Negara Islam Irak dan Syam (ISIS), kendati wilayahnya makin menyempit, belum sepenuhnya dibasmi. Militan anggotanya masih berkeliaran bebas di Irak, Suriah, Afrika, dan Afghanistan. Setelah kehilangan beberapa kota penting, termasuk ibu kota sepihak di Raqqa, mereka beralih ke senjata yang lebih canggih, seperti menggunakan drone untuk menjatuhkan bom.
Drone yang digunakan biasanya dibeli di luar negeri dan dikirimkan ke markas-markas ISIS. Setelah selesai dimodifikasi, drone tersebut akan disebar dan digunakan saat peperangan. Strategi baru ini membuat negara-negara kesulitan memberantas ISIS. “[2017 lalu] tentara Irak hampir menghentikan operasi karena ada 70 drone yang melakukan serangan udara selama lebih dari 24 jam,” kata Jenderal Raymond Thomas—Ketua US Special Operations Command—dalam konferensi pers tahun lalu. “Ada 12 lebah pembunuh…di langit…dan kami hanya bisa membalas pakai senjata ringan.”
Videos by VICE
Laporan terbaru lembaga Combating Terrorism Center West Point membeberkan cara ISIS mengembangkan drone secara terjangkau dan kisah perusahaan yang menyokong mereka. Laporan tersebut menjelaskan bahwa “program ini dibentuk oleh sepasang kakak beradik asal Bangladesh yang memanfaatkan sumber daya dari perusahaan-perusahaan di Inggris, Bangladesh dan Spanyol.” Mereka mendirikan perusahaan shell gadungan untuk memesan dan mengirimkan drone ke berbagai afiliasi ISIS di seluruh dunia.
Serangan pesawat tanpa pilot mencapai puncaknya pada musim semi 2017. Saat itu, pasukan koalisi berusaha untuk memberantas ISIS dari Mosul, Irak bagian utara. ISIS melakukan serangan bom menggunakan 60 sampai 100 drone selama satu bulan. Seorang anggota Pasukan Suriah memberi tahu jurnalis TV France 24 di Raqqa, bahwa tempat penyimpanannya diserang 15 sampai 16 kali setiap hari.
Menurut CTC, menyelundupkan drone ke medan perang sangatlah rumit. Namun, berkat Sujan dan Ataul Haque Sobuj, segala sesuatunya menjadi lebih mudah. Sepasang kakak beradik ini adalah pengusaha di bidang IT di Bangladesh yang mendirikan kantor cabang ISIS setempat untuk melancarkan misinya. Mereka memasok armada drone kepada ISIS lewat perusahaan-perusahaan tersebut.
Mereka mendirikan berbagai perusahaan di Inggris, Spanyol dan Bangladesh untuk mengirim uang dan pasokan ke markas-markas ISIS. Di Inggris saja, mereka sudah punya lima perusahaan shell. Dalam mengirimkan drone ke markas ISIS, mereka menggunakan berbagai koneksi bisnis untuk membangun hubungan yang sah dengan perusahaan-perusahaan di Denmark, Australia dan Amerika Serikat.
Menurut laporan dari BBC dan Lawfare, Sujan memutuskan hubungannya dengan negara Barat dan berperang bersama ISIS di Suriah. Ia tewas dalam serangan bom di Raqqa pada 2015, tapi perusahaannya masih terus beroperasi. Saat itu, pihak berwenang Amerika memburu kakak-beradik tersebut, karena mendanai simpatisan ISIS di AS untuk melaksanakan serangan teroris di Amerika.
Cara kerja perusahaan pemasok seperti ini: mereka [sang kakak-beradik] menggunakan nama perusahaannya untuk membeli drone beserta komponennya dari sembilan produsen yang ada di Kanada dan AS. Apabila memungkinkan, mereka akan membayar pakai PayPal dengan menggunakan nama palsu yang kebarat-baratan. Setelah itu, mereka akan menggunakan perusahaan dan nama lain untuk membeli suku cadangnya, seperti kamera, GPS, dan antena untuk memperluas jangkauan ke pilot. Perusahaan yang berbeda di beberapa negara akan mengirimkan komponennya ke negara terdekat dari markas, biasanya Turki. Kemudian, pasokan akan dikirim ke Suriah.
Banyaknya perusahaan, nama dan rekening bank palsu membuat transaksi ini berjalan lancar. Motifnya tampak tidak mencurigakan sama sekali. Sebagaimana tertulis dalam laporan CTC, “transaksi ini, yang dikirim ke kota terdekat dari markas ISIS, menunjukkan betapa mudahnya mereka mendapat pasokan komponen drone dari perusahaan-perusahaan Barat.”
Berbagai lembaga, termasuk organisasi independen bernama Conflict Armament Research (CAR), berhasil memverifikasi beberapa pemasok drone setelah menyelidiki quadcopter yang jatuh. Mereka menemukan sembilan drone yang dibeli dari tujuh pengecer dari lima negara. Ada satu drone yang dibeli dari situs web India pada Agustus 2016, diaktifkan di Inggris pada November, dan ditemukan di medang perang di Irak tidak berapa lama kemudian.
Banyak militan ISIS yang sedang melarikan diri dan perusahaan pemasok dronenya telah diberhentikan operasinya, tapi mereka masih ada di sekitar kita. Buktinya, drone saja bisa diubah menjadi senjata perang. Asal ada orang cerdik yang memiliki banyak sumber daya, maka mereka bisa saja memanfaatkan produsen pembuat drone untuk mengirimkan senjata perang kepada teroris di seluruh dunia. Kita telah melihat sendiri bagaimana Drone dimanfaatkan sebagai senjata perang.
Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard.