Berjuta Hambatan Saat Kalian Belum Nikah Tapi Mau Beli Pil Pencegah Kehamilan Legal

Stigma melingkupi aktivitas seks di luar nikah membuat jutaan perempuan Indonesia berpaling pada cara-cara berbahaya di pasar gelap untuk membeli pil mencegah kehamilan. Persoalan ini menambah pelik situasi, mengingat pendidikan seks di sekolah-sekolah selama ini dibatasi. Dasar hukum pidana di Indonesia saat ini membuat aborsi mustahil dilakukan pasangan pranikah, tanpa harus berurusan dengan praktik pengguguran kandungan tanpa lisensi medis yang dapat mengancam nyawa mereka.

Kenapa aku bisa tahu semua ini? Izinkan aku menjelaskan panjang lebar pengalamanku sendiri.

Videos by VICE

Aku baru-baru ini mengalami sendiri sulitnya mendapatkan pil pencegah kehamilan. Semua ini terjadi gara-gara insiden kondom. Saat aku dan pasangan menyadari kondom yang kami gunakan copot, kami masih agak rileks.

“Tenang, biar aku yang beresin,” kataku pada pasangan. Dengan santai, aku meraih ponsel mencari apotek terdekat yang menjual pil pencegah kehamilan di Jakarta lewat Google. Di Amerika Serikat, negeri tempatku mukim enam tahun terakhir, gampang banget menemukan apotek 24 jam menjual macam-macam merek pil pencegah kehamilan. Di Singapura, yang juga pernah aku tinggali, dokter umum bersedia memberikan pil yang sama setelah konsultasi selama 10 menit.

Aku pelan-pelan merinding ketika pencarian via Google tak membuahkan hasil. Memang, ada beberapa artikel tentang cara membeli kontrasepsi darurat di apotek dan klinik. Tapi ya gitu deh, tulisannya standar dan ga jelas akurasinya. Boro-boro ada nomor yang bisa kuhubungi, ga jelas juga apakah ada apotek 24 jam yang bisa didatangi.

Aku mulai panik. Buru-buru deh waktu itu kukirim pesan ke satu teman yang seumur hidupnya tinggal di Jakarta. “SOS nih, tahu toko yang jual Plan B di Jakarta?”

“Legal atau ilegal nih?” balasnya.

“Bebas! Yang penting cepet, UDAH MEPET NIH.”

“Kalau mau legal, elo perlu resep dokter…masalahnya, beberapa klinik bisa nolak kalau kamu ketahuan belum nikah. Udah gitu, beberapa klinik bakal nanya-nanya tentang kehidupan pribadi elo. Kalau mau yang ilegal… elo bisa beli di apotek-apotek yang jual obat tanpa resep…misalnya di daerah Blok M.”

Menurut hukum yang berlaku di Indonesia, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) hanya menyediakan kontrasepsi untuk pasangan yang sudah menikah. BKKBN tak mengajurkan kontrasepsi bagi individu yang aktif secara seksual namun belum menikah.

“Kami memang mendistribusikan pil pencegah kehamilan ke klinik yang hanya melayani pasangan telah menikah,” kata Sugiyatna, Direktur BKKBN, saat dihubungi VICE Indonesia.

Kalau begitu, apakah benar-benar tidak ada solusi bagi perempuan yang belum menikah untuk mengakses pil pencegah kehamilan?

Aku jadi teringat pada pendidikan seks yang kuterima di sekolah. Seperti sekolah lain yang mengadopsi nilai-nilai ‘ketimuran’ sesuai yang diharapkan masyarakat Indonesia, pendidikan seks yang dimaksud hanya menjelaskan bagaimana proses bayi bisa lahir. Guruku dulu menjabarkan juga panduan menjadi ibu dan istri yang baik. Masalahnya, tak ada sama sekali pemaparan apa yang harus dilakukan bila proses bikin bayi itu dilakukan setelah kalian sudah dewasa. Dengan atau tanpa status pernikahan.

