teknologi

Benarkah Tren NFT Memiliki Dampak Buruk Bagi Lingkungan? Ini Data dan Faktanya

Salah satu fakta: Sekali proses 'minting' NFT membutuhkan listrik sebesar 142 kWh, sedangkan konsumsi listrik di Indonesia satu kuartal 'hanya' 1.109 kilowatt jam per kapita.
Tren NFT dan Dampaknya Bagi Lingkungan
Foto ilustrasi oleh Artur Debat via Getty Images

Penggunaan bahan bakar fosil akan terus meningkat seiring menguatnya minat dunia terhadap blockchain, perdagangan mata uang kripto dan non-fungible token (NFT). Mengikuti segala perkembangan baru di dunia digital memang membuat kita terlena, hingga lupa bahwa kegilaan tersebut dapat berimbas buruk pada lingkungan hidup.

NFT tersedia dalam berbagai format, dari clipart, lukisan, musik, real estate di dunia metaverse hingga selfie. Koleksi digital ini menghadirkan sarana baru bagi para seniman yang ingin menguangkan karya mereka. Orang juga bisa mendukung seniman favorit dengan membeli NFT mereka, atau bahkan menjadikannya ladang panjat sosial karena memiliki koleksi eksklusif. Tapi di sisi lain, NFT juga dikritik terkait dampak lingkungannya.

Iklan

Transaksi NFT biasanya terjadi di platform blockchain menggunakan mata uang kripto, yang semuanya terkenal boros energi. Dibutuhkan begitu banyak daya komputer agar keseluruhan ekosistem NFT berjalan lancar.

Beberapa pegiat yakin transaksi NFT bisa dilakukan tanpa terlalu membebani lingkungan. Beeple, seniman yang meraup 69 juta Dolar (Rp986 miliar) dari berdagang NFT, telah menyatakan ketertarikannya untuk menciptakan karya digital yang bebas karbon. Kepada The Verge, dia mengaku bisa mengimbangi emisi dari proses minting (mengubah file digital menjadi koleksi kripto) dan penjualan NFT dengan berinvestasi pada energi terbarukan, proyek konservasi atau teknologi yang menghasilkan karbon.

Namun, apa sebenarnya dampak NFT terhadap lingkungan? Apa yang bisa kita lakukan agar koleksi digital ini tidak semakin merusak alam? VICE bertanya kepada pakar blockchain untuk mencari tahu.

Mengapa jualan NFT begitu menguras listrik?

Alasan utama NFT boros energi yaitu karena dijual di platform blockchain. Blockchain berperan sebagai buku besar yang mencatat setiap transaksi Bitcoin, sehingga memerlukan orang yang bisa memvalidasi pergerakan uangnya.

Ini menjadi tugas penambang, yang kurang lebih seperti auditor-nya platform blockchain. Menggunakan komputer atau “rig” masing-masing, mereka bersaing satu sama lain untuk memvalidasi transaksi. Akan ada imbalan berupa token dan hadiah (biasanya uang kripto seperti Ethereum dan Bitcoin) bagi mereka yang berhasil melakukannya. Menurut penjelasan penjual aset dan investor kripto Matthew Azada, platform seolah memberi permainan teka-teki kepada penambang untuk memecahkan jawaban yang benar secara acak. Mekanisme ini biasa disebut “proof-of-work.”

Iklan

Persaingan itu mendorong penambang mengumpulkan upaya mereka untuk meningkatkan peluang menang, kira-kira seperti bermain lotere.

Berapa banyak energi yang dibutuhkan untuk berjualan NFT?

Seniman Memo Akten mengungkapkan, setiap proses minting NFT berbasis Ethereum membutuhkan energi sebesar 142 kWh. Ini setara 100.000 transaksi Visa, menurut Dexter Baño Jr., advokat perlindungan lingkungan dan kemajuan teknologi. Sebagai gambaran betapa besarnya energi tersebut, mari kita ambil contoh konsumsi listrik di Indonesia tahun lalu. Kementerian ESDM mencatat total pemakaian listrik 1.109 kilowatt jam (kWh) per kapita pada kuartal III 2021.

