Malam hari itu berjalan seperti biasa sepulang kerja. Berberes meja kerja, membuang sampah yang menumpuk, bermain bersama anak, dan tak lupa mengisi ulang baterai smartphone yang habis karena sesorean dipakai nonton YouTube.Malam hari itu bakal berjalan seperti biasa, jika saja saya tidak mencelupkan ujung charger handphone ke dalam penghangat susu bayi yang penuh dengan air. Asap kecil disertai bau terbakar tiba-tiba muncul dari pantat smartphone saya. Sejurus kemudian charger tersebut berhenti bekerja.
Iklan
Tidak mungkin mencari tukang servis handphone malam-malam deket rumah. Dan pastinya servis handphone bakal mahal. Mana pas lagi bokek lagi. Setahu saya kalau handphone sudah enggak bisa di-charge, kemungkinannya harus mengganti suku cadang di gerai resmi yang bisa memakan waktu lama karena barang harus dipesan dulu."Brengsek juga nih!" Begitulah batin saya berteriak.Panik doang jelas enggak membantu. Di tengah situasi genting tersebut terbersit sebuah ide cemerlang. Saya bongkar-bongkar lemari. Nyari handphone jadul peninggalan Ayah. Ketemu!Itulah perjumpaan saya kembali setelah bertahun-tahun tak bersua dengannya: Nokia 1200, salah satu ponsel terlaris dunia dari tahun 2008. Saya mengecek tombol-tombol karetnya, masih enak dipencet walau udah agak getas. Cek baterai, eh masih penuh. Ya sudah, saya memutuskan memakainya lagi meski agak berat hati.Kalian boleh menuding saya kecanduan smartphone gara-gara panik setelah ponsel rusak. Terutama kalau kalian jenis orang sepakat pada pandangan hidup bakal lebih mudah dan menyenangkan tanpa smartphone. Ada juga yang sampai bela-belain kembali pakai "ponsel tolol" untuk melawan kecanduan kita pada gajet pintar.Tapi saya kasih tahu alasannya kenapa tetap akan terus pakai ponsel pintar. Orang-orang yang sok mengampanyekan "mari hidup tanpa smartphone" itu sebenarnya ga paham sama yang mereka anjurkan. Tai kucing semuanya.Kok bisa? Nih, catatan pengalaman saya selama seminggu bertahan pakai hape jadul:
Iklan
Hari Pertama
Hari Kedua
Iklan
Game ponsel oldschool ga kalah seru kok. Seru abis. Liat tuh, ulernya makin panjang sampai makan buntutnya sendiri. Hahahahahahahahahahahaha…. Goblok. Hahahahahahahahahaa.FAK!!!!Kerjaan zaman sekarang berarti urusannya sama email atau direct messages sosmed. Sepulang kerja saya biasanya membalas email dan DM yang masuk. Pagi harinya juga sama, ngecek kotak masuk lagi. Karena enggak ada smartphone akhirnya DM Instagram numpuk. Kalau email sih emang bisa dibales di kantor, cuma saya bukan tipe orang yang suka bikin orang terkatung-katung (ciyus) nunggu jawaban.Katanya main smartphone sebelum tidur itu enggak bagus, tapi itulah kenyataan di tempat tidur saya. Kadang isi email bahkan sering masuk ke alam mimpi pas tidur. Bales email aja bisa kebawa mimpi.Intinya di hari ketiga, saya boring banget di kantor. Baru kali ini, saya seneng banget kalau bos ngasih kerjaan banyak-banyak. Mending mikirin kerjaan bejibun daripada ingat saya ga bisa ngapa-ngapain sama ponsel jadul di tangan.