Tentu saja, asumsi orang adalah hindari seks di luar nikah bagaimanapun caranya. Sayang, ada banyak sekali anak muda Indonesia sepertiku. Survei Badan Pusat Statistik pada 2012 menunjukkan bahwa 21,4 persen responden, dari rentang usia 15 hingga 24 tahun, melakukan seks pranikah. Data itupun hanya mengacu pada anak muda yang berani mengakui pada surveyor kalau mereka sudah melanggar tabu di negara ini. Jumlah riilnya bisa jauh lebih besar lagi, seandainya mereka berani mengakui sudah berhubungan badan sebelum menikah.

“Seks di luar nikah itu sudah jadi rahasia umum,” kata Soraya Alamsjah, Dokter di Layanan Perempuan Klinik Prodia saat kuwawancarai. “Banyak sekali perempuan [Indonesia] yang melakukannya. Setiap hari ada saja perempuan yang datang buat konsultasi sama saya, baik yang sudah ataupun belum menikah, untuk membahas mencegah kehamilan.”

Tentu saja, jumlah yang terlanjur hamil tak kalah banyak. Survei BPS yang sama mencatat enam dari 10 perempuan yang mengakui pernah melakukan seks pranikah terpaksa melakukan aborsi. Mereka nekat mengambil risiko itu, walaupun secara hukum aborsi tanpa ancaman pada nyawa ataupun karena kasus perkosaan dilarang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Soraya mengingatkan, agar opsi menggugurkan kandungan lewat klinik atau dukun bayi tanpa lisensi medis sebisa mungkin dihindari. “Tingkat kematiannya sangat tinggi untuk layanan aborsi ilegal,” ungkapnya. “Apapun alasannya, lebih baik yang dipikirkan adalah bagaimana menghindari kehamilan ketika seseorang belum siap secara fisik, emosional, maupun finansial untuk berkeluarga.”

Oke. Pilihannya benar-benar terbatas. Mungkinkah kita tetap bisa mendapatkan pil pencegah kehamilan tanpa status menikah? Beberapa temanku bilang, mustahil. Akhirnya yang mereka lakukan adalah memakai surat nikah palsu, sehingga dokter tak akan bertanya-tanya lagi saat menuliskan resep untuk ditebus di apotek. Sebagian kawan lainnya, seperti sudah dijelaskan sebelumnya, memilih opsi ilegal, lewat penyedia pil pencegah kehamilan di Internet yang tak jelas sumbernya.

Soraya bilang, sebetulnya untuk perkara pemberian resep kembali pada masing-masing dokter. Ada dokter yang akan rewel mempertanyakan surat nikah. Sebagian lagi tak terlalu peduli, atau malah tutup mata sekalian. Yang jelas, klinik kesehatan milik pemerintah tidak akan mau melayani resep pil pencegah kehamilan untuk mereka yang tak punya surat nikah.

Lagi-lagi, jika kita kaitkan dengan sederhananya muatan pendidikan seks di sekolah-sekolah, yang terjadi justru kebalikan dari target adanya materi tersebut. Anak muda ataupun pelajar justru tak berani membeli kondom, karena mereka selalu diingatkan tentang berbagai stigma terhadap pelaku seks di luar nikah.

“Beberapa pasien yang mendatangi saya mengaku malu beli kondom,” kata Soraya. “Mereka memilih pakai cara sistem keluar di luar, yang mana berisiko tinggi dan tak bisa menjamin mereka terbebas dari hamil di luar nikah.”


Baca juga laporan lain dari VICE mengenai stigma terhadap anak muda yang aktif secara seksual di negara ini:

Oh iya, mari kembali ke pengalamanku saat mencari pil pencegah kehamilan.

Aku pergi ke Blok M pagi-pagi sekali. Di lantai bawah, sejumlah apotek menjual obat-obatan terkait seks, dari obat penopang stamina seperti Viagra dan merek-merek Asia lainnya. Sampai kemudian aku menemukan toko mengaku punya pil untuk mencegah kehamilan seperti Postinor.

“Sori nih, stoknya abis,” kata sang penjual sambil tersenyum.

“Kalau mau beli ke mana ya di Jakarta? Tau enggak?”

