Kerusakan Lingkungan

Inilah Sekian Dampak Usai MA Nyatakan Jokowi Melawan Hukum Dalam Kebakaran Hutan

Mungkinkah pemerintah selanjutnya dipidana atas kebakaran hutan yang memicu bencana asap? Sejauh ini pemerintah tak terima dianggap gagal bersikap tegas pada korporasi yang membakar hutan.
Inilah Sekian Efek Usai MA Nyatakan Jokowi Melawan Hukum Dalam Kebakaran Hutan
Foto Jokowi oleh Beawiharta/Reuters [kiri]; kebakaran hutan di dekat Desa Bokor, Provinsi Riau oleh Rony Muharrman/Antara Foto/via Reuters

Putusan hukum akhir pekan lalu memberi bukti jika rakyat masih bisa menang atas penguasa di negara ini. Mahkamah Agung memutus pemerintah bersalah atas kebakaran hutan yang melanda Kalimantan Tengah sepanjang 2015. Gugatan itu awalnya diajukan ke Pengadilan Negeri Palangkaraya pada 16 Agustus 2016, oleh koalisi masyarakat yang diinisiasi oleh Arie Rompas yang saat ini menjabat ketua tim kampanye hutan Greenpeace Indonesia.

Iklan

Perjalanan kasus ini lumayan panjang. Pada 22 Maret 2017 Pengadilan Negeri Palangkaraya memutuskan pemerintah bersalah karena lalai dalam mengatasi bencana kebakaran hutan dan lahan. Dalam putusan itu pemerintah diwajibkan membuat peraturan dan langkah konkret untuk mencegah terjadinya bencana lagi. Putusan itu juga dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Palangkaraya pada September 2017.

Presiden Joko Widodo tak terima dengan putusan itu, lantas mengajukan banding ke Mahkamah Agung. Kasasi itu akhirnya juga kandas di tangan hakim MA pada 16 Juli lalu, yang intinya menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Palangkaraya. Pemerintah tetap kukuh akan mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

Juru bicara MA Andi Samsan Nganro mengatakan putusan Pengadilan Negeri Palangkaraya sudah tepat. Sebab penanggulangan bencana dalam suatu negara menjadi tanggungjawab pemerintah.

Sementara Kepala Staff Kepresidenan Moeldoko mengatakan pemerintah ngotot mengajukan peninjauan kembali, demi menjaga nama baik negara. Dia bilang pemerintah tak mau dianggap gagal menangani bencana kebakaran hutan dan lahan oleh negara lain.

Keputusan pemerintah untuk mengajukan judicial review tersebut membuat heran penggugat. Riesqi Rahmadiansyah selaku kuasa hukum masyarakat menyayangkan sikap pemerintah atas putusan MA tersebut. Menurutnya, kasus ini masuk ranah perdata dan tidak terkait ganti rugi material atau hukuman pidana.

Iklan

Riesqi menjelaskan bahwa gugatan yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo, empat kementerian, dan pemerintah daerah tersebut lebih karena pemerintah telah lalai dalam menerapkan peraturan yang telah dibuatnya sendiri.

"Citizen lawsuit ini karakteristiknya tidak ada pidana dan kerugian,” kata Riesqi saat jumpa pers di kantor Walhi. “Jadi kalau ditanya apa saja efeknya buat Jokowi tidak ada. Tapi kalau sampai (putusan MA) ini tidak dilakukan gimana? Ya pemerintah sudah dua kali melakukan pelanggaran melawan hukum, aturan undang-undang tidak dijalankan, aturan putusan juga tidak dijalankan.”

Riesqi mengatakan ada 26 tuntutan yang dimasukkan dalam gugatan. Beberapa di antaranya adalah meminta pemerintah untuk membangun rumah sakit khusus paru-paru di Kalimantan Tengah serta membuka daftar perusahaan yang terlibat pembakaran hutan kepada publik. Lalu pemerintah juga wajib mengongkosi biaya pengobatan warga yang terdampak bencana kebakaran hutan.

Lantas bisakah pemerintah dipidanakan dalam kasus kebakaran hutan ini? Tidak bisa. Sebab yang digugat adalah terkait kebijakan yang dicanangkan namun tidak dijalankan oleh pemerintah, kata Arie Rompas kepada VICE Indonesia.

“Sesuai hukum acara perdata, gugatan ini berkaitan dengan kebijakan dan bagaimana pemerintah tidak menjalankan fungsinya sehingga berdampak kepada warga,” kata Arie. “Maka kami minta pemerintah untuk mengubah kebijakan.”

