Istilah legendaris “anak bangsa” muncul lagi ketika DPR mengkritik Kemendikbud yang baru saja bikin kesepakatan sama Netflix untuk menayangkan sejumlah tayangan dokumenternya di TVRI.
Sejak 12 April lalu, Kemendikbud bikin program “Belajar dari Rumah”. Tujuannya biar selama pandemi, anak sekolah tetap belajar dipandu televisi. Kerja sama pemerintah-swasta kali ini dilakukan dalam rangka itu. Mestinya mulai Sabtu (20/6) pukul 21.30 WIB, lima mata acara Netflix mulai mengudara di TVRI.
Videos by VICE
Gagasan Kemendikbud ini dikritik oleh anggota DPR. Alasannya: tidak mengakomodasi kreativitas karya anak bangsa. “Kami merasa banyak anak bangsa yang lebih kreatif untuk membuat film dokumenter, film pendek, hingga panduan belajar bagi peserta didik selama masa ‘Belajar dari Rumah’,” ujar Syaiful Huda, Ketua Komisi X DPR RI yang membidangi urusan pendidikan, olahraga, pariwisata, dan ekonomi kreatif, dilansir Kompas.
Cara Syaiful membawa istilah “karya anak bangsa” untuk mengkritik Kemendikbud jelas sindiran tajam buat Mendikbud Nadiem Makarim. Sekian tahun lalu, GO-JEK berhasil mendominasi pasar layanan transportasi online dari pesaingnya, Grab (yang sampai mengakuisisi Uber Indonesia pada 2018 untuk bisa vis-à-vis dengan GO-JEK) berkat jargon ini.
Apakah sindiran itu tepat ditujukan kepada Nadiem (dan GO-JEK)? Apa yang sebenarnya yang dimaksud Syaiful dengan istilah “anak bangsa”-nya? Atau lebih luas lagi, apa yang orang Indonesia maksud ketika menyebutkan “anak bangsa”?
Untuk menjawabnya, mari kembali kepada kritik Syaiful. Setelah menyebut masih banyak anak bangsa yang bisa membuat dokumenter, ia meneruskan kritiknya: “Ini kenapa Kemendikbud sebagai rumah besar pendidikan, malah menggandeng penyedia layanan streaming dari luar negeri untuk sekedar menyediakan film dokumenter.” Lalu, “Tapi apa harus menggandeng layanan video streaming yang masih belum jelas kontribusi bagi pendapatan negara.”
Kritik Syaiful bukan hal asing. Pernyataan yang mirip pernah tampil dalam protes Ketua Dewas TVRI Arief Hidayat Thamrin yang Januari lalu mendiskreditkan keputusan Dirut TVRI saat itu, Helmy Yahya, menayangkan Liga Inggris dan acara dari Discovery Channel.
Bedanya, sementara Syaiful membandingkan dokumenter layanan streaming Amerika vs dokumenter produksi mahasiswa Indonesia, Arief mempertanyakan mengapa pemirsa TVRI harus menonton buaya Afrika di Discovery Channel kalau di Indonesia juga ada buaya.
“[Liga Inggris] mungkin banyak yang suka. Ada Discovery Channel, kita nonton buaya di Afrika, padahal buaya di Indonesia barangkali akan lebih baik. Kemudian siaran film asing cukup banyak, ada yang bayar, ada yang gratis,” demikian kutipan legendaris Arief.
Pernyataan dari kedua orang ini memberi secuil petunjuk bahwa karya anak bangsa mestilah produk yang dibuat dengan sumber daya dalam negeri. Bisa itu orang yang bikin (coret Netflix), bisa juga subjek yang dijadikan konten (coret buaya Afrika).
(Eh, tapi buaya Indonesia jadi buaya bangsa dong?)
Sebagai pembanding, di Kamus Besar Bahasa Indonesia frasa anak bangsa didefinisikan sebagai ‘anak negeri’, sedangkan anak negeri berarti ‘penduduk suatu negeri (daerah atau wilayah)’. Tapi, jawaban ini belum memuaskan. Misalnya, siapa yang berhak mendapat sebutan anak bangsa masih belum terjawab.
Untuk itu, saya mencoba mencari arsip artikel di internet untuk mengetahui, dalam kalimat-kalimat seperti apa saja “anak bangsa” kerap disisipkan. Ini hasilnya.
