Pandemi COVID-19 mengacaukan segalanya, termasuk kesehatan mental kita. Orang-orang yang sudah menjalani terapi akan semakin membutuhkannya. Termasuk aku, yang rutin terapi dua kali sebulan karena mudah cemas dan merasa harus mencapai segalanya. Ketika terapis mengirim email akan menghentikan sementara konsultasi langsung, mau tak mau aku mesti mencari cara memperoleh hasil terapi lewat panggilan video.
Aku awalnya khawatir kualitas video dan suaranya jelek, serta videonya gampang ngelag saat terapi online. Aku juga takut terapis enggak bisa benar-benar merasakan dan memahami emosiku. Pada akhirnya, aku mengatur waktu terapi pukul 8:30 pagi di ruang kerja. Dengan begini, sesi konselingnya enggak terganggu suara berisik pasangan atau hewan peliharaan. Aku duduk tegak di meja kerja saat terapinya dimulai.
Videos by VICE
Tak ada bedanya dari terapi langsung, aku tetap gugup dan sulit melakukan kontak mata ketika membicarakan hal-hal sulit. Aku masih emosional, layaknya sedang berada di ruangan terapis. Dia juga menyadari kapan saja pikiranku mulai ngelantur. Namun, yang paling penting, aku masih merasa nyambung dan dimengerti oleh terapis meski panggilan video kami sempat nge-lag.
Aku melihat alasan orang-orang kurang menyukai terapi online yaitu karena rumahnya berantakan, enggak PD melihat diri sendiri di layar, koneksi internet buruk, dan merasa enggak nyambung karena ada layar sebagai penghalang—seolah apa yang disampaikan lewat layar “enggak berfaedah”.
Perlu diakui hal-hal semacam ini terkadang bisa mengurangi esensi terapi, sama seperti ketika pikiran kita terganggu dengan suara konstruksi bangunan di luar klinik. Akan tetapi, terapi online sudah lama dilakukan dan terbukti berhasil. Menurut studi yang diterbitkan dalam Journal of Affective Disorders pada 2014, “terapi depresi berbasis internet sama-sama efektif seperti terapi bertatap muka.”
Studi terbitan 2017 bahkan menyimpulkan teleterapi “efektif mengobati dan menangani…depresi, generalized anxiety disorder (GAD), gangguan kecemasan sosial, serangan panik, fobia, ketergantungan obat-obatan terlarang, gangguan penyesuaian, gangguan bipolar, dan OCD.”
Meskipun demikian, kekhawatiran-kekhawatiran seperti yang aku sebutkan di atas tentu masih ada. Oleh karena itu, aku meminta saran beberapa konselor apa saja yang perlu dilakukan supaya sesi terapi online terasa nyaman.
Dr. Robi Ludwig, psikoterapis di New York yang menerbitkan buku Your Best Life is Now, mengatakan terapis “harus siap menangani sekelompok besar orang yang membutuhkan terapi, dan mengatur fleksibilitas jam terapi” selama konseling online. Jika kalian bingung mengatur waktu, coba tanyakan kepada terapis apakah mereka bisa memperpanjang jam kerjanya. Gunakan waktu ini sebaik-baiknya jika mereka bersedia.
Menurut terapis Ginean Crawford di New Jersey, terapis “terlatih” seharusnya bisa membuat sesi online terasa personal bagi klien. Jika kalian sudah nyambung dengan terapis, itu berarti kalian enggak perlu khawatir layar menjadi penghalang. Mereka memiliki kecerdasan emosional untuk memahamimu, meski enggak bertemu langsung. “Mereka tahu caranya menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman,” terang Ginean. “Terapis harus sadar penuh komunikasi lewat online bisa saja kurang mengekspresikan sesuatu. Oleh karena itu, mereka mesti sungguh-sungguh menunjukkan iba dan empati lewat ucapan, nada suara dan ekspresi wajah.”
Ada juga manfaat potensial saat menentukan seperti apa terapi yang membuatmu nyaman. Jangan ragu memberi tahu terapis jika ada yang mengganggumu atau membuat sesi terapi online enggak nyaman. “Kami akan coba membantu klien sesuai dengan etika hubungan terapis.”
Untuk sisi praktisnya, terapis Alanna Gardner di Philadelphia menganjurkan: “Pilih tempat yang aman dan nyaman. Kalau perlu, tutup semua tab di laptop dan matikan notifikasi. Gunakan headphone jika kalian enggak mau didengar orang lain.”
Alanna sepakat dengan Ginean bahwa ini adalah upaya gabungan. Kalian berhak menyuarakan apa saja yang bikin enggak nyaman selama teleterapi. “Beri tahu terapis jika sesi online enggak cocok untukmu,” sarannya. “Beberapa klienku merasa klinik lebih aman karena mereka terhubung denganku, dan layanan terapi dijadikan alasan untuk tetap produktif.”
Terapis “enggak bisa memaksa klien untuk tetap terapi jika mereka merasa enggak dapat solusi. Semuanya adalah keputusan klien apakah terapi online cocok atau enggak untuk mereka. Terapi adalah proses penilaian berkelanjutan mana yang membantu dan enggak. Prosesnya bisa dipertahankan jika setiap perubahan, risiko dan manfaat didiskusikan bersama.
“Konseling dilakukan dengan kemauan sendiri, dan klien bisa menghentikannya kapan saja. Pandemik ini menghalangi kami menawarkan alternatif selain teleterapi.”
Mulailah dari sini. Jika kalian sudah cukup lama berkonsultasi dengan terapis pilihan, itu berarti kalian hanya perlu menyesuaikan diri dengan sesi online. Tentukan tempat yang membuatmu nyaman, lalu matikan semua gadget selain laptop atau HP yang akan digunakan untuk terapi biar enggak lemot. Kalian juga bisa menutup kamera gadget kalau enggak PD melihat diri sendiri. Setelah itu, minta orang rumah untuk enggak berisik karena kalian mau konsultasi sama terapis atau “ada panggilan penting dari kantor” (jika tinggal bareng orang lain).
Terlepas dari penyesuaian diri, terapis kalian masih sama-sama profesional seperti saat kalian bertemu langsung. Meski sekarang terapinya online, kalian tetap harus jujur dan terbuka kepada mereka. Lama-kelamaan, kalian akan terbiasa juga.