Bersama Danto Sisir Tanah, Membicarakan Kompromi Pasar dan Siasat Merawat Harapan

Sountrack Film NKCTHI Lagu Pejalan Sisir Tanah Yogyakarta

“Kaget lah, aku sudah seterkenal itu po?” kata Bagus Dwi Danto spontan kepada VICE. Kami sedang membahas kabar salah satu lagu Sisir Tanah ternyata telah masuk playlist Indomaret, waralaba minimarket populer di Tanah Air.

Semakin menanjaknya nama Sisir Tanah terpengaruh oleh euforia film Nanti Kita Cerita Tentang Hari ini (NKTCHI). “Lagu Pejalan” yang jadi salah satu soundtrack meledak seturut larisnya film garapan Visinema tersebut. Sejatinya, di kancah musik akar-rumput, nama Sisir Tanah telah terpacak sebagai salah satu musisi yang selama 10 tahun belakang berada di garda depan menyuarakan isu-isu kemanusiaan.

Videos by VICE

Berbekal gitar kopong dan vokal yang kalem, Danto menembakkan kritik tajam atas kemungkaran dunia. Dan itulah alasan mendengar lagu Sisir Tanah di jaringan waralaba menerbitkan perasaan janggal di dada.

Album pertamanya WOH (2017), seperti rangkuman kegusaran masyarakat kecil terhadap karut-marut bangsa ini yang tak habis-habis menyusahkan kehidupan orang banyak. Lirik-liriknya yang lugas, namun puitis, serupa doa menjaga solidaritas para pejuang kemanusiaan di daerah konflik. Lagunya “Konservasi Konflik” turut mengawal isu perangi korupsi di KPK 2018. Kemudian “Bebal” mengiringi doa ibu-ibu Rembang yang berjuang menolak tambang, sementara “Lagu Hidup” telah menggema bagai anthem perjuangan warga Kulonprogo menolak bandara baru 2017 lalu.

VICE menyambangi Bagus Dwi Danto, laki-laki di balik moniker Sisir Tanah, di rumahnya yang rimbun di Bantul, Yogyakarta. Tahun ini, ia merayakan satu dekade proyek musiknya. Sambil mengikuti kegiatannya sebagai bapak rumah tangga, ia banyak bercerita soal perjalanannya selama 10 tahun belakangan.

Kecuali pandangannya yang kian realistis, ia tak berubah. Tetap kalem dan bersahaja, meski jeda sekian detik sebelum menjawab tiap pertanyaan menunjukkan kehati-hatiannya dalam berbicara. “Aku lagi senang melihat diriku yang dulu daripada sekarang. Dulu aku lebih cuek, punya idealisme, dia punya sikap dan bagiku itu penting,” ujarnya sambil menggendong Damai, salah satu kucing peliharaannya.

1582271734674-Bagus-Dwi-Danto-menggendong-kucingnya-yang-bernama-damai
Danto menggendong Damai, salah satu kucing peliharaannya yang mengalami kebutaan.

“[Damai] kan tidak bisa lihat, aku pingin kasih nama yang sejuk. Supaya tiap manggil ‘Damai’, ‘Damai’, kan jadi sugesti,” jawabnya riang. Danto dan istrinya penyayang kucing. “Cucu Damai namanya Tanah, Air, Api, dan Udara. Nah anaknya Bahagia dan Pelangi, soalnya dulu pas ramai isu LGBT,” ujarnya nyengir. Damai juga yang ternyata menginspirasinya menulis “Lagu Romantis”.

Diselingi suara kokok ayam peliharaan tetangga dan obrolan soal bayam yang subur meski dibiarkan tumbuh liar di kebunnya, kami membahas kabarnya kini, perjalanan musik, serta pergulatan-pergulatan yang ia lalui.

VICE: Tampaknya NKCTHI membawa Sisir Tanah ke pendengar baru ya?
Bagus Dwi Danto: Iya, aku juga mengamati itu. Sebenernya enggak enak ngomongin kelas, tapi segmenku jadi beda warna aja. Pendengarku itu biasanya kalau bukan anak seni-senian yang sefrekuensi, anak pecinta alam, atau aktivis gitu-gitu kan. Nah followers baru di instagram itu kalau dicek profilnya ‘bersih-bersih’ perkotaan, ‘wah mereka enggak salah nih?’ Paling sehari di-unfoll, apalagi konten instagramku enggak menarik [tertawa].

Pendengar barumu ranahnya lebih ‘ngepop’ kali ya. Sisir Tanah kan lagu-lagunya bermuatan isu sosial politik, apakah ada ekspektasi pendengar barumu tertarik mendalami isu itu?
Aku belajar tidak egois. Di Youtube aku nemu komentar-komentar lucu, ada yang menjadikan Sisir Tanah sebagai perdebatan, kayak “aku udah dengerin sebelum NKTCHI lho”, “aku baru tahu abis NKTCHI“; lha kenapa kalau baru tahu? Seolah-olah jadi patokan mana yang lebih keren. Ya semoga mereka dengerin lagu lain yang muatan isunya lain juga. Karena sejujurnya aku akan lebih lega kalau tafsir lagu-laguku dibawa ke arah yang lebih positif, memberi harapan. Aku kan membuat lagu bukan untuk membuat orang muram.