- Anak bangsa dipakai dalam laporan kemenangan WNI dalam kompetisi olahraga, akademik, dan seni di level internasional.
- Anak bangsa dipakai dalam laporan tentang WNI diaspora/menetap di luar negeri yang telah menghasilkan satu pencapaian karier yang luar biasa.
- Anak bangsa dipakai untuk berita teknologi dan sains untuk menyebut capaian WNI yang tinggal di dalam maupun luar negeri, yang baru saja membuat terobosan. Enggak semua terobosan baru sih, kadang biasa aja, tapi jadi wah karena kayaknya selama ini orang Indonesia enggak pede bisa melakukannya sendiri. Misalnya: bikin mobil.
- Anak bangsa dipakai untuk ngomongin kewajiban orang Indonesia untuk negaranya, terutama berkaitan dengan tugas orang yang masih muda.
- (Karya) anak bangsa dipakai untuk menggantikan istilah produksi atau ketenagakerjaan dalam negeri dalam konteks mengadang arus tenaga kerja dan komoditas impor.
Dari sini, saya bikin tiga kesimpulan sementara soal fungsi dan arti istilah anak bangsa.
Pertama, kalau seseorang atau sekelompok orang disebut anak bangsa, artinya mereka habis melakukan sesuatu yang membanggakan negara. Kedua, dia atau mereka juga bakal dapat gelar anak bangsa kalau lagi diingetin soal kewajibannya kepada negara. Ketiga, anak bangsa dipakai juga buat menekankan hak WNI atas prioritas kesempatan ekonomi di negaranya sendiri.
Melipir sebentar, bersanding dengan anak bangsa, ada istilah kekeluargaan lain yang ikut dilekatkan dengan bangsa-bangsaan. Seperti putra-putri Indonesia (yang levelnya sejajar sama anak bangsa), serta bapak bangsa (hasil penerjemahan founding fathers), dan ibu bangsa.
Bapak dan ibu bangsa dipakai untuk konteks yang lebih enggak formal, katakanlah buat menyebut seseorang yang sudah tua atau almarhum yang dianggap pernah berjasa buat bangsa Indonesia. mungkin ini karena istilah bapak dan ibu negara udah telanjur sempit maknanya khusus buat suami-istri presiden yang sedang menjabat. Uniknya, walau ada anak bangsa, enggak otomatis ada istilah anak negara buat nyebut anaknya presiden.
Ngepot agak jauh, selama aneksasi Jepang di Indonesia, ada pasukan negara matahari terbit yang menyebut diri sebagai “saudara tua” dengan maksud manipulatif: biar proses masuknya Jepang, menggusur Belanda yang kalah Perang Dunia II, tidak mendapat penolakan dari orang Indonesia. Trivia lainnya, istilah bapak bangsa ternyata pernah dipakai diktator untuk menegaskan otoritasnya.
Sampai di sini, selain bahwa anak bangsa kerasa banget bernuansa nasionalis, kayanya enggak ada masalah dengan istilah ini. Kecuali kita kembali lagi ke kasus GO-JEK.
Ketika GO-JEK kerap dibangga-banggakan sebagai tonggak sejarah pencapaian teknologi orang Indonesia, pada 2017 Tirto melaporkan aplikasi anak bangsa ini lebih tepat disebut blasteran India-Indonesia. Sejak 2015 GO-JEK mendirikan kantor untuk para programmer India-nya di Kota Bengaluru, Negara Bagian Karnataka, seturut dengan masuknya investor Sequoia Capital India.
Ya gitulah. Kalau udah ngomong anak bangsa, asli Indonesia, pribumi, dan jargon-jargon nasionalis lain, bawaannya emang ribet. Kalau diterusin, kita bakal masuk ke perkara etnisitas dan kesukuan lagi yang rumitnya minta ampun.
Saran saya sih, Pak Syaiful Huda mending fokus dulu pada isu peningkatan mutu industri kreatif dalam negeri saja, kalau memang peduli dengan karya anak bangsa. Misalnya, gimana caranya supaya tayangan anak bangsa tidak lagi menampilkan boneka hello kitty direbus, lalu melahirkan apologi kalau penonton TV di Indonesia memang suka konten bodoh macam itu.
Begitu.