Berbuka Puasa Bersama Pemberontak Suriah

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.

Ini pengalamanku ketika meliput Perang Saudara Suriah dari perbatasan Yordania pada 2012, ketika konflik baru berlangsung tak sampai dua tahun. Saat itu, semua jurnalis tak pernah kehabisan bahan untuk diberitakan. Sisi buruknya, aku dan teman-teman pewarta dari negara Barat memilih waktu liputan yang kurang tepat, saat Bulan Suci Ramadan. Banyak rekan-rekan narasumber dan fixer yang tak bisa makan dan minum selama masih ada matahari, membuat ruang gerak menjadi terbatas. Ketika ada beberapa narasumber yang menawari kami ikut buka bersama, rasanya menggembirakan sekali. Kebetulan, pengungsi warga sipil yang kami wawancarai saat itu berada di satu apartemen yang sama dengan Pasukan Pembebasan Suriah (FSA), kelompok dicap sebagai pemberontak oleh Presiden Suriah Basyar al-Assad. Bonus yang tak disangka-sangka.

Videos by VICE

Saat buka bersama itulah, aku duduk di sebelah Mohammed, pria yang di masa damai dulu bekerja sebagai guru di Kota Dara’a. Dia sekarang menjadi salah satu komandan FSA, memimpin ratusan prajurit di unitnya. Dia terpaksa mundur ke perbatasan Yordania karena mengalami cedera. Mohammed masih memberi instruksi pada para pasukan melalui Skype. Setelah sembuh, dia berencana secepatnya ke garis depan pertempuran. Emilie, jurnalis dari Radio France, terheran-heran melihatnya begitu bersemangat memberi instruksi dalam kondisi cedera. Emilie pun bertanya, seperti apa instruksi Mohammed kepada anak buah dari kejauhan. “Saya bilang ke mereka, kalau berhasil menangkap tentara Suriah atau siapapun yang mendukung rezim, langsung bunuh. Tapi digorok saja, jangan ditembak. Sebab harga peluru mahal,” ujarnya.

Mohammaed kemudian menantang para jurnalis Barat, termasuk diriku, agar mencoba puasa sehari penuh. Hanya dengan itulah, kami bisa merasakan nikmatnya iftar. Karena kami adalah orang-orang lemah yang tak sanggup bertahan tanpa asupan cairan apapun di kondisi suhu di atas 38 derajat celcius, aku dan rekan-rekan jurnalis lain gagal total. Aku tak berani bilang kalau kami dari kemarin sudah batal puasa, sebab wajah Mohammed membuat siapapun merasa takut melanggar perintah Tuhan.

Lupakan citra militan-militan Timur Tengah yang biasa kalian lihat di video Youtube. Sulit membayangkan pemberontak Suriah ini memakai topeng hitam kemudian mengarak kepala para musuh dan pengkhianat. Kenyataannya, mereka ini lebih tepat disebut kumpulan bapak-bapak yang kebetulan memegang senjata. Sebagian besar dari mereka mengalami cedera atau terpaksa mengurus beberapa keperluan dulu sehingga harus mundur ke perbatasan Yordania. Para personel FSA ini mengaku berterima kasih karena di masa-masa sulit, warga Yordania mau membantu mereka. Ada delapan prajurit FSA yang kami temui di apartemen tersebut. Di luar rombongan jurnalis, ada 12 orang buka bersama. Ada perempuan yang memakai hijab dan kaos olahraga. Rata-rata terlihat seperti orang yang sudah berumur 45 tahun, walaupun ternyata mereka baru lewat usia 30-an.

Saat buka puasa dimulai setelah maghrib, kami pertama menikmati lebih dulu minuman sirup manis yang disebut ‘suss’. Rasanya kayak obat batuk. Tuan rumah kami tersenyum melihat wajah bule-bule yang berusaha keras menahan ketawa karena minuman yang disajikan rasanya aneh. Kayaknya mereka tahu kami tak biasa dengan rasa suss, selanjutnya suguhan berikutnya adalah jus kurma. Apakah rasanya mendingan? Buatku ini seperti mencicipi air mata unicorn. Beberapa menit berselang, sajian utama tiba di ruang sebelah, disajikan di atas piring-piring besar, diletakkan di lantai berlambar plastik. Para jurnalis bule dengan noraknya memotret piring-piring yang sebagian penuh hummus tersebut dari pintu, biasalah buat instagram, membuat tuan rumah kebingungan melihat tingkah polah kami.

