Pelanggaran HAM

Paus Fransiskus Minta Maaf Atas Tindak Kekerasan Guru Sekolah Gereja di Masa Lalu

Paus Fransiskus mengaku malu atas perbuatan pengajar Katolik yang menyiksa ribuan anak-anak masyarakat adat hingga tewas di Kanada seabad lalu.
Paus Fransiskus berjabat tangan dengan seorang perempuan
Paus Fransiskus menghadiri pertemuan bersama para delegasi masyarakat adat Kanada pada Jumat 1 April 2022. Foto oleh The Canadian Press/Ho-Vatican Media

Paus Fransiskus menyampaikan permintaan maaf kepada masyarakat adat Kanada atas kekerasan yang terjadi di sekolah-sekolah asrama yang dikelola gereja Katolik. Dia minta maaf langsung di hadapan para delegasi suku Métis, Inuit dan First Nations, saat mengadakan pertemuan di Vatikan pada Jumat 1 April 2022.

“Saya meminta pengampunan Tuhan dan sangat menyesali perbuatan anggota gereja Katolik yang tercela,” tuturnya. “Bersama para uskup Kanada, saya memohon maaf yang sedalam-dalamnya.”

Iklan

Paus Fransiskus mengatakan, semua tindak kekerasan yang telah melukai masyarakat adat, serta perilaku diskriminatif terhadap identitas, budaya dan nilai-nilai spiritual mereka benar-benar membuatnya “malu”.

Lebih dari setengah sekolah asrama yang berdiri di Kanada sepanjang 1880-an hingga akhir 1990-an dikelola oleh gereja Katolik. Sekitar 150.000 anak dari suku First Nations, Inuit dan Métis dipaksa bersekolah di lembaga-lembaga pendidikan tersebut guna mendidik mereka agar lebih cepat “beradaptasi” dengan budaya pendatang.

Namun, di sana, mereka diperlakukan semena-mena dan akan mendapat hukuman jika ketahuan masih menggunakan bahasa ibu. Mereka juga menjadi korban pelecehan seksual dan kekerasan yang meluas.

Isu ini menjadi sorotan tahun lalu, setelah anggota Tk’emlúps te Secwepemc First Nation menemukan lebih dari 200 kuburan tanpa nama di bekas gedung sekolah kawasan Kamloops, British Columbia. Sejauh ini, jumlah kuburan massal yang telah dikonfirmasi milik masyarakat adat Kanada—sebagian besar kemungkinan anak-anak—mencapai 4.000, meski ada dugaan jumlahnya akan naik setidaknya menjadi 10.000 kuburan.

“Sulit sekali rasanya bagi kami untuk mengungkapkan secara langsung kebenaran yang terjadi di dalam sekolah asrama, serta kerugian yang disebabkan gereja Katolik terhadap anggota suku Inuit, kepada Vatikan dan Bapa Suci,” ungkap pemimpin suku Inuit, Natan Obed, saat dimintai keterangan usai menghadiri pertemuan di Vatikan.

Iklan

Delegasi bernama Gerald Antoine, yang merupakan Ketua Nasional Dene, menyebut ini baru langkah awal dan Paus Fransiskus harus meminta maaf kepada seluruh penyintas dan keluarga mereka di Kanada. Pemuka agama ini dijadwalkan berkunjung ke Kanada pada Juli mendatang.

Gereja Anglikan, Presbiterian dan Penyatuan, serta beberapa keuskupan Katolik lokal, telah melayangkan permintaan maaf secara resmi, sedangkan Paus Fransiskus baru melakukannya pekan lalu. Selain permintaan maaf, para delegasi juga mendesak anggota gereja Katolik membayar ganti rugi, mengembalikan tanah adat dan mengungkapkan lebih banyak kuburan tanpa nama.

Kepada Aboriginal Peoples Television Network, Niigan Sinclair, asisten profesor Studi Masyarakat Pribumi di Universitas Manitoba, menyebut ada tuntutan yang wajib dipenuhi gereja. Pertama, Vatikan harus membayar utang sebesar $60 juta (Rp861 miliar) yang disepakati dalam Indian Residential Schools Settlement Agreement. Gereja juga wajib mengembalikan lahan, berkas-berkas dan artefak masyarakat yang dicuri. Selanjutnya, diperlukan penyelidikan berskala besar terkait kasus kekerasan yang melibatkan gereja Katolik di masa lalu dan sekarang.

“Penyelidikannya harus dilakukan pada tingkat global karena gereja tidak dapat dipercaya untuk melakukannya sendiri,” katanya.

Gereja Katolik Roma merupakan institusi keagamaan terkaya di dunia. Vatikan sendiri memiliki kekayaan lebih dari 4 miliar Dolar AS, setara Rp57 triliun.

—file-file disediakan oleh Anya Zoledziowski