mylifemyadventure #backpackerindo

Dominasi The Minions Ini Apakah Menandakan bulu tangkis Indonesia Bangkit Lagi?

Nah, untuk pertanyaan ini kita wajib lebih hati-hati. Mari kita runut prestasi Indonesia di rangkaian BWF Super series 2017. Dari 12 gelar yang diraih Indonesia, tujuh gelar didapatkan Kevin/Marcus, dua oleh Tantowi Ahmad/ Lilyana Natsir/, satu disumbangkan Praveen Jordan/Debbie Susanto, satu dari Greysia Polii/Apriyani Rahayu, dan satu gelar lainnya dari Anthony Sinisuka Ginting.

Dengan raihan 12 gelar, kita cuma kalah dari Cina yang meraih 17 gelar. Pertanyaannya kemudian: berarti kita sudah mulai ngimbangin atlet bulu tangkis Tiongkok dong?

Jawabannya: enggak sama sekali. Sejak tahun lalu Cina memang cuma dapat 17 gelar dalam setahun. Sayangnya, itu bukan gara-gara pemain kita makin moncer.

Ingat, lima tahun belakangan cabang bulu tangkis enggak sepenuhnya dimonopoli Cina, Indonesia, Malaysia dan Korea Selatan. Tahun ini, tunggal putri terbaik di dunia adalah Tai Tzu Ying dari Taiwan. Sementara ganda Putri adalah ladang gelar bagi Jepang. Tiga ganda putri mereka—Shiho Tanaka/Koharu Yonimoto, Sayaka Hirota/Yuki Fukushima dan Misaki Matsumoto/Ayaka Takahasi—bergantian jadi kampiun. Sementara India punya Kidambi Srikanth yag jadi tunggal putra terbaik di empat gelaran Super series.

Melihat lanskap bulu tangkis internasional ini, saya menghubungi Christian Hadinata, pebulu tangkis legendaris Indonesia. Menurut Koh Chris, panggilan akrabnya, makin banyak negara jago bulu tangkis ada untungnya juga. Dengan makin meratanya kekuatan bulutangkis dunia, posisi bulutangkis sebagai cabang olahraga di Olimpiade tak akan diganggu gugat. Artinya, menurut Koh Chris, asa Indonesia mendulang emas di pesta olahraga sedunia itu terus terjaga. Kalau gitu bagus dong? Masalahnya di mana?

Nah, ini problemnya. Dari penjelasan Koh Chris, persoalan yang sama masih melingkupi badminton Indonesia. Perkembangan dan regenerasi pemain bulutangkis unggulan kita lambat sekali. Barometernya gampang: Jika lebih dari lebih dari setengah gelar yang dikumpulkan Indonesia datang dari peluh Kevin/Marcus, kita bisa lihat sendiri betapa untuk nomor-nomor lain, paceklik gelar Indonesia terus berlanjut.

Paceklik paling terasa di nomor-nomor tunggal, baik putra ataupun putri. Di tunggal putri misalnya, jangankan jadi juara, sampai ke perempat final sudah hampir mustahil bagi pemain kita. Nasib serupa terjadi di tunggal putra. Boleh jadi tahun ini Indonesia berhasil menciptakan all Indonesian Final—sesuatu yang sudah jarang terjadi sekarang—di Korea Open yang mempertemukan Jonatan Christie dan Anthony Ginting. Masalahnya, prestasi ini belum bisa dijadikan ukuran peningkatan prestasi dua tunggal putra utama Indonesia itu. Ingat, beberapa pemain elit seperti Viktor Axelsen, Lee-Chong Wei, serta Kidambi Srikanth mundur atau enggak turun bertanding.

Bahkan di nomor-nomor ganda, biarpun kelihatan lebih mentereng, sebenarnya Indonesia belum lepas dari masalah klasik: regenerasi. Di ganda campuran, andalan kita masih saja ganda senior Owi/Butet, sementara pelapis mereka, Praveen Jordan/Debby Susanto belum kunjung stabil performanya. Enggak heran, kalau tahun depan pasangan ini bakal dipisah.

Di ganda putri, sebenarnya ada sedikit keajaiban. Apriyani Rahayu yang dikarbit jadi pasangan Greysia Polii bermain cukup, masuk dua kali final, dan sekali membawa gelar di Super series. Masalahnya, Apriyani dipasangkan pemain yang sangat senior: Greysia. Artinya, Indonesia belum punya pasangan muda berbahaya sekelas Chen Qinchen/Jia Yi Fan yang dimiliki Tiongkok.

