Travel

Bertemu Penghuni Gedung Setan Surabaya: Monumen Trauma Etnis Tionghoa di Masa Lalu

Penghuni Gedung Setan di Surabaya memandangi jendela.

Tembok kusam, cat mengelupas, ditambah lumut menjalar di sekujur bangunan, membuat gedung ini amat mencolok dibanding rumah-rumah lain kawanan Banyu Urip, Surabaya. Sekilas tak ada kehidupan di dalamnya. Gedung ini berkawan kesunyian. Warga menjulukinya ‘Gedung Setan’, karena bangunan ini dianggap sarang dedemit. Benarkah demikian? Jika kalian bertemu lebih dari 200 orang yang tinggal berdesakan dalam gedung itu, jawabannya bakal berbeda dari bayangan. Di dalamnya, justru berpendar kehidupan yang penuh warna.

Sebagian keluarga penghuni bangunan dua lantai itu adalah keturunan etnis Tionghoa. Sebagian lagi berdarah campuran Jawa atau Madura. Keluarga-keluarga ini berbagi ruang dalam bilik-bilik kayu selama lebih dari separuh abad terakhir. Ketika VICE datang, sore itu, sebagian anak mengintip dari jendela lantai atas. Penghuni jarang disambangi orang asing. Mereka terbiasa hidup tertutup dari lingkungan. Sebab, dari berbagai hal yang mewarnai gedung setan, trauma adalah salah satunya.

Videos by VICE

Tapi kami tak sedang berkunjung begitu saja. Lelaki paruh baya berperawakan pendek, dan berbadan tambun, duduk menunggu kami di ambang pintu depan. Dia tengah mengaso selepas menuntaskan kerja sebagai perajin pagar, dan membangun rumah di luar kota.

Namanya Djijanto Soetikno, Ketua Pengurus Gedung Setan. Om Tik, begitu ia akrab disapa, adalah generasi ke-3 yang lahir dan dibesarkan di Gedung Setan. Separuh abad lebih dia melewati onak dan duri bersama-sama dengan warga penghuni bangunan tua ini.

Setelah berbasa-basi sejenak, dia tak ragu menceritakan kenapa ada ratusan orang tinggal di satu gedung lapuk yang sama bertahun-tahun, seakan membangun ‘kota’ sendiri di tengah Surabaya? Satu per satu misteri lantas terjawab.

1551453022548-_MG_5599
Gedung Setan Surabaya dilihat dari kejauhan.

Bangunan ini didirikan pada 1809 oleh bekas pemimpin sipil Serikat Dagang Hindia Belanda (VOC) untuk wilayah Jawa Timur, setara gubernur sekarang, bernama J.A Riddle Von Middelkop. Pada 1945, dokter berdarah Tionghoa, Teng Khoen Gwan, membeli bangunan tersebut. Sang dokter hendak memakainya sebagai lokasi transit jenazah keluarga Tionghoa sebelum menuju pemakaman atau diperabukan. Lokasi gedung ini ideal untuk bisnis macam itu, karena di sekitarnya masih tanah lapang dan dekat bong, alias makam khas tradisi Cina.

Dua tahun sesudah kemerdekaan Indonesia, rencana dr Teng Khoen Gwan terpaksa diubah total. Terjadi pembantaian besar-besaran di Madiun. Partai Komunis Indonesia, dipimpin Musso mendeklarasikan berdirinya negara baru, membangkang terhadap republik. Warga Tionghoa Madiun, yang menghindari konflik bersenjata, kabur ke mana mereka bisa. “Kemudian Dr. Teng Khoen Gwan, memberikan tempat persembunyian bagi saudara-saudaranya sesama Tionghoa, yang waktu itu juga diburu,” tutur Om Tik kepada VICE.

Gelombang migrasi kedua ke Gedung Setan ditandai meletusnya Tragedi 1965. Saat itu, lagi-lagi warga Tionghoa jadi target sasaran, kendati tak semua bersimpati pada komunisme. Bagi Om Tik, dia sempat merasa kemalangan terbesar manusia setelah dilahirkan adalah menjadi seorang warga peranakan Cina di negara ini. Pada 1965, jumlah pengungsi lebih banyak berkali-kali lipat daripada sebelumnya. Rezim Orde Baru selalu mencurigai etnis Tionghoa, dengan asumsi kesetiaan mereka adalah pada tanah leluhur yang dikuasai Partai Komunis Cina. Faktor lainnya, banyak warga Tionghoa, khususnya di Surabaya, yang mendukung Sukarno. Mereka akhirnya diangkut aparat rezim baru yang anti-Sukarno, dan tak kembali lagi.

