Momen favorit Gadiwala justru biasa-biasa saja: waktu santai yang tenang ketika suaminya sedang tidak keliling dunia mengunjungi umat atau membangun kuil, atau saat kedua anaknya sedang tidak sibuk mengerjakan PR. “Yang penting kita semua selalu bersama-sama,” ujarnya.
Selama ini Gadiwala tidak diperbolehkan berbicara dengan lelaki yang bukan anggota keluarga, atau dilihat lelaki lain, bahkan oleh sesama pengikut agamanya. Alhasil, dia banyak menghabiskan waktu sendirian di rumah keluarganya, di kota Ahmedabad, sebelah Barat India. Di kota itulah, kami bertemu dengannya. Kami dituntun pembantu pribadi Gadiwala menuju sebuah lounge. Dia sedang duduk di sebuah sofa kayu yang bentuknya menyerupai teratai. Gadiwala mengenakan kain sari paisley berwarna pink di atas kepala dan jam tangan besar berwarna perak dan emas.
Videos by VICE
Di usia 40 tahun, Gadiwala adalah seorang perempuan yang cantik dengan alis melengkung. Dia mudah dan sering tertawa, selalu berusaha menutup mulutnya dengan tangan saat berbicara. Sayangnya, sebagai seorang istri dari Tuhan—atau, seorang lelaki yang percaya bahwa dia tinggal selangkah lagi menuju keilahian—Gadiwala tidak boleh difoto atau menyebutkan nama aslinya. Dia dikenal sebagai “Gadiwala,” yang artinya “istri dari Acharya.” Dalam bahasa Hindi, Archarya berarti pemimpin atau guru spiritual. Suami Gadiwala, Koshalendraprasad Pande, yang kini berumur 45 tahun, adalah sosok Acharya tersebut.
Swaminarayan adalah cabang baru ajaran Hindu dengan perkembangan terpesat di dunia. Namun agama ini pun masih terbagi-bagi ke dalam beberapa sekte. Pande, suami Gadiwala, memimpin satu sekte besar berkat statusnya sebagai keturunan langsung ketujuh Swaminarayan, sosok religius dari Abad 18 yang dipercaya oleh pengikutnya sebagai manifestasi Tuhan.
Pande, istrinya, dan anak lelaki pertamanya memiliki status dewa di antara umatnya. “Hubungan darah dengan Swaminarayan memberikan saya kekuatan dan rasa percaya diri,” kata Gadiwala. Dia buru-buru menambahkan bahwa semua kemewahan tadi datang penuh risiko dan tak boleh dibanggakan. “Kalau kami menampilkan kesombongan dan keangkuhan, maka semuanya menjadi murtad.”
Menurut Profesor Raymond Williams, peneliti yang mendalami ajaran Hindu Swaminarayan, sulit mengetahui jumlah persis pengikut Pande. “Mereka tidak menyimpan data keanggotaan, jadi tidak ada angka yang akurat,” kata Williams. Beberapa pihak memperkirakan ada sekitar 1 juta pengikut—intinya, angkanya terus meningkat. William menyebut tradisi Swaminarayan sebagai “Wajah Baru Hindu.”
Gadiwala menjelaskan bila agamanya tidak memperbolehkan dia menapakkan kaki di jalanan. Maka dia selalu membawa payung yang menyentuh tanah.
Gadiwala juga tidak diperbolehkan naik pesawat tanpa mengenakan burka. Aturan ini kerap memicu masalah. Nama di paspornya mengkonfirmasi identitasnya sebagai seorang Hindu, tapi pakaian yang dia kenakan lebih sering ditemukan dalam agama Islam. Akibatnya, petugas keamanan bandara sering curiga. Penjelasan yang diberikan asisten pribadi Gadiwala kepada petugas imigrasi seringkali tidak membantu. Dia selalu bilang Gadiwala itu ilahi. Istri Tuhan. “Mereka semua tidak percaya,” ujarnya. “Mereka berpikir kami berbohong.”
Kehidupan Gadiwala dulu tidak seperti ini. Dia tumbuh dalam sebuah keluarga normal berkasta tinggi—keluarga Brahmin dari Uttar Pradesh, negara bagian India dengan populasi paling padat. Gadiwala berbicara bahasa Hindi di rumah bersama keluarganya. Dulu dia bercita-cita ingin menjadi seorang dokter. Kehidupan keluarganya religius dan cukup ketat. Dia dan saudara perempuannya selalu dibatasi maksimal jam 8 malam sudah harus pulang. Semua sikap keras keluarga itu, ternyata belum ada apa-apa dibandingkan situasinya ketika menikahi Pande pada usia 20 tahun—setelah dijodohkan oleh orang tuanya. Setelah 22 tahun menikah, Gadiwala mengaku menyukai suaminya pada pandangan pertama.
