Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard.
Setelah menunggu bertahun-tahun lamanya, fans berat Game of Thrones akhirnya mendapat momen yang selama ini mereka tunggu-tunggu: menonton naga-naga milik Daenery Targayen maju ke medan perang. Penungguan selama 6 season terbayar tuntas. Adegan naga beraksi dalam medan perang ini keren abis. Ibu para naga itu terbang di atas tentara Lanister dan tanpa ragu langsung membakar mereka. Tak tanggung-tanggung, Daenerys juga meluluh lantakan pasokan makanan Lanister, memanggang pasukan mereka lengkap dengan batu zirahnya dan mengakhiri rangkaian kemenangan Queen Cersei. Singkatnya, adegan demi adegan peperangan yang melibatkan naga ini memang nendang banget. Tapi, di saat yang sama, episode terbaru GoT menunjukkan beberapa keterbatasan penggunaan naga sebagai armada perang.
Sebelumnya, kita juga menyaksikan kehebatan naga-naga Daenerys, meski mereka enggak turun dalam laga perang yang hebat. Misalnya, naga-naga ini membantu membuyarkan kepungan terhadap Meereen, menghanguskan pemilik budak di seberang Narrow Sea. Namun, maju ke garis terdepan sebuah konflik militer hebat adalah pengalaman yang benar-benar baru bagi mereka.
Selama bertahun-tahun, beberapa pakar nuklir seperti dosen senior di George Washington University, Timothy Westmyer, telah berspekulasi bahwa naga dalam cerita fantasi setara dengan hulu ledak nuklir dalam kehidupan nyata. “Naga adalah penangkis serangan nuklir. Cuma Dany yang punya. Ini yang bikin dia orang paling kuat di dunia GOT,” ujar George RR Martin, pencipta serial GOT, dimuat Vulture pada 2011.
Martin enggak sendirian loh. Bahkan, Bulletin of Atomic Scientists—jurnal nirlaba yang didirikan oleh ilmuwan yang pernah menjadi anggota Manhattan Project—mengganggap naga sebagai bandingan yang pas bagi senjata nuklir. “Cerita GoT mengajarkan banyak hal tentang resiko besar memiliki senjata terkuat kuat dalam perang ini, kerentanan terjadi kecelakaan karena naga-naga ini, keuntungan besar yang dimiliki majikan mereka serta tekanan yang dirasakan mereka yang mengomandokan naga-naga ini,” demikian tertulis dalam sebuah esai tentang GoT yang dimuatdalam buletin itu tiga tahun lalu.
Episode GoT “The Spoils of War,” nyatanya membalik semua anggapan tersebut. Alih-alih menjadi padanan senjata nuklir pemusnah massal, naga-naga milik Daenerys hanyalah pasukan udara biasa. Paling banter, senjata rahasia Daenerys ini sepadan dengan sebuah A-10 Warthog—pesawan tempur jarak dekat yang dipenuhi banyak senjata. Memang sih, Daenerys adalah satu-satunya orang dalam semesta GOT yang punya pasukan udara dan ini akan memberikan keuntungan besar baginya. Masalahnya, enggak ada satupun negara dalam sejarah yang menang perang dengan mengandalkan pasukan udara semata.
Senjata nuklir adalah teknologi militer paling disruptif, setidaknya sampai saat ini. Ketika pasukan Amerika Serikat menjatuhkan bom nuklir di Nagasaki dan Hiroshima pada tahun 1945, dalam janka satu malam, Amerika Serikat mendadak punya kemampuan melumat dua buah kota penting di Jepang. Seiring penyebaran teknologi nuklir dan makin banyak negara yang mengasah kekuatan nuklirnya, senjata nuklir malah jadi penghambat perang. Beberapa dekade setelah Perang Dunia Kedua, negara adidaya harus berpikir ulang sebelum melancarkan aksi militer terhadap rivalnya lantaran was-was akan memicu perang nuklir global dan menghancurkan peradaban manusia.
Jadi, Naga-naga milik Daenerys adalah anugrah dan tak pernah berfungsi pencegah meletusnya perang. Salah satu keuntungan memiliki senjata nuklir adalah musuhmu akan berpikir ulang kalau mau berbuat macam-macam dengan kita. Dalam prakteknya, menembakkan misil antar benua dari udara bukan pekerjaan yang enteng. Dan memang bukan itu yang dilakukan naga-naga di GOT. namun, setidak pasukan Daenerys menaruh tombak panjang di punggung naga semalam. Meski demikian, seseram apapun serangan naga-naga ini, lawan-lawan Daenerys toh tak gentar untuk mengepung Meereen dan menghancurkan pasukan laut Daenerys.