“Dulu satu kamar itu mungkin sampai ditinggali orang dua puluh, ya. Jadi enggak cuma punya satu keluarga saja,” kata Om Tik. “Tempat tidurnya kayak barak tentara. Bersusun. Kalau ada dipan yang besar kita tidur berjejer, kayak ikan pindang. Tanpa lampu, tanpa listrik.”

1551452938351-_MG_5545
Penghuni menuju aula Gedung Setan di lantai dua.

Sejak pembantaian komunis dan pemaksaan asimiliasi terhadap warga Tionghoa oleh instruksi Presiden Suharto—membuat mereka secara tak bisa jadi PNS, harus berganti nama, dan melarang orang Cina belajar bahasa leluhurnya—bangunan itu mulai disebut gedung setan. Penghuninya bertahan dalam kegelapan. Siapa sangka, suasana gelap membuat bangunan ini luput dari perhatian rezim. Satu-satunya sumber penerangan yang dimiliki warga hanya lampu petromak, atau lilin merah. Suasana mencekam baru bisa mereka lalui setelah akhir dekade 60’an.

“Masuk lampu kira-kira ya baru waktu pemerintahan Orde Baru. Kita mbantol [menyadap-red] listrik dari lampu kota. Kalau malam benar-benar gelap memang,” kata Om Tik yang lahir di Surabaya pada 4 Februari 1957 ini.


Tonton dokumenter pendek VICE saat jalan-jalan keliling lokasi unik Kota Surabaya di malam hari:


Pasca 1965, warga Gedung Setan menarik diri dari masyarakat. Mereka bertahan hidup dengan cara menginisiasi dapur publik yang diolah secara kolektif. Lembaga dari Tiongkok, Chongwa Chongwe Foundation, mengulurkan bantuan pangan bagi penghuni.

“Dulu kita itu dapat susu dan kacang ijo. Itu udah dimasak, dan kita antre di [dapur] setiap pagi. Itu adalah jatah sarapan kami bertahun-tahun,” kata Edi, salah seorang penghuni Gedung Setan, yang melibatkan diri dalam obrolan kami.

1551453210918-_MG_5529
Tante Liem, penghuni sepuh Gedung Setan terkantuk di lokasi dapur bersama.

Butuh waktu lama bagi warga bisa kembali berbaur masyarakat luar gedung. Pengalaman traumatik terhadap etnis Tionghoa memaksa warga menginisiasi apa yang mereka butuhkan secara mandiri.

Urusan pendidikan, misalnya, mereka lebih baik belajar di rumah daripada harus pergi ke sekolah. Beberapa kali Om Tik harus menyaksikan kawan sesama penghuni gedung yang mencoba sekolah di luar, pulang dengan seragam robek dan wajah babak belur. Dia dipukuli hanya karena statusnya sebagai Tionghoa.

Sutikno Muda bersiasat, dan membangun kekuatan dengan penghuni untuk bersekolah di tempat yang sama. Setidaknya mereka tidak sendirian jika harus mengalami hal serupa. Tapi sebagian masih ‘belajar dari rumah’, orang tua hingga tetangga kerap kali merangkap menjadi guru saat itu.

Ayah Om Tik, Handoko, mendapat amanat dari dr Teng Khoen Gwan untuk merawat gedung setan. Posisi pengurus beralih tiap kali mereka mangkat. Dari Handoko lanjut ke Adi Utomo, dan kini diemban Om Tik.

Dia beranjak dari kursi, menghentikan obrolan, lalu mengantar VICE menyusuri Gedung Setan. Bangunan ini berdiri di atas lahan seluas 400 meter persegi. “Rumah-rumah” disekat dengan ukuran sama rata memakai papan tripleks. Satu rumah diisi satu keluarga. Jika ada anggota keluarga menikah, maka akan dibuatkan sebuah petak baru, atau dibuat bersusun jika tidak ada lagi lahan kosong. Para penghuni tidak ditarik biaya sewa. Hanya saja, warga perlu patungan Rp50 ribu per keluarga. Iuran bulanan ini hanya cukup buat biaya listrik, air, dan ongkos perbaikan alakadarnya.

Lantai dua sedikit lebih lengang namun lantainya sudah keropos. Ada sebuah aula luas, kini fungsinya menjadi Gereja untuk ibadah penghuni tiap Minggu dan Rabu. Di antara altar kotbah, ada enam sekat triplek yang juga dihuni keluarga. Bocah-bocah penghuni Gedung Setan sering menyulap Gereja menjadi taman bermain mereka saat sore tiba.

1551452976122-_MG_5533
Bekas tempat peribadatan umat kong hu cu yang kini berubah jadi kandang burung.

