Kalian sedang membaca seri Restaurant Confessional, rubrik bagi pelaku industri kuliner dari seluruh dunia menyuarakan secara bebas isu yang sebelumnya jarang terdengar. Semua orang dari lini terdepan sampai paling bawah bisnis restoran mengungkap beragam kejadian di dapur. Di kolom kali ini, kita akan membaca pengakuan bartender yang memilih sober setelah melihat kelakuan menyebalkan pelanggan ketika mabuk.
Menjadi bartender yang enggak minum alkohol membuka mataku, minuman keras dapat mengubah perilaku seseorang 180 derajat. Aku enggak mau menjadi seperti mereka.
Videos by VICE
Aku mencintai pekerjaan ini dan memahami budaya di dalam bar. Aku juga masih harus mencicipi koktail dan minuman racikanku. Tapi, aku lebih memilih sober daripada harus berada di antara mereka.
Aku menjadi bartender enggak lama setelah berulang tahun ke-21, tepatnya setelah menyadari betapa banyak uang yang bisa kuterima dari profesi ini. Tapi, uang bukan satu-satunya alasan. Aku tertarik bekerja sebagai bartender karena bisa mengatur para pelanggan. Jika dibandingkan dengan posisi pelayan, mereka jauh lebih menghargaiku. Aku bisa mengancam takkan membuatkan minuman jika mereka bertingkah semaunya.
Aku tetap memercayai mereka meski caranya menarik perhatianku ngeselin banget. Tapi terkadang, aku bisa menebak orang macam mana saja yang akan membuatku jengkel.
Pengunjung bar tempatku bekerja kebanyakan lelaki mapan berjas yang bekerja di bank dan Wall Street. Ada yang datang bawa istri atau pacar, ada pula yang sendirian. Orang-orang seperti ini biasanya merasa berhak bersikap sesuka hati karena punya duit.
Aku satu-satunya bartender perempuan di sana. Sebagian besar kawan sejawatku laki-laki, sehingga aku harus mendapatkan rasa hormat dengan bersikap tegas dan mempertahankan tekad. Banyak pengunjung laki-laki mengira aku bakal centil sama mereka. Enggak jarang mereka berusaha menggodaku dan memanggil “Hai cantik!” atau “Sayang!” untuk menarik perhatian, seakan-akan aku bakal menanggapi mereka.
Alkohol sering memengaruhi pengunjung laki-laki untuk berkata enggak senonoh. Dulu ada pelanggan yang kerja di finance. Hubungan kami baik-baik saja, dan aku enggak pernah dibikin kesal sama dia. Tapi suatu hari, dia tiba-tiba genit banget saking mabuknya. Dia memanggilku lalu menunjuk ke arah belakang. Aku balik badan dan bertanya, “Ada apaan, sih?” Dia lalu menjawab “Oh, aku sedang lihat-lihat!” Masih belum paham apa maksudnya, aku menoleh ke arahnya dan ternyata dia sedang memandangi pantatku. Dia kemudian bersikeras habis “memuji” jadi aku enggak perlu tersinggung. Aku benar-benar enggak percaya apa yang baru saja terjadi. Dia enggak pernah seperti itu saat sadar.
Pengalaman menjadi bartender berbeda-beda di setiap bar. Sewaktu bekerja di bar yang suasananya lebih mirip kelab, aku pernah ketemu lelaki yang kencing sembarangan. Semua pengunjung tampak bersenang-senang, dan lelaki ini menyewa meja bersama teman-temannya tak jauh dariku. Dia sesekali mendatangi bar, dan kelihatan menikmati momen. Tapi ketika semakin mabuk, dia marah dan berteriak menanyakan kamar kecil. Aku menunjukkan arahnya, tapi dia bilang sudah tahu. Tiba-tiba, dia kencing di samping bar seolah sedang di toilet. Lucunya dia malah bersenang-senang melakukan itu. Dia juga menepuk tangan semua orang di dekatnya. Aku enggak habis pikir bagaimana bisa orang yang datang bareng teman-temannya dan beli botol sendiri berakhir kencing sembarangan di bar.
Orang yang sudah mabuk maunya selalu nambah minum, dan terkadang melobi untuk dikasih gratis. Baik itu koktail maupun anggur, mereka akan minta tambahan minuman. Mungkin cuma sedikit bagi mereka, tapi bisa membuatku dipecat. Di sinilah aku memanfaatkan “kekuasaanku”.
Aku enggak segan bersikap tegas dan menolak permintaan mereka. Aku tahu mereka lagi mabuk, tapi bukan berarti bisa seenaknya.
Tapi, kadang-kadang aku masih suka kasih gratisan kok. Aku bisa melakukannya tanpa dipecat.
Cerita ini telah disarikan ulang jadi sudut pandang orang pertama, sebagaimana diceritakan narasumber kepada Tae Yoon.
Artikel ini pertama kali tayang di MUNCHIES