Semboyan Indonesia sebetulnya masih “Bhinneka Tunggal Ika”, berbeda-beda namun tetap satu jua. Sayang, kondisi riil dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Berita palsu bertebaran di media sosial kita, mempengaruhi pandangan orang, yang seringkali kita kenal. Saat sobat atau saudara kita membagikan tautan ke hoax macam itu, tentu saja kita gatal ingin berkomentar.
Hasilnya kita masing-masing mengambil sikap politik berbeda, berujung pada perdebatan tajam. Masih mending kalau perdebatan itu hanya berakhir di beranda Facebook atau timeline Twitter saja. Jadi runyam semuanya saat pertengkaran dengan keluarga, sahabat, atau rekan sekantor merembet ke dunia nyata. Sudah banyak sekali yang mengalami konflik macam ini. Berantem betulan, sampai putus hubungan, hanya gara-gara postingan atau kabar di medsos. Tentu sebagian orang jadi mikir. Internet seharusnya memberi kita kemudahan karena informasi sedemikian melimpah tersaji dengan cepat di tangan, serta mempermudah dan mendekatkan komunikasi kita dengan mereka yang terpisah jarak. Faktanya, yang lebih sering terjadi, banjir informasi justru makin memperlebar jurang perbedaan antar manusia. Lebih-lebih di Indonesia beberapa tahun belakangan.
Coba deh ingat-ingat lagi masa sebelum medsos. Orang sesuai fitrahnya punya pandangan politik berbeda-beda. Itu biasa. Kalaupun mereka mau membagikan pemikirannya, jangkauan itu hanya mencapai kalangan terdekat yang sepakat pada gagasannya. Sementara sekarang, dengan kemudahan berkomentar lewat dunia maya, tampaknya semua orang ingin sekali dunia tahu kalau mereka punya sikap tertentu kala merespons sebuah peristiwa. Yang begini ini mendorong orang saling unfriend atau unfollow di medsos.
Videos by VICE
Agaknya perlu digelar survei oleh lembaga riset politik, untuk mencari tahu seberapa besar orang saling putus pertemanan di medsos maupun dunia nyata. Tepatnya, hubungan baik jadi berakhir sesudah pemilihan presiden 2014 atau pilkada DKI Jakarta 2017. Kalau hasilnya ada peningkatan data macam itu, sudah pasti biang keroknya adalah politik.
Jadi, apa yang harus kita lakukan dalam kondisi bangsa yang makin terpecah belah seperti sekarang? Haruskah kita ikut serta ngotot mempertahankan sikap politik pribadi dengan risiko kehilangan hubungan pertemanan? Atau masih mungkinkah kita duduk semeja, memanfaatkan akal sehat, berusaha saling memahami opini lawan debat kita? VICE Indonesia bersama Guinnes, membahas topik ini bersama beberapa anak muda negara ini. Mereka semua pernah merasakan pahitnya bertengkar, bahkan putus hubungan pertemanan, gara-gara beda pemikiran.
ARMAN DHANI, 31 TAHUN, PENULIS
VICE: Kamu mengalami beberapa kali beda pendapat atau berantem gara-gara sikap politik, yang berawal dari medsos. Pernah ada dampaknya enggak di dunia nyata?
Arman Dhani: Jelas ada sih. Gara-gara berantem atau beda pendapat jadi agak canggung saat kita ketemu. Biasanya soal hal-hal politik sama pilihan yang prinsipil. Misalnya, apakah kamu pro-choice atau tidak. Atau hal-hal yang bagi saya itu fundamental seperti Hak Asasi Manusia. Misalnya ada orang-orang yang menganggap bahwa kalau mau mengatasi masalah di Indonesia harus tegas, ektremnya bunuh orang, hukum mati. Nah kalau sama mereka itu enggak bisa ketemu pendapatnya. Sehingga, saling jaga jarak. Kalau yang sampai putus pertemanan mah udah lumayan sih, tapi biasanya dari teman-teman saya yang SD, SMP, SMA, kuliah gitu, yang enggak terlalu akrab.
Jadi kalaupun sampai putus hubungan di kehidupan nyata, karena memang debatnya sama teman-teman yang pilihan politiknya sejak awal sudah beda ya.
Misalnya pas 2014 sikap kita terhadap politik, bagaimana kita memandang penyelesaian masalah. Menurut mereka, “Ya enggak bisa Indonesia harus dipimpin militer, sehingga menurut mereka akan tegas sehingga bisa lebih baik.” Sedangkan menurut gue supremasi sipil itu lebih baik. Ya itu agree to disagree. Gue belajar untuk melihat bahwa kita enggak bisa memaksakan pendapat yang menurut kita benar. Karena, kita enggak tahu bagaimana dia menghasilkan pikiran yang seperti itu. Media sosial itu kan memang menghakimi apa yang dia tulis atau menghakimi apa yang dia tampakkan. Kan media sosial itu bukan jadi tolok ukur.
Masih mungkin enggak buatmu mengajak mereka yang berbeda pandangan mencari jalan tengah dalam perdebatan ini?
Gue enggak yakin itu bisa. Karena ketika orang sudah menyatakan sikap, akan susah sekali untuk ditarik ke pihak kita. Makanya, poinnya kalau di media sosial poinnya bukan meyakinkan dia bahwa dia salah. Misalnya kalau gue twitwar atau gue nulis di Facebook gue tidak berusaha untuk bikin orang yang bersebrangan gue percaya dengan apa yang gue tulis. Tapi ketika gue kontra, kan ada yang baca tuh. Gue lebih memilih bagaimana mengajak orang-orang yang belum menentukan sikap itu untuk kemudian berpihak pada gue.