Hari Ketiga
Hari Keempat
Iklan
Di hari keempat, saya pulang cepat. Terpaksa saya yang ngurus anak. Ketakutan terbukti. Tanpa smartphone, I am totally screwed. Anak nangis melulu gara-gara ga bisa saya bujuk pakai video.Saya sampai bisa mendengar tangisan anak saya sayup-sayup di kepala saat menulis artikel ini.Saya menulis di buku soal Challenge #5: Breaking the boredom. Karena tidak bisa mengandalkan ponsel pintar buat mencari hiburan, saya mencari bermacam cara melawan kebosanan di luar kantor memasuki hari ke-5. Sial. Usia 30-an, teman-teman sedang tak bisa nongkrong bareng selepas jam kerja, dan sedang tak ada buku yang menarik minat, akhirnya saya hanya bisa menerima kenyataan: hidup tanpa ponsel pintar boring abis nyet!Ini masalah yang baru saya sadari setelah nyaris seminggu tidak pakai ponsel pintar. Gimana ngontak teman atau saudara? Semua nomor kontak selama ini saya simpan di Google Cloud. Zaman sekarang ya mana ada orang nyimpen nomor di buku kayak era ortu dulu. Saya juga enggak pernah nyimpan nomor langsung di SIM Card. Efeknya sudah jelas. Saya makin kuper. Butuh ngobrol sama teman lama di kampus dulu, jadi ribet tanya sana-sini. Begitu pula saat mau nelepon saudara yang sudah lama ga ketemu dari lebaran kuda. Selama enam hari, lingkar pergaulan saya praktis cuma diisi istri, teman kantor, dan ayah-ibu. SEDIH BANGET.Kerjaan dari kantor banyak yang terbengkalai. Tiga hari terakhir saya nongkrong melulu di kantor dari pagi sampai malam supaya dapat akses internet gratisan lewat laptop; supaya tetap bisa menjadi manusia yang ga kudet.
Tepat di hari ketujuh saya enggak kuat. Akhirnya saya memutuskan membawa smartphone ke tukang servis daerah Ragunan. Kata tukang servisnya, smartphone saya korslet dan kudu ganti PCB dengan mahar Rp 250 ribu. Ongkosnya murah karena ternyata suku cadangnya KW buatan Cina.Yasudah, mending keluar duit segitu daripada hidup jadi ribet. Akhirnya, petualangan melepaskan diri dari jerat ponsel pintar terpaksa diakhiri. Saya memilih punya smartphone lagi.
Hari Kelima
Hari Keenam
Hari Ketujuh
Iklan
Begitulah. Saya tak memasang game atau aplikasi apapun selain sosial media dan aplikasi standar bawaan. Smartphone betulan saya pakai buat kerja, memesan antar jemput taksi online karena saya tak memiliki kendaraan pribadi, serta bertukar pesan dengan keluarga, rekan kerja dan tempat penitipan anak yang menjaga putri saya selama ditinggal orang tuanya. Jadi smartphone adalah benda wajib yang perlu saya punya.Penelitian di Inggris menunjukkan para orang tua dan anak bertukar 5.800 pesan dan 260 email per tahun. Orang tua juga cuma menghabiskan waktu kurang dari satu jam bertatap muka dengan orang terkasih. Terdengar menyedihkan jika dilihat dari kebiasaan keluarga zaman dulu yang lebih asyik berbagi kehangatan sambil nonton sinetron Si Doel Anak Sekolahan selepas makan malam. Tapi, ga usah munafik deh. Zaman sekarang, kalau enggak pakai ponsel, kapan ortu sama anak berinteraksi?Beginilah kenyataan sekarang, terima saja. Toh kecanduan menatap layar smartphone tak selamanya jelek. Para komuter yang menghabiskan waktu berjam-jam di jalan bisa belajar banyak hal dari internet. Kayak orang-orang sukses ini yang belajar bikin website, belajar bahasa asing, atau mendapat inspirasi dari membaca e-book.Saya kadang pengin sih jadi biksu Zen, melepaskan diri dari sifat-sifat keduniawian atau jadi gelandangan nomaden kayak Jack Kerouac, yang cuma bawa kemeja flanel kumal sama buku tulis keliling Indonesia. Tapi mau gimana lagi? Saya tak berdaya.
Keadaan memaksa saya menjadi pecandu smartphone yang terjebak dalam struktur mesin yang rumit bernama kehidupan modern. Untuk sementara ini, alhasil, saya harus memendam keinginan menjadi biksu yang lepas dari hasrat duniawi. Beberapa jenis kecanduan tampaknya lebih baik dibiarkan saja tanpa perlu diobati.