1582271829835-Kegiatan-sehari-hari-sisir-tanah-jika-tidak-manggung-berkebun
Kegiatan Danto ketika sedang tidak bermusik adalah mengurus kebun samping rumahnya

Kalau sedang tidak bermusik, kegiatan harianmu apa?
Bapak rumah tangga sih. Dulu sebelum rilis album WOH, sempat iseng-iseng ambil job desain grafis atau layout gitu. Tapi tiga tahunan ini, fulltime jadi musisi. Sekarang kalau gas habis ya beli gas, galon habis beli galon, belanja buat masak, ngantar istri kuliah, domestik banget lah. Nah ini aku sedang berusaha menulis lagu lagi, karena sedang sulit nulis lagu.

Kenapa?
Enggak tahu. Lihat lagu-laguku yang dulu, kok bisa nulis gitu ya? Kayak berjarak gitu. Sekarang lagi berusaha menciptakan mood untuk balik ke fase-fase kreatif. Mungkin karena intensitas manggung makin tinggi, tapi pergaulan makin menyusut, mulai jarang bisa ngobrol ngalor-ngidul sama teman.

Apakah perasaan-perasaan itu muncul karena misalnya terbebani pencapaian album pertama?
Aku pribadi sih enggak [terbebani], meskipun rumor yang beredar album pertama selalu lebih baik, sementara album berikutnya selalu di bawah bayang-bayang album pertama. Aku cuek aja. Awal keberangkatanku juga gobras-gabrus badak gitu. Album pertamaku pun akselerasinya lambat. Dari 2017, baru sekarang orang banyak tahu. Ibarat tanaman, organik banget, enggak disemprot macem-macem.

Selama berjalan satu dekade ini, bagaimana kamu melihat pembabakan proses Sisir Tanah?
Yang jelas sebelum dan sesudah album itu beda. Sebelum album itu bisa diparuh dua lagi. Awal-awal masih nyari bentuk, sampai akhirnya sendiri. Tapi album itu sih yang membuatku jadi lebih ngerti, “oooh ngene to”. Kalau dulu seperti masih berdiri di luar lingkungan [industri] musik, enggak berani masuk. Album ini membuatku masuk, dan setelah di dalam ternyata wang-sinawang juga. Apa yang terjadi ketika aku dulu enggak ngerti apa-apa itu menarik juga. Asal bikin, rekam di kamar mandi, unggah di soundcloud. Dulu itu semangatnya berbagi, sekarang mau tidak mau seperti ada sedikit rasa kompetisi. Itu jadi pergulatanku.

Selama 10 tahun, apa saja kompromi yang sudah kamu lakukan di industri musik?
Sejauh ini aku tetap enggak mau ambil sponsor rokok. Terus, membuat instagram itu kompromi, adsense Youtube itu kompromi. Karena itu strategi finansial kalau misalnya lagi seret panggung, cadangan buat rekaman atau kas Sisir Tanah.

Jadi idealnya, buatmu, bikin lagu itu untuk dinikmati secara gratis saja?
Iya. Tapi kemudian aku mikir siapa yang mau ngasih aku makan. Akhirnya pergulatan itu terlewati. Sebenarnya kayak gitu lumrah untuk musisi lain, tapi misal ada pilihan orang bisa menikmati laguku gratis tapi aku dan keluarga tetap hidup, oke banget. Semacam funding tanpa tanda jasa, tapi di sistem dunia seperti sekarang mana bisa. Jadi monetisasi karya adalah kompromiku yang cukup besar.

Dalam kurun 10 tahun, umumnya musisi lain punya 3-4 album. Sementara Sisir Tanah baru satu, apa terlalu banyak pertimbangan saat membuat karya?
Aku itu secara produktivitas tidak tinggi, untuk menghindari kata pemalas aku akan bilang moody gitu deh. Kalau lagi pingin ya bikin. Misal lagi nyapu, bisa ditinggal wedangan, udud dulu [tertawa]. Sekarang cukup terbantu dengan komitmen bahwa laguku harus bersentuhan dengan isu yang sedang berkembang, jadi harus mengikuti dan belajar isunya. Harus menyelam ke sana. Tapi gawatnya posisiku yang sekarang ini cukup membuatku percaya diri, aku merasa beruntung sepemalas ini masih dapat apresiasi, sempat membayangkan “apalagi kalau aku lebih rajin dikit gitu ya?”

