Syamsuddin, buruh migran Indonesia di Malaysia, nekat kembali ke Indonesia berjalan kaki menembus hutan Kalimantan. Aksi ekstrem ini ia lakukan setelah ditipu kala bekerja sebagai tukang bangunan di wilayah Lawas, Negara Bagian Sarawak.
Baru sebulan bekerja di sana, lelaki 51 tahun itu mengaku tidak dibayar bahkan untuk kebutuhan makan sehari-hari. Syamsuddin yang enggak tahan sama situasi kerja ditambah tak punya uang lalu kabur jalan kaki menuju Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, tempatnya bekerja sebelum jadi buruh migran.
Videos by VICE
Pada 15 September, Syamsuddin memulai perjalanannya dengan bermodalkan satu botol air putih, vetsin, dan garam. Ia menyusuri hutan Krayan sembari berharap menemukan pohon buah-buahan. Namun, harapan itu tidak terkabul. Delapan hari kemudian ia ditemukan penduduk Bario Krayan yang sedang beraktivitas di hutan. Kondisinya lemas kelaparan karena berhari-hari cuma makan micin oleh.
“Kemarin dibodok-bodoki [diperdaya] saja, kasihan sama orang. Itulah dia kasih kabar mau kembali ke Krayan, jalan kaki lewat hutan, sudah saya larang dia. Nah, bagaimana kalau tidak ada pegang uang, kasihan,” kata Nursiah, istri Syamsuddin yang tinggal di kampung mereka di Makassar, kepada Kompas.
Nursiah berujar, ia sangat khawatir dengan rencana pulang suaminya. Namun, Syamsuddin nekat. Selama perjalanan mereka juga putus kontak. Suryaningsih, anak Syamsuddin, tak kuat menanggung resah dan melaporkan kehilangan sang ayah ke Pos Search and Rescue (SAR) Nunukan pada 16 September. Baru pada 23 September, Syamsuddin mendadak menghubungi keluarganya bahwa ia telah diselamatkan. Dari telepon, Syamsuddin mengabarkan dirinya bahkan ditawari kerjaan oleh penduduk yang menolongnya.
Apa yang dialami Syamsuddin jelas keberuntungan yang patut disyukuri. Tak semua buruh migran Indonesia di Malaysia yang nekat pulang ke Tanah Air berjalan kaki berhasil ditemukan selamat.
Salah satu contohnya adalah nasib tiga orang TKI yang hilang pada April silam saat hendak menyeberangi hutan dari Malaysia ke Sambas, Kalimantan Barat. Sampai saat ini tak kunjung ada kabar dari ketiganya. Mereka dikabarkan pulang setelah kehilangan pekerjaan di Malaysia akibat pandemi.
Dari laporan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kapuas Hulu Gunawan, diketahui ada enam orang dalam kelompok nekat ini: Rifki, Holdi, Thamrin, Safari, Juli Hartono, dan Junaidi. Keenamnya memutuskan pulang lewat hutan setelah Pos Lintas Batas Negara ditutup pemerintah Malaysia karena lockdown. Di tengah jalan, Rifki dan Thamrin memutuskan pulang ke Kota Kapit, Sarawak, sebab merasa tersesat dan kekurangan bekal.
Holdi menjadi orang ketiga yang selama saat ditemukan sedang memancing ikan seorang diri oleh warga Desa Tanjung Lasa, Kabupaten Kapuas Hulu. Ia lalu dibawa ke kampungnya, Mei lalu. Sisa tiga orang, yakni Safari, Juli Hartono, dan Junaidi masih belum ditemukan.
“Belum ditemukan. Mengingat luasnya wilayah hutan di perbatasan. Saat ini, masih terus berkomunikasi dan berkoordinasi dengan pihak teknis,” kata Gunawan dilansir dari Tribunnews pada Juni 2020, dua bulan setelah kabar kehilangan.
Bukan saat pandemi, tapi masih dalam ranah penipuan buruh migran seperti kasus Syamsuddin: November 2018, delapan TKI asal Aceh kabur dari perkebunan tempatnya bekerja di Miri, Sarawak lewat hutan. Kedelapan TKI mengaku ditipu agen tenaga kerja abal-abal asal Aceh bernama Hengki sebab dijanjikan 4 ribu ringgit per bulan (sekitar Rp14 juta), namun kenyataannya hanya dibayar 55 perak (sekitar Rp190 ribu). Dengan alasan paspor ditahan sang agen, mereka berjalan tiga hari tiga malam sampai akhirnya tiba di pos perbatasan Entikong, Kalimantan Barat.
Problem buruh migran tanpa dokumen sempat disorot pemerintah, Juni lalu. Ada 6.800 TKI yang ditahan di pihak imigrasi Malaysia sebab ketahuan bekerja tanpa melalui prosedur sah. Seperti biasa, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah merespons penahanan dengan rencana pemulangan.
“Kami akan memulangkan PMI [pekerja migran Indonesia] yang ada di tahanan imigrasi sebagai upaya perlindungan kepada PMI. Karena jumlahnya ribuan, maka pemulangan PMI dilakukan secara bertahap,” kata Ida dalam keterangan resminya, dilansir Detik. Ida meminta semua TKI memiliki dokumen resmi sehingga negara bisa memberikan perlindungan.
Nisrina Muthahari, peneliti LSM Pusat Sumber Daya Buruh Migran-Infest Yogyakarta (PSDBM-Infest) menilai kenekatan Syamsuddin ini karena pemerintah cenderung selalu abai melindungi buruh migran tanpa dokumen, terutama di masa pandemi. Mengingat jumlah buruh migran tanpa dokumen tinggi di Malaysia, seharusnya perlu ada perhatian lebih bagi mereka.
“Pandemi berdampak pada pekerja migran baik yang berdokumen maupun tidak. Namun, kerentanan menjadi dua kali lipat pada pekerja tidak berdokumen,” ujar Nisrina kepada VICE.
KBRI Kuala Lumpur memperkirakan ada 2,5 juta pekerja migran yang ada di Malaysia, terdiri dari 1,3 juta berdokumen dan 1,2 juta tidak berdokumen. Sedangkan karena pandemi, data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menyebutkan ada 80 ribu pekerja migran terdampak, meski tidak jelas berapa yang berdokumen dan mana yang tidak.
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) sendiri memperkirakan ada 30 ribu buruh migran tanpa dokumen yang lolos ke luar negeri setiap tahun lewat agen-agen nakal.
Tidak semuanya cukup “beruntung” berhasil kabur lewat hutan dan selamat. Dari Nusa Tenggara Timur saja BNP2TKI mencatat ada 339 warga yang menjadi buruh migran tanpa dokumen, yang meninggal sepanjang kurun 2017-2019.
Meski menjadi pahlawan devisa yang memasok uang tunai dari luar negeri, kasus kematian buruh migran NTT ini tampak disepelekan Gubernur NTT Viktor Laiskodat. “Ini kan akibat mereka yang mau menjadi TKI ilegal. Jadi kalau mereka meninggal di sana, ya sudah kita tinggal kubur saja mereka, mau apa lagi.”