“Berdasarkan data Administrasi Informasi Energi AS, pemakaian satu kWh listrik melepaskan 0,38 kilogram karbon dioksida ke udara. Kalikan ini dengan jumlah energi yang digunakan dalam setiap transaksi Ethereum, maka CO2 yang dihasilkan dari proses pembuatan NFT mencapai 54 kg. Ini 6,16 kali lipat lebih tinggi dari emisi CO2 pembakaran satu galon bensin,” terang Baño.

Perlu diingat, perhitungan di atas belum termasuk transaksi lain yang perlu diverifikasi—ditambang—selama jual beli satu NFT. Semua aktivitas komputer tersebut pasti membutuhkan energi yang jauh lebih besar.

“Seiring bertambah populernya NFT, semakin banyak orang yang melakukan transaksi di Ethereum. Dampak lingkungannya akan tetap tinggi selama metode proof-of-work masih berlaku,” Angeline Viray, trader yang juga berinvestasi aset kripto dan NFT, memberi tahu VICE.

Iklan

Itu berarti semua jenis NFT tidak bagus untuk lingkungan?

Proof-of-work masih menjadi mekanisme yang paling banyak diterapkan di blockchain, tetapi itu bukan satu-satunya mekanisme yang tersedia. Beberapa orang mengklaim alternatif yang tidak menguras energi ini mulai populer di kalangan pegiat kripto.

“Banyak blockchain baru yang fokus dan sudah mulai mengurangi dampak keseluruhannya terhadap lingkungan. Ethereum sendiri sedang dalam persiapan beralih ke mekanisme konsensus proof-of-stake,” tutur JM Erestain selaku co-founder Gibki Labs, agensi transformasi digital yang berspesialisasi dalam blockchain.

Paul Soliman, anggota organisasi Bayanichain yang berambisi mempercepat adopsi aset digital di Filipina, menjelaskan, metode proof-of-stake menggunakan daya komputer yang lebih sedikit karena transaksinya “divalidasi berdasarkan jumlah koin” atau stakeholder sebagai pemegang koin.

Dengan kata lain, calon penambang perlu mendepositokan sejumlah koin ke jaringan sebagai jaminan transaksi yang akan mereka validasi aman. “Jaringan lalu akan memilih validator secara acak,” ujar Soliman. “Begitu perangkatmu terpilih, kamu akan memvalidasi transaksi dan menerima imbalan jika validasinya benar. Jaringan akan mengambil koin milikmu jika salah.”

Soliman menyebut proses verifikasinya lebih hemat energi. Semakin sempit lapangan permainan yang tersedia, semakin berkurang pula jaringan yang dipilih untuk babak tertentu. Penambang tak perlu lagi berlomba-lomba memperbesar daya komputasi mereka untuk menjadi yang pertama menemukan solusi, seperti yang terjadi dalam mekanisme proof-of-work.

Iklan

Kalau begitu, bukankah sebaiknya semua blockchain menggunakan mekanisme proof-of-stake?

Idealnya seperti itu, tapi masalahnya sangat sulit bagi blockchain untuk bisa tetap berfungsi selama masa peralihan.

Selain itu, dengan adanya sistem yang memilih validator dengan jumlah koin terbanyak, mekanisme ini malah akan membawa blockchain ke arah sentralisasi (padahal selama ini bersifat desentralisasi). Proof-of-stake juga belum terbukti seaman mekanisme pendahulunya.

Namun, Ethereum dikabarkan sudah mulai bergerak maju ke arah model proof-of-stake. Tim Beiko, koordinator pengembang protokol Ethereum, mengutarakan pihaknya memprediksi peralihan ini akan mengurangi dampak lingkungan hingga 99 persen.

Adakah cara bermain NFT yang lebih ramah lingkungan?

Soliman bilang, sih, ada. “Kamu bisa membeli NFT pada blockchain yang lebih ramah lingkungan. Blockchain itu biasanya sudah menggunakan model konsensus proof-of-stake. Ini memastikan transaksi kamu tidak membebani lingkungan.”

Follow Romano Santos di Instagram.