Tapi pernikahan juga memberinya peran yang dia belum siap lakukan—Gadiwala menjadi guru bagi semua umat perempuan Pande dan bertanggung jawab memberikan nasehat spiritual. Dia juga diharuskan berbicara dalam Bahasa Gujarati, bahasa yang digunakan suami dan umatnya.
“Saya dulu sering menangis keras-keras di awal pernikahan,” katanya sambil tertawa. Kehidupan baru sebagai istri Tuhan berwujud manusia mengejutkan Gadiwala. Dia mengaku jujur, sempat kesulitan menerima tugas barunya. Gadiwala harus menghadapi semua kesulitan tersebut sendirian. Ibu mertuanya—yang pernah menjalani peran seperti Gadiwala—menghabiskan sebagian besar waktunya berjalan-jalan memutari India. Sang ibu tidak sempat membantu Gadiwala melakukan transisi mulus dalam kehidupan barunya sebagai seorang istri Tuhan.
Profesor William mengakui peran sosok seperti Gadiwala sangat berat. Biarpun William mengenal suami Gadiwala dengan baik, dia belum pernah bertemu Gadiwala langsung akibat aturan agama tersebut yang menutup akses bagi perempuan. “Dia menjalani hidup yang sangat berat, menyendiri, dan sangat dibatasi gerakannya,” kata William. “Aturannya sangat ketat dalam perihal siapa yang boleh melihat istri Tuhan, siapa yang dia boleh lihat, dan dengan siapa dia boleh berhubungan.”
Kepada VICE, Gadiwala mengaku ini adalah pertama kalinya dia diwawancarai media.
Diterangi lampu chandelier berwarna hijau terang, Gadiwala menggenggam ponsel di tangannya. Dia berbicara dalam bahasa Inggris secara fasih dan nyaman. Awalnya, dia mengatakan, transisi dari kehidupan normal ke perannya sekarang sangat berat. Tapi lama-lama semuanya terasa lebih enteng—terutama setelah dia melahirkan dua anak, belajar bahasa Gujarati, dan semakin lihai menjawab pertanyaan umat. Biasanya pertanyaan-pertanyaan ini berkisar seputar isu praktik agama, atau cara menjaga rumah tangga agar harmonis.
Tapi sering juga pertanyaan ini berkaitan dengan menstruasi—perempuan Swaminarayan tidak diperbolehkan melakukan apapun ketika sedang mengalami periode bulanan. Aturan tersebut menjadi sebuah tantangan bagi mereka yang tidak memiliki keluarga untuk membantu. Tidak boleh mengangkat-angkat, tidak boleh bersih-bersih, tidak boleh mencuci, tidak boleh memasak. Solusinya lalu bagaimana?
“Ya suaminya yang harus kerja. Mengerjakan urusan rumah tangga,” kata Gadiwala. Sesuai keterangan Dr Williams, Gadiwala dan ibu mertuanya memegang peran yang krusial sebagai penasehat di komunitas mereka. “Mereka sangat sadar akan masalah-masalah yang dialami umat perempuan,” ujarnya.
Di satu titik, Gadiwala harus memutuskan bagaimana dia ingin menjalani hidupnya sebagai sosok ilahiah. Dia bisa melakukan apa yang ibu mertuanya dulu lakukan—duduk di dalam kuil mengenakan sari berbobot berat karena penuh ornamen, sekaligus menjadi sasaran konsultasi dan panjatan doa jutaaan pengkut. Tapi belakangan Gadiwala menginginkan peran yang lebih filantropis, membantu anak-anak yatim dan miskin. “Saya meyakini bahwa keilahian itu sama dengan kemanusiaan,” ujarnya. Dia menambahkan bahwa spiritualitas tanpa kemanusiaan itu sama saja murtad. Dia sempat mencoba gaya hidup di kuil, tapi mengatakan “bagi saya, kalau hanya pergi ke kuil dan bertemu perempuan di sana…rasanya sia-sia.”
Pendekatan ini terbilang radikal bagi seseorang dengan posisi spiritual sepenting dia—suaminya bisa saja menolak. Tapi Pande rupanya mendukung. Dia ikut mendorong sang istri untuk melakukan setiap hal yang dia percayai.