Dia menggeleng. “Coba apotek lain deh, Kimia Farma gitu?”

Sayangnya, setiap apotek yang aku kunjungi hari itu tidak punya stok Postinor. Tanggapan-tanggapan dari penjual sama sekali tidak membantu. Mereka ngobrol sambil tersenyum sambil berkata sinis padaku. “Lain kali, pakai kondom lah,” kata salah satu pemilik kios di Blok M.

“Iya, saya udah pakai kondom,” balasku sambil mendengus. Sudahlah, tidak ada waktu buat berdebat.

Sorenya, setelah dari Blok M, aku kepikiran menelpon klinik kesehatan swasta yang ada praktik ginekolognya. “Saya butuh kontrasepsi dadakan,” begitu kataku via telepon.

“Ibu butuh konsultasi dokter. Sayangnya, dokternya lagi enggak masuk hari ini, coba lagi besok ya,” jawab sang resepsionis. “Oh iya, besok datang bawa KTP dan surat nikah ya, jadi kami bisa mendaftarkan Ibu dengan benar.”

“Saya belum nikah,” balasku cepat.

Resepsionis itu terdiam sejenak. “Tapi aktif secara seksual?”

“Iya.”

“Kami biasanya kasih resep pil KB untuk perempuan yang sudah menikah, Bu.”

“Memangnya ada larangan untuk ngasih resep ke perempuan lajang?”

“Saya enggak yakin juga… Gimana kalau besok datang aja dulu dan periksa ke dokter?”

Besok? 24 jam bakal terbuang sia-sia.

Mulai putus asa, aku kembali berpaling ke internet. Kali ini aku langsung memasukkan kata kunci tanpa tedeng aling-aling: “Beli Postinor di Jakarta.” Sekian solusi muncul: situsweb, online shop, nomor telepon. Tanpa buang waktu, aku kirim pesan lewat WhatsApp ke beberapa nomor telepon. Mereka semua langsung merespons. Ada yang bilang stoknya masih kosong, sebagian menjanjikan bisa mengirim postinor dalam waktu secepat mungkin. Kagok abis walau akhirnya dapat juga penjual yang ready stock.

Aku membayangkan ada banyak anak muda, selain aku, yang sama-sama mengalami hambatan dan penolakan ketika membicarakan akses terhadap kontrasepsi dalam bermacam bentuknya. Asti Widihastuti, konsultan independen di Klinik Angsamerah untuk seks dan kesehatan reproduksi, memberi penjelasan serupa. Penolakan dan diskriminasi terhadap pelaku seks pranikah ini lebih dilandasi nilai-nilai moral, bukannya medis.

Asti menjelaskan, kegagapan kita tiap kali menghindari topik-topik tabu tentang kehamilan dan seks di luar nikah menghasilkan risiko yang jauh lebih serius. “Perempuan yang belum menikah jadi takut untuk menjelaskan sejarah aktivitas seksual mereka selama ini, lalu menunda-nunda PAP smear ataupun suntik HPV,” kata Asti kepada VICE Indonesia. “Kondisi ini memprihatinkan.”

Begitulah ceritaku. Aku selamat dari kehamilan yang tidak direncanakan berkat—hah, betapa sebalnya aku karena harus mengakui ini—pasar gelap. Itupun setelah aku harus menghadapi penjaga apotek yang ngehe, klinik swasta yang kaku, dan percakapan via WhatsApp yang kagoknya enggak ketulungan. Sekali aja mengalami ini semua sudah cukup. Terima kasih.

Artikel ini merupakan kolaborasi VICE bersama Feminist Fest. Acara ini digelar pada 26-27 Agustus 2017, berlokasi di SMA 1 PSKD, Salemba, Jakarta Pusat. Festival ini akan menggali lagi nilai penting feminisme di Indonesia untuk Abad 21. Sesi-sesi FemFest termasuk panel pleno, diskusi kelompok kecil, lokakarya, dan kelas mengenai berbagai tema: mulai dari kekerasan terhadap perempuan, identitas gender, hingga ekofeminisme. Simak jadwal lengkap acaranya melalui tautan berikut.