Ini terjadi karena naga-naga Daenerys bekerja layaknya angkatan udara biasa. Dalam episode”The Spoils of War,” Daenerys memimpin gerombolan Dothraki guna menyerang konvoi pasukan Lanister. Kawasan Red Keep membutuhkan pasokan makanan agar bisa melewati musim dingin yang ganas dan pasokan makanan mereka diabil dari kawasan Highgarden yang baru saja ditaklukan. Untuk membawa bahan makanan ini pulang, pasukan Lanister menggunakan kereta berisi rampasan perang yang dijaga ketat.
Daenerys dan gerombolan Dothraki menyerang konvoi bahan makanan Lannister dari darat sementara naga-naga miliknya memberikan dukungan dari udara. Strategi menyerang seperti ini sama tuanya dengan PD II. intinya sama: pasukan darat menggasak dari darat sementara pasukan udara menghancurkan dan membuyarkan infantri musuh dari angkasa.
Namun dalam kenyataannya, serangan udara tak pernah jadi modal kuat memenangkan perang. Malah, serangan udara tanpa aksi pasukan darat tanpa henti malah berpeluang memperpanjang konflik. Setelah pesawat udara dan bom ditemukan, pioner pasukan udara Italia Giulo Douhet berteori bahwa perang bisa dimenangkan dengan menghancurkan pusat peradaban dan memaksa populasi lawan memberontak melawan pemerintah dan memaksakan perdamaian.
Teori ini lantas diterapkan oleh kubu Nazi maupun Sekutu selama Perang Dunia II. Hasilnya? Nihil.
Angkatan udara Nazi, Luftwaffe, membombardir Inggris lebih dari delapan bulan selama peristiwa Blitzkrieg. Mereka berhasil menghancurkan London dan membunuh puluhan ribu orang. Namun, di sisi lain, serangan membabi-buta Nazi justru mengobarkan semangat pasukan Inggris. Pada akhirnya, kita tahu, Nazi salah memilih strategi.
Jepang adalah contoh ekstrem bahwa kita tak bisa sepenuhnya mengandalkan serangan udara. Sebelum akhirnya menjatuhkan dua buah bom nuklir, pasukan udara AS tanpa henti membombardir daratan Jepang. “64 kota jadi sasaran taktik perang urban AS. 43 persen di antaranya hangus terbakar,” kata ilmuwan Robert Pape dalam bukunya Bombing to Win. “lebih dari ⅔ populasi Jepang mengalami serangan udara AS: lebih dari seperti lainnya menyaksikan rumah mereka terkena bom.”
Bom yang dijatuhkan menyebabkan kebakaran sementara rumah-rumah di Jepang saat itu banyak menggunakan kayu. Rangkaian serangan udara AS menewaskan 900.000 orang. Jumlah itu hampir tiga kali jumlah penduduk Jerman yang tewas selama rangkaian serangan udara terhadap Jerman selama Perang Dunia Kedua.
“Tapi meski mengalami penderitaan yang luar biasa, kehidupan sosial dan politik Jepang berjalan seperti sedia kala,” jelas Pape. “Tak ada demonstrasi besar-besaran menantang pemerintah atau kegiatan populer semacamnya—angka bolos kerja selama bulan Januari hingga Agustus 1945 hanya 8 persen, kira-kira sama dengan angka yang tercatat di AS dalam kurun waktu yang sama.”
Intinya, AS berusaha menaklukan Jepang dengan gempuran Bom tapi mereka kecele. AS baru berhasil setelah meluncurkan bom yang cukup kuat untuk menghancurkan satu kota dalam sekejap. Naga-naga Daenerys memang kuat enggak ketulungan, tapi mereka tak dilengkapi kemampuan untuk melumat satu kota dalam sekejap. Naga-naga ini hanyalah alutsista angkatan udara Daenerys, jauh dari predikat senjata super.
Kelemahahan serangan udara dalam perang terbukti lagi dalam saga melawan terorisme yang digelar AS. Di Suriah, seperti juga di Irak dan Afghanistan, serangan udara tanpa disertai operasi angkatan darat cuma melahirkan korban sipil. Keluarga korban pemboman udara akan menjadi bibit baru mujahidin dan pemberontak, yang memperpanjang situasi perang.
Videos by VICE
Inilah persoalan besar yang dihadapi Daenerys dalam peperangan besar di Westeros. Mungkin ibu para naga ini belum menyadari. Ya gimana lagi, namanya juga masih dalam tahap belajar.