Pernah enggak kamu sampai didatangi atau dikonfrontasi langsung orang gara-gara beda opini?
Ada beberapa teman gue yang secara aktif kontra dengan gue. Memang memposisikan menolak pendapat gue karena dia dari kelompok konservatif. Misalnya gue mendukung hak perempuan untuk mengaborsi, sedangkan dia merasa bahwa aborsi itu dosa. Ketika gue pakai alasan rasional dan dia pakai alasan agama kan sikapnya, udah enggak masuk. Tapi ya sudah. Gue memilih diam saja karena, “anjir gue udah berteman dengan orang ini dari SD, masa gara-gara kayak gini gue harus kontra dan membuat dia benci sama gue.” Pada satu titik memilh untuk tidak merespon, karena ada hal-hal yang harus dirawat, misalnya teman-teman SD yang udah dari kecil bareng meskipun pemikirannya kolot dan tolol, tapi enggak berarti dia jahat. Bisa saja dia hidup di lingkungan yang memang kayak begitu.
Masih mungkin enggak menurutmu kita menciptakan ruang dialog baru yang lebih aman untuk kedua belah pihak yang beda pendapat?
Sangat mungkin. Karena sejauh ini di media sosial kita hanya merespon tulisan yang bukan manusia. Tapi kalau ingin tahu dan menciptakan medan yang hangat dan netral, ya gue harus ketemu sma aorang itu dan ngobrol baik-baik. Kadang orang-orang tersebut kan enggak memiliki akses sebaik orang yang lain.
Kita juga enggak tahu kenapa orang bisa (berpandangan) kayak begitu. Jadi gue merasa kalau mau merespon suatu isu dengan pandangan yang banyak, kita harus ketemu dan ngobrol bareng. Kita bisa enggak sih agree to disagree? Itu bisa banget, masalahnya kita mau atau enggak.
AMAR ALBANA, 21 TAHUN, MAHASISWA
VICE: Katanya kamu pernah berantem di medsos sampe unfollow, unfriend atau block-block-an ya?
Amar Albana: Jadi pas Pilpres lalu, saya pembela Prabowo dan temen saya Jokowi. Kebetulan temen saya itu temen sesama klub motor. Kami dulu sering share berita yang menjatuhkan calon presiden satu sama lain. Kami saling adu argumen, saya masih 19 tahun pada waktu itu. Dan temen saya 57 tahun. Kami waktu itu akrab-akrab saja. Karena jengkel, ya dia hapus saya dari pertemanan, lalu saya block.
Itu gara-gara debat Pilpres 2014, udah lama dong. Setelah direfleksiin lagi, sepadan gak sih pertemanan rusak karena urusan politik di sosmed?
Saya lebih baik mempertahankan teman, daripada memaksakan pandangan politik saya buat orang lain. Alhasil gak ada gunanya, saya kehilangan temen yang seharusnya saya masih bisa main, sedangkan politik? Saya gak diuntungkan.
Menurut kamu, apa wajar beberapa di antara kita lebih milih mempertahankan sikap politiknya daripada pertemanan?
Hmmmm… Hal itu wajar, namanya hak setiap manusia. Apabila kita mempertahankan politik, berarti berpikir bahwa “Gua memilih pemimpin atau sosok yang menurut gua ini bener”. Kadang ada saja mungkin orang yang lebih milih mempertahankan politik karena mungkin menurut mereka kalau temen masih bisa dicari.
Kamu sendiri apa masih sering kepikiran ‘unfriend’ atau ‘unfollow’ seseorang karena karena perbedaan pandangan politis, agama atau isu sosial lainnya?
Saya tidak akan melakukan itu lagi, karena saya lebih milih mempertahankan pertemanan. Kalau ada perbedaan pandangan, ya saya jadikan ini informasi. Atau jadi guyonan saya pribadi. Saya bakal lebih toleran, karena saya sudah kapok terlalu membabi buta, brutal urusan politik. Saya enggak mau tiga tahun ke depan saya melihat status-status yang dulu malah jadi malu.
ANDIKA PUTRA, 24 TAHUN, JURNALIS
Kamu kabarnya pernah mengalami konflik sama keluarga gara-gara perdebatan politik? Bener gitu?
Waktu lebaran, gue selalu punya tradisi takbiran sekeluarga. Karena keluarga gue tahu bahwa gue wartawan, mereka nanya soal beragam kasus termasuk soal kasus pilkada. Ada salah satu saudara gue yang enggak bisa terima pendapat gue. Tiap gue paparkan fakta, dia selalu bilang, “enggak bisa!”. Di situ gue mikir bahwa di lingkup keluarga sendiri gue mengalami perdebatan seperti itu. Ada pihak-pihak yang enggak bisa menerima perspektif lain yang nyatanya fakta.
Terus gimana caramu merespons konflik atau debat kusir kayak gitu di lingkup keluarga?
Kalau ke keluarga sih gue mencoba menyampaikan apa yang gue tahu. Gue lihat apakah saudara gue bisa menerima, kalau emang enggak bisa, ya gue malas sih berdebat. Itu namanya bukan konsep diskusi, di mana dua pihak menyampaikan pendapatnya masing-masing tapi sama-sama menerima kan. Kita enggak menarik kesimpulan yang pihak mana yang benar dan yang salah. Karena memang menurut gue, dalam diskusi enggak bisa kita memaksakan pendapat.