Karena Gadiwala tidak diperbolehkan seenaknya menemui orang, dia mengumpulkan perempuan setempat untuk membantu. Awalnya, Gadiwala hanya memiliki lima perempuan yang rutin membantunya—delapan tahun kemudian, angka ini melejit menjadi 700 orang. Dia berharap sebentar lagi bisa membuka panti asuhan mereka sendiri. Pekerjaan seperti ini, ujarnya, jauh lebih berarti dibanding hanya melangsungkan praktik keagamaan.
“Ketika kamu membuat satu anak miskin tersenyum—dengan permen, coklat, es krim—ini lebih penting daripada 100 kali sembahyang di kuil.”
Dr Williams mengatakan situasi sosial maupun demografi Gujarat tengah mengalami perubahan. Maka dari itu ekspektasi umat terhadap Gadiwala ikut berubah. “Kesungguhan Gadiwala dalam bidang kemanusiaan mungkin adalah bukti bahwa dia merespon perubahan itu,” ujarnya. Bertambah banyak rakyat, terutama perempuan, semakin terdidik di Negara Bagian tersebut. “Seluruh masyarakat sedang berubah, dan maka dari itu peran pemimpin agama—baik Acharya dan istrinya—juga berubah.”
Setiap hari, Gadiwala bangun sebelum jam 5 pagi melakukan puja—ritual doa menggunakan api kecil, sebelum pergi menuju kuil. Dia tetap rutin berkeliling India dan dunia untuk mengunjungi umatnya. Namun ada yang lebih penting daripada tugas filantropi dan praktik keagamaannya: anak-anaknya belakangan menginjak usia remaja. Anak perempuannya yang berumur 16 tahun menempuh pendidikan di SMA, sementara anak lelakinya yang kini 19 tahun, Vrajendraprasad, masuk jurusan psikologi di universitas setempat.
“Mereka berada di umur di mana mereka sangat membutuhkan orang tua, dan saya tidak pernah berkompromi dengan ini,” kata Gadiwala. “Saya tidak malu mengatakan ini; anak-anak saya lebih membutuhkan saya dibanding umat.” Gadiwala menolak bepergian ketika anak-anaknya tengah menghadapi ujian serta mencoba selalu menemani mereka di malam hari—biarpun artinya dia harus bangun jam 2 pagi untuk bepergian keliling India.
Ketika kami sedang ngobrol, anak lelaki Gadiwala sedang berada di luar negeri untuk pertama kalinya, menemani sang ayah ke Chicago. Suatu hari, dia akan mewarisi posisi ayahnya, yang tentunya akan mencakup banyak kunjungan internasional. Koshalendraprasad Pandel telah membangun hampir 190 kuil dan pura di berbagai pelosok dunia dalam 10 tahun terakhi. Mengingat aangka pengikutnya terus bertambah, bisa dibilang Vrajendra kelak hanya perlu melanjutkan perjuangan ayahnya.
Satu saat nanti, Vrajendra akan menikah. Tradisi agama sang suami menuntut anak sulung Gadiwala, istri Vrajendra kelak, berasal dari kelas kasta yang sama (Brahmin), serta sebisa mungkin dari wilayah yang sama (Uttar Pradesh). Pande dan Gadiwala akan bekerja sama dengan orangtua calon istri nanti mengurus pernikahan. Namun, Gadiwala khawatir apabila anaknya tidak menyukai jodohnya kelak.
“Kalau dia tidak suka si perempuan, saya tidak akan memaksanya,” ujarnya. Ketika si perempuan bergabung dengan keluarga, dan tinggal bareng di rumah di Ahmedabad, dia harus mempelajari hal-hal yang dulu dipelajari Gadiwala. Bedanya, barangkali, Gadiwala berjanji akan menuntun si perempuan di setiap langkah. Dia tidak ingin pengalamannya yang terpaksa sendirian mempelajari lika-liku hidup sebagai pendamping hidup seorang Tuhan.
Setelah menikah, sang anak harus mengambil alih peran ayahnya, sementara istrinya akan mengambil peran Gadiwala. Tanggung jawab Gadiwala, jika sudah punya menantu, bakal jauh berkurang. Sama seperti ibu mertuanya dulu. Setidaknya sekarang, Gadiwala ingin meneruskan apa yang dia telah bangun.
Kehidupan dia sekarang mungkin tidak sesuai bayangan ketika dia remaja: Dia gagal jadi dokter, tinggal jauh dari kampung, dan malah memimpin ratusan ribu orang umat. “Tapi saya tidak menyesal,” katanya. “Saya sangat bahagia bisa menemukan tujuan sebenarnya dari hidup saya.”
Follow Natasha di Twitter