Lalu, siapa bilang kita enggak punya masalah di ganda putra? 2017 memang tahunnya The Minions, tapi jelas bukan tahun yang oke buat ganda putra Indonesia. Setelah mengukir All Indonesian final di India Open, praktis tak ada pasangan ganda putra kita yang masuk final kejuaraan internasional kecuali Kevin/Marcus. Keadaan terakhir menunjukkan Angga Pratama/Ricky Karanda Suwardi masih belum lepas dari trauma cedera, sementara Muhammad Ahsan/Rian Agung Saputro tak kunjung menemukan chemistry.

Jadi, kalau ditanya apakah kondisi badminton sudah balik lagi? Sulit untuk terlalu optimis. Begitu kami layangkan pertanyaan yang sama ke Koh Chris, maestro bulutangkis Indonesia mengungkap jawaban yang kurang sedap didengar.

“Ini sudah satu warning bahwa tim pelapis seperti belum siap. Idealnya kita punya tiga atlet yang setara. Jadi kalau satu istirahat, yang lain tetap bisa juara,” katanya.

Terus Solusinya Apa Dong?

PBSI lebih dulu ketar-ketir dengan kondisi perbulutangkisan Indonesia. 2018 diprediksi bukan tahun enteng bagi atlet-atlet Indonesia. Dua ajang prestisius—kejuaraan Thomas/Uber Cup dan Asian Games—datang berturut-turut tahun depan. Artinya, dengan jadwal kompetisi makin ketat, kita mestinya enggak boleh terus menaruh harapan ke Owi/Butet dan The Minions saja. Mereka mungkin sakti mandraguna, tapi sayangnya karena lahir di bumi—bukan di Planet Krypton— dua ganda andalan kita itu riskan kena cedera.

Langkah-langkah darurat sudah waktunya dilakukan. Setelah dikabarkan bakal melakukan perombakan pasangan, PBSI juga memanggil kembali Hendra Setiawan. King of The Front Court ini bakal kembali dipasangkan dengan Muhammad Ahsan—mimpi basah publik badminton lokal sejak beberapa tahun terakhir.

Cuma, harus diakui ini ibaratnya langkah kepepet yang diambil oleh PBSI. Ahsan/Hendra adalah pasangan senior yang tak lagi muda. Umur mereka sudah kepala tiga. Namun, untuk sebuah target prestisius seperti Thomas Cup, Koh Chris sendiri turut merestui tindakan kalap PBSI.

“Ini strategi yang menurut saya bagus sekali karena paling tidak tahun depan di Piala Thomas kita perlu dua ganda yang kuat. Di Asian Games juga seperti itu,” kata Koh Chris. “Meskipun harus diakui kalau regenerasinya kurang berjalan. Ini suatu langkah yang ‘darurat.’”

Tentunya, langkah macam ini, maksudnya merujukkan kembali pasangan tua, mungkin bisa menyelamatkan muka kita di gelaran sekelas Thomas/Uber Cup. Masalahnya, cara yang sama mustahil menciptakan pemain muda berbahaya semacam Chen Qincheng.

Meski terdengar klise, Chen Qinchen tak akan muncul sebagai pemain muda berbahaya tanpa program regenerasi yang baik. Kuncinya, menurut Koh Chris, ada di transisi kompetisi junior ke senior. Kabar baiknya, tahun ini, Indonesia lumayan banyak bicara di level Junior. Dalam Kejuaran Dunia Junior yang digelar di Yogyakarta beberapa bulan lalu, kita berhasil menciptakan All Indonesian Final di nomor Ganda Campuran dan menjadi kampiun di nomor tunggal putri.

Intinya, kita punya talenta-talenta yunior potensial. Cuma butuh sedikit kecerdikan untuk memoles dan memuluskan transisi mereka ke jenjang senior.

“Awal-awal transisi (dari level junior ke senior) memang perlu penanganan khusus,” ujar Koh Chris. “Kemungkinan kalah masih sangat besar. Jadi perlu penanganan psikologis yang tepat. Pengiriman atletnya enggak boleh salah kirim. Pelatih harus cermat mengkalkulasi kemampuan atlit yang baru mentas (dari level junior) ini.”

Begitulah. Regenerasi adalah kata kuncinya. Hanya saja, seperti Koh Chris dan kita semua tahu, nasehat itu selalu sederhana. Yang berat itu tafsiran serta penerapannya di lapangan.
Follow Manan Rasudi di Twitter. Jangan ragu ajak dia ngobrol soal badminton.