Sebagian warga beralih memeluk agama Kristen. Sebagian lain jadi penganut Islam. Hanya tersisa segelintir masih menganut kepercayaan leluhur. Di belakang bagian Gedung, ada sebuah altar tempat sembahyang Kong Hu Cu, namun sudah tertimbun rongsokan, beralih fungsi menjadi kandang merpati.

“Sekarang udah jarang [penghuni Gedung Setan] yang masih cina totok. Rata-rata sudah jadi Kristen. Daripada altar enggak digunakan, ya saya buat kandang merpati saya aja,” seloroh Edi sembari mengelus merpatinya.

Celetukan terdengar dari seberang, “Kurang ajar, ancene! [memang]. Nanti kalau kualat, baru tahu rasa kamu,” kata seorang perempuan lanjut usia, yang kelak kami kenal bernama Tante Liem. Edi hanya tertawa.

Trauma penghuni perlahan terhapus. Om Tik atau Edi bisa santai menceritakan masa lalu. Tapi ancaman baru mengintai warga. Wujudnya mafia tanah. Gedung Setan surat-surat kepemilikannya sumir. Pemukiman warga terlanjur tumbuh di sekitar gedung selama tiga dekade terakhir, menambah runyam upaya sertifikasi.

Tidak ada satupun warga memegang surat tanah bangunan itu. Dokumen itu, konon, dibawa Dr. Teng Khoen Gwan saat ia pulang kampung ke Tiongkok setelah 1965. Beberapa nama pernah mengklaim sebagai pemilik sah gedung. Misalnya, Solihin, pengusaha asal Bangkalan Madura. Ketika dikonfrontir warga, klaimnya terpatahkan. Konflik paling panjang, sampai melibatkan aparat dan lobi dengan jenderal militer, terjadi ketika ada lelaki bernama Soni, warga Jakarta, membawa surat keputusan Mahkamah Agung agar Gedung Setan dikosongkan. Lantaran penghuni memutuskan siap mati agar tetap tinggal di Gedung Setan, Soni mundur teratur.

“Soni itu dulu warga sampai mau membakar mobilnya. Dia bawa preman dan tentara, sedangkan kami hanya dibantu masyarakat sekitar. Itu adalah momentum yang meyakinkan bahwa kita tidak sendiri. Itu sampai ramai di pengadilan dan kita beberapa kali demo,” kenang Om Tik.

1551453240548-_MG_5571

Pertengahan 2018, pensiunan angkatan laut Amerika Serikat turut mengaku gedung ini warisan nenek moyangnya. Sutikno dan Edi kemudian menghujani bekas kolonel itu dengan rentetan pertanyaan. Hasilnya: mereka kembali menang.

“Pertanyaan saya sederhana. Kalau memang pemilik, harusnya tahu mana saja batas bangunannya? Yang kami sayangkan, kok bisa-bisanya mereka punya surat asli tapi palsu. Semuanya dikeluarkan Kejaksaan Negeri Surabaya. Berarti, di situ kan ada permainan?!” tuding Sutikno.

Semua ini berlarut-larut, akibat ketidaktegasan pemerintah. Gedung Setan, sejak 2012, sudah ditetapkan sebagai cagar budaya. Seharusnya ada upaya dari Pemkot Surabaya memulai dialog dengan penghuni.

“Kalau musim pemilu gini, banyak caleg wara-wiri ke sini. Ngajak makan-makan warga, diskusi apa yang dibutuhkan oleh kami. Tapi, kalau sudah jadi ya jadi jarang ke sini. Kami masih belum mendapat bantuan dari pemerintah,” imbuh Edi.

Menurut Adrian Prakasa, tim Ahli Cagar Budaya Provinsi Jawa Timur saat dihubungi VICE, cagar budaya baik benda maupun bangunan dapat dimiliki privat. Setelah Belanda dan Jepang hengkang dari tanah air, sudah biasa bila bangunan yang kosong diduduki pemukim baru tanpa pegangan hukum jelas.

1551453263002-_MG_5590

Seharusnya, warga Gedung Setan berhak mendapat insentif atau dana pemugaran menurut peraturan baru. Kemungkinan pemerintah masih berpaku pada aturan lama. “Aturan yang lama, Perda No.5 tahun 2005, yang dipakai landasan kebijakan pelestarian pemerintah kota Surabaya tidak banyak memberikan ruang adanya bantuan terhadap upaya pelestarian cagar budaya, yang bukan aset pemerintah,” kata Adrian, yang juga dosen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga ini.

Om Tik dan penghuni lain, sayangnya, sudah tak lagi berharap pada negara. Mereka hanya ingin punya tempat tinggal layak.

“Ini adalah warisan satu-satunya yang kita punya, dan sudah seharusnya juga kita jaga,” katanya. “Kita dilahirkan di gedung ini, mati pun juga di sini, di tanah ini.”