FYI.

This story is over 5 years old.

Hati-Hati di Internet

Pengguna Medsos di Indonesia Perlu Belajar Lagi Cara Merespons Teror dan Tragedi Kemanusiaan

Respons influencer seperti Atta Halilintar dan netizen lainnya soal aksi teror pekan lalu di Christchurch memicu kontroversi. Netizen Indonesia harusnya bisa lebih baik, karena kita sendiri sering jadi korban terorisme.
Polisi Selandia Baru memantau lokasi penghormatan depan Masjid Linewood, Christchurch
Polisi Selandia Baru memantau lokasi penghormatan depan Masjid Linewood, Christchurch, yang diserang teroris pekan lalu. Foto oleh David Alexander/ SNPA / Reuters

Penembakan di dua masjid di Christchurch, New Zealand menuai kecaman dari pemerintah dan masyarakat Indonesia. Beragam reaksi ditumpahkan ke media sosial. Sebagai negara mayoritas Muslim, wajar jika Indonesia bereaksi keras. Berbagai konflik sektarian dan serangan terhadap gereja dan masjid marak terjadi sejak awal 2000.

Serangan di dua masjid Christchurch, adalah yang terburuk sepanjang sejarah Selandia Baru. Sebanyak 51 orang tewas dalam kejadian tersebut. Seorang warga negara Indonesia, Lilik Abdul Hamid menjadi salah satu korban tewas, sementara dua orang WNI lainnya terluka. Tak lama kemudian vlogger dan influencer Atta Halilintar kepada 5,3 juta pengikutnya di Instagram (walau lebih banyak lagi di YouTube), mengunggah foto dirinya berpose pakai pistol, sebagai respons atas serangan di Selandia Baru.

Iklan

"Bagaimana Aturan bersenjata? Bagaimana izin bersenjata bagaimana latihan bersenjata? Bukan bunuh orang Lagi beribadah di masjid. Langsung nanya sama Atlet dan orang-orang yang berpengalaman di bidangnya. Sooon di YouTube bagaimana aturan bersenjata yang damai," tulis Atta dalam caption unggahannya. Tak lupa dia menyertakan tagar #LovePeace #CintaDamai.

Caption Atta seharusnya merupakan bentuk simpati dan kritik atas aturan kepemilikan senjata yang longgar. Ketika dunia tengah berduka dan mengutuk penggunaan senjata, postingan Atta justru tak beretika. Kecaman terhadap Atta pun terus mengalir. Kontroversi itu memaksa Atta segera menghapus postingannya.

Parahnya lagi beberapa reaksi influencers medsos di Indonesia justru tak menggambarkan rasa empati terhadap para korban penembakan. Beberapa pesohor medsos ikut menyebar video penyerangan yang direkam pelaku.

Influencer dan salah satu penggerak gerakan hijrah di kalangan anak muda, Taqy Malik, lewat akun Instagramnya, turut mengunggah video saat serangan terjadi. Tak berapa lama postingan tersebut menghilang dari akunnya. Sebagai gantinya, dia mengunggah foto korban yang tengah dirawat oleh petugas ambulans.

"Ketika islam dibantai dengan cara brutal, takutkah kami? Tidak sama sekali, justru kami bangkit! Jikalau satu tubuh seorang muslim merasakan sakit, maka ditubuh ummat muslim yg lainnya pun akan merasakan sakit," tulis Taqy.

Mantan VJ MTV dan presenter Arie Untung juga sempat menyebarkan video serangan, namun langsung dihapus dalam beberapa jam. Sementara media lokal IDN Times, tak luput dari kecaman ketika mengunggah berita bertajuk "[Breaking] Saksi: Senjata Teroris Selandia Baru Mirip Riffle PUBG." Beberapa netizen menganggap judul tersebut tak menyuratkan empati dan justru lebih menitikberatkan pada hal-hal bombastis.

Iklan

Persebaran konten foto maupun video berbau kekerasan masih terus saja bisa ditemukan ketika sebuah tragedi kemanusiaan terjadi. Sebagai respon atas viralnya video serangan Christchurch, Kementerian Telekomunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama Facebook telah berhasil menghapus 2.856 video dalam tiga hari pasca serangan yang terjadi pada Jumat, 15 Maret lalu. Angka tersebut kemungkinan bertambah karena mesin crawler Kominfo bakal menyaring konten negatif dan menghapusnya setiap dua jam.

Persebaran konten negatif, mungkin adalah sisi paling gelap dari sudut-sudut media sosial. Dan parahnya, tujuan sebuah aksi teror—dengan menyebarkan ketakutan dan demi menginspirasi kelompok lain agar melakukan aksi teror—bakal tercapai ketika orang beramai-ramai menyebarkan konten tersebut.

Walau tujuannya memberi simpati, menyebarkan video serangan tidak bisa dibenarkan. Pengamat media sosial Ismail Fahmi mengatakan pilihan menyebar konten kekerasan sama saja mendukung aksi kekerasan itu sendiri.

"Sejumlah orang yang membagikan video itu sama saja membantu mereka [para pelaku penembakan] untuk melakukan kampanye aksi teror. Kita membantu aksi teror itu sebetulnya, tanpa kita sadari," kata Fahmi. "Karena pada prinsipnya, jika ada sesuatu yang unik dan aneh kita ingin 'become the first who share' dan ini kebiasaan manusia."

Indonesia berulang kali dikejutkan oleh aksi teror menyasar umat beragama, termasuk dari kelompok minoritas. Kejadian di Selandia Baru cukup mengingatkan masyarakat terhadap serangan masjid di Jakarta Selatan pada Juni 2017. Pelaku menyerang dua anggota Brimob menggunakan pisau. Pelaku akhirnya tewas ditembak di tempat usia melukai dua orang.

Sementara sejak awal tahun 2000, tak kurang ada 21 serangan teror terhadap gereja di seluruh Indonesia. Yang terparah, tiga gereja di Surabaya diserang oleh satu keluarga yang terdiri dari tiga anak dan pasangan suami-istri, yang menewaskan 28 orang dan melukai 57 lainnya. Kita sudah terlalu sering mengalami sendiri terorisme.

Pengguna medsos di Indonesia seharusnya jadi contoh bagi dunia saat merespons tragedi kemanusiaan semengerikan itu. Sayang, rupanya kita belum berhasil pernah naik kelas.