Iklan

Arie dan para penggugat lain akan mendesak pemerintah untuk segera menjalankan putusan MA tersebut meski pemerintah akan mengajukan peninjauan kembali. Sebab, proses peninjauan kembali tidak seharusnya menghalangi hasil putusan MA sebelumnya. Jika pemerintah gagal melaksanakan putusan tersebut, ini akan menjadi preseden buruk yang membuat publik tidak percaya kepada pemerintah lagi, kata Arie.

“Kami sedang menunggu salinan putusan MA,” kata Arie. “Ada beberapa poin putusan yang terkait kebijakan nasional, dan kami tahu itu proses yang lama. Namun kami meminta pemerintah untuk mengeksekusi putusan yang paling mudah beberapa di antaranya adalah membuka nama-nama perusahaan yang terlibat pembakaran serta membangun RS paru-paru dan menggratiskan biaya pengobatan.”

Gugatan pidana maupun perdata sebenarnya bisa dilayangkan kepada perusahaan yang diduga membakar hutan, menurut Kejaksaan Agung. Menurut Jaksa Agung Prasetyo tuntutan perdata bisa diajukan jika ada dampak tidak langsung dari sebuah tindak kejahatan. Dalam hal kebakaran hutan, jika masyarakat merasa terkena dampak kesehatan dan aktivitas sehari-harinya, maka gugatan perdata dapat dilayangkan kepada tersangka yang membakar hutan terkait. Kemudian gugatan pidana bisa diajukan jika perusahaan terbukti melakukan pembakaran hutan sehingga berdampak langsung pada masyarakat.

Salah satu hal yang membuat pemerintah tak mau menerima putusan MA lantaran mereka mengklaim telah melakukan sejumlah langkah efektif untuk mengatasi kebakaran hutan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berdalih telah melakukan sejumlah langkah strategis setelah kebakaran terjadi. Salah satunya dengan mengambil alih dan menyerahkan lahan yang terbakar sepanjang 2015 untuk negara. KLHK juga mengklaim telah memberi peringatan kepada 115 perusahaan serta 36 korporasi telah mendapat sanksi, mulai dari pencabutan hingga pembekuan kegiatan. Namun KLHK tak pernah membuka identitas perusahaan tersebut ke media. Mereka hanya menyebutkan inisial 25 perusahaan yang terlibat pembakaran hutan.

Iklan

Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM Luhut Pandjaitan kala itu mengatakan akan menindak tegas perusahaan yang terlibat pembakaran hutan, namun menolak untuk membeberkan nama mereka ke publik dengan alasan “pertimbangan ekonomi."

Menurut Luhut, jika nama perusahaan tersebut mencuat ke publik dikhawatirkan bisa menyebabkan "Distorsi yang akibatnya nanti menimbulkan lay off."

Kebakaran hutan dan lahan adalah persoalan menahun yang tak kunjung enyah. Dari data Greenpeace Indonesia ada 139 titik api di Kalimantan Barat dan 152 titik di Kalimantan Tengah, selama 20 hari pertama bulan Juli. Sepanjang Januari-Juni ada 1.165 titik api di seluruh Indonesia, sebuah peningkatan dibandingkan 768 titik api di periode yang sama pada 2018.

Kebakaran yang terjadi di Kalimantan Tengah pada 2015 tersebut adalah yang terburuk dalam sejarah Indonesia dan punya dampak yang cukup signifikan. Data Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB) tahun 2015 menyebutkan, kebakaran terjadi di lahan gambut seluas 196.987 hektare dan lahan non-gambut seluas 133.876 hektare dengan kerugian mencapai Rp200 triliun.



BNPB menyebut dampak dari kebakaran hutan di Sumatra dan Kalimantan pada periode 1 Juli-23 Oktober 2015 telah menyebabkan 503.874 jiwa menderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) di enam provinsi. Sementara 43 juta jiwa penduduk terpapar oleh asap. Sampai-sampai mendiang juru bicara BNPB Sutopo Purwo Nugroho kala itu menyebut kebakaran hutan—terutama yang dipicu kebijakan disengaja oleh korporasi—layak disebut "kejahatan kemanusiaan yang luar biasa."

Tapi jika berkaca dari keputusan pemerintah untuk ngotot mengajukan peninjauan kembali, mungkin Presiden Joko Widodo lebih mementingkan “nama baik” dibandingkan menanggulangi "kejahatan kemanusiaan yang luar biasa."