Kamu punya bayangan ideal peran musisi saat mengangkat isu kemanusiaan? Apakah mereka harus terjun langsung ke lapangan?
Ini pertanyaan yang mestinya ada forum sendiri nih. Tapi menurutku pribadi, enggak harus turun langsung. Harus disyukuri ada orang yang sudah punya motivasi bikin lagu dengan muatan isu itu. Masalah dia nanti terlibat atau tidak, itu pilihan dia sendiri. Termasuk penilaian orang buat dia ya tanggung jawabnya sendiri. Kalau aku, penginnya enggak berjarak dengan subyek yang aku tulis. Aku merasa punya utang aja kepada subyek yang aku tulis. Jadi bayar utang dengan cara ikut bersolidaritas. Minimal bersentuhan lah, sekecil apapun perannya.

“Lagu Hidup” yang dinobatkan VICE sebagai lagu terbaik dekade 2009-2019, sempat jadi anthem gerakan #TolakNYIA , sementara kini bandara baru Yogya sudah berdiri. Sebagai musisi yang mengawal perjuangan warga, apa yang kamu rasakan?
Aku kecewa karena bandara itu berdiri. Pasca bandara itu ada sampai sekarang, aku punya komitmen enggak akan naik pesawat dari bandara itu. Sampai sekarang masih bisa. Memang agak repot secara teknis, tapi enggak serepot warga yang rumahnya digusur kok. Penderitaanku enggak ada seujung kuku dengan apa yang mereka alami. Ini perlawanan simbolik. Tapi kalau dilakukan oleh orang yang punya pengaruh, kupikir orang akan cari tahu alasan di balik keputusanku. Mereka jadi nyari tahu isunya tanpa kita menggurui. Tapi kalau memang gerakan ini sudah kalah, kita harus punya cara lain menunjukkan bahwa kita enggak sepakat. Perjuangan bisa melewati banyak cara.

1582271949964-Danto-di-perpustakaan-rumahnya
Danto di dekat rak perpustakaan pribadinya.

Akhir-akhir ini kita seperti dikepung berita buruk. Kamu sendiri, termasuk orang yang optimis atau pesimis dunia bisa jadi lebih baik?
Aku pesimis, tapi enggak mau rasa pesimis ini jadi negatif kalau jatuh ke karya. Pesimisme itu meredupkan daya hidup, sementara hari-hari ini yang kita butuhkan kan punya daya hidup, untuk bertahan melanjutkan hidup dengan lebih semangat. Tapi kalau lihat data emang sudah parah sih planet ini di level apapun, negara berantakan, lingkungan global rusak. Aku benci situasi itu, tapi masa aku akan membenci diriku juga?

Kalau sedang baca berita-berita buruk, aku ingat lirik “Tuan dan nyonya belajar logika sudah sampai mana?” di lagu “Konservasi Konflik”. Sudah sampai mana menurutmu?
Sekarang aku merasa orang itu udah mulai menyelamatkan diri sendiri aja sih. Karena kapal besar kita sudah mulai rusak, orang membangun sekocinya sendiri-sendiri, berkelompok, cari mana yang satu haluan dengannya, yang kira-kira bisa menyelamatkan mereka dengan cara yang mereka idealkan. Sekocinya sebenarnya banyak. Kalau kita mau merapatkan diri dan berkoneksi, itu bisa jadi kekuatan juga. Sambil terus mengingatkan yang masih terus meruntuhkan keadaan di kapal besar. Bahkan mungkin sekarang konglomerat udah pada bangun bunker dan diperjualbelikan, yang bisa bayar selamat.

Astaga jadi inget Parasite, emang orang kecil tetep akan kena dampak paling parah sih.
Tapi di level kecil kita juga melakukan hal yang sama lho. Misalnya kita koar-koar kampanye kurangi plastik, tapi itu kan hanya menjangkau orang-orang yang punya frekuensi yang sama. Gimana dengan tetangga kita yang tak punya akses ke situ, kita tidak bisa tiba-tiba datang ngasih edukasi. Menurutku fungsi karya seni mestinya bisa menerobos sekat-sekat itu. Orang yang belum punya akses bisa dengar dari lagu, baca, atau film.

Beberapa waktu lalu kamu mengunggah daftar kegagalan dekade ini di Insta Story, memasukkan Proyek Bahaya Laten di sana, kenapa?
Ya karena [proyeknya] enggak jalan. Aku sebenarnya punya ekspektasi dengan mas Iksan [Skuter] dan Jeje [Jason Ranti]. Karena kami sendiri-sendiri sudah jalan, kalau bertiga harusnya jadi kapal tempur yang kuat. Tapi mungkin kesibukan masing-masing ya, aku tidak bisa egois. Tapi aku sangat membayangkan kami bisa menyumbangkan banyak hal untuk dunia lewat musik, ndakik-ndakiknya gitu. Tapi ini masih sangat bisa didiskusikan sama mereka sih.

Lalu apa yang membuat Sisir Tanah terus menyanyi?
Karena masih ada kehidupan, masih ada harapan.


Wawancara ini telah disunting agar lebih ringkas dan enak dibaca

Titah AW adalah jurnalis lepas yang bermukim di Yogyakarta. Follow dia di Instagram