Benarkah Programmer Hidupnya Nelangsa?

Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard.

Menurut hasil survei terbaru yang dipublikasikan awal bulan ini, para pengembang software termasuk dalam pekerja yang “lumayan agak bahagia.” Tentu saja ini berita bagus bagi para majikan atau bos perusahaan pengembang program lantaran kebahagian—atau sebaliknya ketidakbahagiann—ada hubungannya dengan produktivitas. Penemuan tersebut dibeberkan dalam sebua makalah yang diunggah bulan lalu ke server arVix. Makalah tersebut bakal dipresentasikan bulan Juni mendatang dalam ajang evaluasi dan assement di Konferensi Pengembangan Software di Swedia.

Videos by VICE

“Belakangan banyak perusahaan punya kebiasaan untuk memastikan kebahagiaan para programer guna menciptakan lingkungan kerja yang produktif,” demikian yang tertera dalam makalah yang disusun oleh Daniel Graziotin. “Beberapa perusahaan tersohor di Sillicon Valley terkenal memanjakan para pembuat software. Kesadaran untuk membahagiakan semua stakeholder yang terlibat dalam perancangan software sangatlah penting dalam kesuksesan perusahaan pembuat software.”

Kebijakan macam ini sudah jadi semacam kiasan dalam berbagai percakapan. Alhasil, bayangan yang terbentuk tentang para programmer adalah pengembang program manja yang dapat makan siang dan pijat di tempat kerja plus gajinya bisa dua digit. Sayangnya, meski begitu, ketersediaan programmer yang benar-benar jago dan mau bekerja, masih rendah di pasar tenaga kerja. Memang, kebahagian di tempat kerja kerap jadi daya tarik suatu posisi tertentu. Namun, penyelidikan yang dilakukan Graziotin dkk lebih tertarik untuk menyigi faktor produktivitas atau tepatnya bagaimana cara memaksimalkan investasi sumber daya manusia yang ada sangkut pautnya dengan kualitas dan kuantitas software.

Graziotin dan timnya menemukan subyek penilitian mereka via Github. Informasi kontak subyek ditemukan setelah tim Graziotin melakukan data mining dari arsip gelaran github yang mencatat ribuan alamat email peserta. Dengan cara ini, tim peneliti barhasil mengumpulkan 33.200 arsip berisi lokasi perusahaan pehgembang, informasi kontak peserta dan data pemilik perusaaan. Lantas, para peneliti mengambil sampel acak dan mendapatkan 1.300 respon jajak pendapat yang valid. (94 persen responden berjenis kelamin laki-laki—sebuah kenyataan yang tak mengenakkan).

Respon-respon kemudian diukur dengan sistem metrik SPANE-B, sebuah perangkat standar dalam dunia psikologi untuk menilai “afek”, yang didefenisikan sebagai total perasaan positif dikurangi total perasaan negatif. Hasil pengurangan tersebut merentang dari -24 sampai 24. Dalam penelitian Graziotin dkk, rata-rata skor kebahagiaan para pembuat perangkat lunak adalah 9.05. Artinya mereka lumayan bahagia. Skor minimum dalam penelitian ini adalah -16 sementara skor maksimal mencapai nilai 24. Jadi bahkan dalam kondisi kerja yang paling tidak mengenakkan sekalipun, para programmer ternyata engga merana-merana amat. Sementara,dalam kondisi kerja paling baik, mereka sama sekali tidak nelangsa. Hasil yang sepertinya bikin majikan mereka tersenyum bahagia.

Penasaran dengan apa yang bikin para pembuat software tidak bahagia? Silakan lihat daftarnya di bawah ini:

Lucunya, salah satu faktor yang kerap dijadikan alasan—setidaknya dalam penelitian ini—adalah sesuatu yang inheren dalam pekerjaan programmer: stuck pas menghadapi masalah. Ini jelas konyol, sebagai seorang programmer mentok dalam memecahkan masalah jelas bagian dari pekerjaan mereka sendiri. Begitu juga menemukan solusi masalah. Yang satu ini juga bagian dari kerja—kalau bukan hal yang mengasikkan dari kerja. Sebab jika mentok saat menghadapi masalah bukan bagian dari kerja, maka sepertinya perusahaan pembuat software bakal sepi peminat karena para cerdik dan pandai—dua ajektif yang lekat dengan programmer—konon doyan mencari tantangan.

Jelas, programmer tak nelangsa sama sekali. “Tapi, ini tidak berarti pembuat software sangat bahagia sampai tak perlu ada usaha mencegah faktor yang bikin mereka nelangsa,” begitu kesimpulan yang disuguhkan oleh Graziotin dkk. “Sebaliknya, penelitian kami menunjukkan ketidakbahagian itu jelas ada. Penyebabnya bisa macam-macam faktor beberapa di antaranya bisa dengan mudah dicegah. Pengamatan dan penelitian yang kami mengungkapkan bahwa ketidakbahagiaan bakal berdampak pada para programmer dan akhirnya pada software yang mereka hasilkan.”

Jadi, mungkin kita harus terus memijat para programmer agar mereka tetap bahagia.