Sambil makan-makan, muncul Abil mengganti saluran TV yang tadinya menampilkan berita pertempuran di Kota Aleppo. Abil juga pejuang FSA yang ingin secepatnya kembali ke Ibu Kota Damaskus dan bertempur melawan pasukan Suriah. Dia memilih nonton siaran langsung tawaf di Makkah yang bisa menghipnotis siapapun. Lewat saluran yang rutin menyiarkan ibadah di Kota Suci Makkah inilah, para penduduk Timur Tengah—termasuk prajurit FSA—memantau waktu salat maupun jam berbuka puasa.

Berbuka ala Timur Tengah berarti makan melingkar di tengah sajian yang dihamparkan di ruangan. Belasan orang berdesak-desakan di ruangan sempit itu. Walaupun situasi sedang sulit, dan nyaris semua pria yang kami temui di apartemen itu menampilkan aura ingin membunuh orang, ternyata masakannya sangat enak. Ada hummus, baba ghanous, masakan olahan kentang yang lupa kutanyakan namanya, semacam salad khas Suriah, roti, foul (dibaca ‘ful’, saus kacang yang diberi bumbu bawang putih) ditambah pasokan ayam bakar dan nasi melimpah. Setelah makan malam betulan dimulai, suara yang terdengar di ruangan itu hanya kipas angin reyot di pojok ruangan serta suara kunyahan yang saling bersaing satu sama lain. Tiba-tiba kesunyian pecah, ketika Mohammad mengarahkan telunjuknya ke ayam di dekatku sambil berbicara dengan suara menggelegar: “Dimakan dong ayamnya, enak lho!”

Aku vegetarian, sudah sembilan tahun lamanya aku tak lagi makan daging. Aku bisa saja menolak mentah-mentah. Tapi di Timur Tengah, menampik tawaran daging akan membuatmu tampak seperti orang gila. Berada di dekat orang yang sudah terbiasa menenteng AK-47 dan bilang kalau aku tak bersedia makan jamuannya terasa tidak bijaksana. Alhasil, aku memohon bantuan Saeed, penerjemah selama liputan itu, untuk menjelaskan kondisiku pada Mohammed sehalus mungkin. “Plis, bantuin aku ya.” Seperti yang kuduga, pria yang tadi memerintahkan prajuritnya menggorok musuh lewat Skype, merasa aku gila karena tak mau makan ayam.

Setelah semua orang selesai makan, kami berkumpul lagi di ruang tamu, minum kopi, merokok sambil mengembuskan asap yang kesannya sengaja diarahkan ke orang-orang yang tak merokok, serta membicarakan perkembangan terakhir dan kehidupan di Suriah. Kami tidak selalu membahas peperangan. Contohnya, para jurnalis Barat baru tahu kalau di Suriah tidak ada McDonalds. Resto waralaba asing satu-satunya adalah KFC (restoran ayam goreng ini ada di berbagai kota sebelum pecah perang. Tidak jelas bagaimana nasib waralaba asing setelah perang berakhir). Kami juga membicarakan kemungkinan memakai Google Maps untuk membantu perjuangan para pemberontak.

Pada akhirnya, setelah semua orang mengemut permen (belum sah mengakhiri jamuan makan di Timur Tengah apabila tidak mengulum gula di mulut kalian), rombongan kami memutuskan pamit. FSA ternyata tuan rumah yang baik dan total saat menjamu tamu. Para pemberontak itu mengundang kami berbuka puasa lagi untuk keesokan harinya. Kami hampir mengiyakan, tapi mengingat kami berarti harus bohong pada mereka soal puasa membuat tawaran itu terpaksa kami tolak secara halus. Nantilah Mohammed. Kalau aku sudah sanggup puasa sehari penuh, baru aku bersedia menikmati iftar yang sesungguhnya bersama kalian.

*Seluruh sosok dalam cerita diburamkan wajahnya, karena ketika artikel ini dimuat Presiden Bashar al-Assad aktif memburu setiap anggota FSA.