Seorang pemuda dijebloskan ke penjara atas tuduhan menghina keluarga kerajaan Thailand. Adapun tindak kejahatannya yaitu menjual kalender bergambar bebek karet.
Narathorn Chotmankongsin, 26 tahun, telah didakwa dengan lèse-majesté sejak Desember 2020. Ia diamankan polisi di kediamannya usai kedapatan berjualan kalender pada Facebook Page pro-demokrasi.
Videos by VICE
Bebek karet kuning sudah menjadi simbol perlawanan terhadap sistem pemerintahan monarki di Thailand. Mainan ini kerap bermunculan dalam aksi protes yang mencengkeram negara tersebut sepanjang 2020 silam. Eksistensinya paling jelas terlihat ketika pengunjuk rasa menjadikan bebek pelampung sebagai tameng menghadapi serangan gas air mata dan meriam air pada November tahun itu.
Narathorn yang sebelumnya divonis penjara tiga tahun, telah diringankan hukumannya menjadi dua tahun. Selama jalannya persidangan, ia didampingi kuasa hukum dari Thai Lawyers for Human Rights (TLHR), organisasi yang memberi advokasi hukum gratis bagi tahanan politik di Thailand.
Kepada VICE World News, pengacara Yaowalak Anuphan mengungkapkan Narathorn cuma membantu proses pengiriman. Ia sama sekali tidak mendesain maupun memproduksi kalendernya.
“Penangkapan ini hanyalah sebagian kecil dari gelombang penangkapan yang lebih besar terkait [Pasal] 112. Bukan tidak mungkin hal serupa terjadi kembali di masa depan,” tandasnya.
Hukum lèse-majesté yang tertuang dalam pasal 112 KUHP Thailand dapat menjerat siapa saja yang mengkritik keluarga kerajaan. Orang yang terbukti melanggar hukum itu berisiko menghadapi ancaman hingga 15 tahun penjara. Lèse-majesté kerap menargetkan aktivis pro-demokrasi. Menurut TLHR, setidaknya 215 orang telah didakwa dengan pasal lèse-majesté sepanjang November 2020 – Juni 2022.
Sunai Phasuk, peneliti senior Human Rights Watch, mengutarakan kekhawatirannya terkait hukum “draconian” ini.
“Masyarakat Thailand dibayangi ketakutan [akibat lèse-majesté], yang membatasi kebebasan berpendapat dan aspirasi guna terwujudnya demokrasi,” terang Sunai.
Narathorn bukan satu-satunya yang terjerat pasal penghinaan. Pada September lalu, seorang aktivis dibui lantaran mengenakan pakaian mirip Ratu Thailand. Delapan bulan sebelumnya, aktivis muda ditangkap gara-gara pakai crop-top. Raja Thailand diketahui mengenakan crop-top dalam beberapa kesempatan.
Menyebarkan agenda anti-monarki secara online juga termasuk bentuk pelanggaran. Pada 2021, warga Thailand divonis hukuman 87 tahun penjara karena membagikan video yang dituding menghina anggota kerajaan. Hukumannya diringankan menjadi 43 tahun setelah ia mengakui kesalahannya.
Upaya pemerintah membungkam kritik mendapatkan perlawanan yang jauh lebih besar. Dua aktivis muda di Thailand dilaporkan melancarkan aksi mogok makan sejak 18 Januari lalu. Tantawan “Tawan” Tuatulanon (21) dan Orawan “Bam” Phuphong (23) aktif menuntut pembebasan tahanan politik, serta mendesak partai politik mewujudkan dicabutnya Pasal 112.
Keduanya juga dituduh menghina kerajaan Thailand tahun lalu, usai melakukan jajak pendapat publik mengenai iring-iringan mobil kerajaan. Mereka dilarikan ke rumah sakit setelah 40 hari mogok makan, dan memilih lanjut puasa selama masa pengobatan.
Pavin Chachavalpongpun, profesor asosiasi politik Thailand di Universitas Kyoto di Jepang, menyebut Pasal 112 takkan mampu memadamkan seruan reformasi sistem pemerintahan monarki.
“Pemerintah salah besar jika mengira rakyat akan takut dengan [Pasal] 112,” ujar Pavin, yang terkenal lantang mengkritik monarki Thailand. “Rakyat siap mempertaruhkan nyawa mereka demi menantang [monarki].”
Pavin berpandangan semakin gencar otoritas Thailand menggunakan lèse-majesté, semakin hancur reputasi kerajaan di mata rakyat.