Politik Internasional

Putin dan Xi Jinping Tak Ucapkan Selamat ke Biden, Sebut Hasil Pemilu AS Belum Final

Berbeda dari mayoritas negara lain, Rusia bersama Tiongkok, Turki dan Korut enggan mengomentari hasil pilpres Amerika. Kekalahan Trump berdampak pada strategi diplomasi negara-negara itu.
Simon Childs
London, GB
Putin dan Xi Jinping Tak Ucapkan Selamat ke Joe Biden, Sebut Hasil Pemilu AS Belum Final
Presiden AS Donald Trump bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin di Helsinki, Finlandia, pada 2018. Foto dari Kremlin Pool / Alamy Stock Photo 

Negara-negara yang dipimpin politikus kuat, atau terkesan otoriter, masih enggan mengucapkan selamat pada Joe Biden, capres terpilih Partai Demokrat, yang diproyeksikan berbagai lembaga survei dan media sebagai pemenang Pilpres Amerika Serikat 2020. Sejauh ini juru bicara Rusia, Tiongkok, Turki, dan Korea Utara memilih jawaban mengambang, serta menyerukan agar semua pihak menanti hasil penghitungan suara final.

Iklan

Sikap ini berbeda dari mayoritas pemimpin negara lain, baik itu di Eropa, Afrika, dan Asia—termasuk Indonesia—yang sudah mengucapkan selamat pada Biden bersama wakilnya Kamala Harris.

Kremlin, sebutan khas pemerintah Rusia, menyatakan pemilu AS belum bisa disebut berakhir karena masih ada gugatan yang diajukan tim Donald Trump atas proses penghitungan suara di beberapa negara bagian. Menurut laporan kantor berita Reuters, jubir Kremlin Dmitry Peskov menilai pihaknya baru akan bersikap setelah semua dugaan kecurangan tuntas di pengadilan.

“Proses penghitungan suara juga masih butuh berminggu-minggu, sehingga terlalu dini untuk menyimpulkan,” kata Peskov. Presiden Rusia Vladimir Putin tidak membuat pernyataan sama sekali tiga hari terakhir terkait hasil pilpres AS.

Gugatan pihak Trump mencuat di Michigan, Wisconsin, serta Pennsylvania. Hasil penghitungan di negara bagian yang disebut terakhir, menjadi penentu kemenangan Biden pada Minggu (8/11) dini hari, karena membuat capres Demokrat itu meraup lebih dari 270 suara electoral college.

Meski begitu, menurut Peskov, Presiden Rusia Vladimir Putin selalu siap bekerja sama dengan pemimpin AS untuk menormalisasi hubungan kedua negara yang pasang-surut karena berbagai ketegangan politik. Rusia dianggap banyak politikus Washington D.C sebagai biang kerok kemenangan Trump pada 2016. Hacker-hacker yang diongkosi Rusia, menurut tuduhan beberapa pihak, berusaha mempengaruhi preferensi pemilih di medsos untuk menguntungkan Trump. Hubungan AS-Rusia relatif membaik selama kepemimpinan Trump, yang mengaku “saya suka Putin.”

Iklan

Biden sendiri, semasa masih menjadi wapres mendampingi Barack Obama, dikenal tak terlalu ramah dengan Rusia. Pada masa kepemimpinan Obama, hubungan AS-Rusia berada di titik terendah, karena Gedung Putih menjatuhkan sanksi ekonomi berlapis setelah tentara Rusia menduduki Crimea yang sebelumnya masuk wilayah Ukraina pada 2014.

Kekalahan Trump, diyakini pengamat politik internasional akan membuat Kremlin berhitung ulang melihat peta geopolitik di beberapa wilayah konflik, terutama yang melibatkan tentara Rusia.

Sikap diam serupa ditunjukkan Tiongkok. Presiden Xi Jinping hingga artikel ini dilansir tak mengeluarkan pernyataan resmi ataupun ucapan selamat pada Biden. Sikap ini cukup unik, mengingat Tiongkok sendiri tak menyukai Trump karena menyeret kedua negara dalam perang dagang. Di Cina, warga sebetulnya memfavoritkan Biden, karena menganggap sang capres Demokrat akan mengakhiri perang dagang.

“Kami paham bahwa sudah ada kabar kemenangan satu pihak, tapi proses penghitungan suara tampaknya jauh dari selesai,” kata jubir Kementerian Luar Negeri Tiongkok. “Kami hanya berharap, semoga siapapun pemenang pilpres akan bisa berdialog dengan Tiongkok.”

Korea Utara juga belum berkomentar atas kekalahan Trump. Presiden petahana itu dua kali bertemu Diktator Kim Jong-un untuk menegosiasikan pelucutan senjata nuklir. Namun manuver Trump terbukti gagal merayu Kim Jong-un, setelah Korut kembali menggelar uji coba peluncuran roket tahun lalu.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan setali tiga uang. Dia tak berkomentar sama sekali mengenai kemenangan Biden. Selama kepemimpinan Trump, Erdogan disebut pengamat politik bebas bertindak semaunya. Termasuk mendukung Azerbaijan berperang dengan Armenia. AS baru terlibat sebagai penengah ketika konflik sudah berlangsung nyaris sebulan. Selasa (10/11) hari ini, kabarnya Armenia-Azerbaijan bersedia menggelar gencatan senjata. Namun fasilitator perundingan itu adalah Rusia.

Biden dilaporkan tidak terlalu bersimpati dengan manuver-manuver Turki di kawasan Timur Tengah dan Eurasia. Saat diwawancarai the New York Times akhir tahun lalu, Biden mengaku bila terpilih akan menjalankan kebijakan berbeda merespons Turki, terutama terkait otonomi etnis Kurdi dan kebebasan politik kubu oposisi Erdogan.