Cara Aman Menyaksikan Pameran Seni di Kawasan Bencana Nuklir Fukushima

Artikel ini pertama kali tayang di The Creators Project.

Di kawasan mengandung konsentrasi radioaktif tinggi akibat bencana kebocoran reaktor nuklir Fukushima Daiichi, Jepang, digelar sebuah pameran seni yang menampilkan karya seniman-seniman tersohor dunia. Di antaranya Trevor Paglen, Taryn Simon, dan Ai Weiwei. Uniknya, tak seorangpun bisa berkunjung ke lokasi pameran.

Don’t Follow the Wind , acara yang diinisiasi kolektif seniman Jepang Chim-Pom, secara fisik tidak bisa diakses oleh audiens, salah satunya karena lokasi persisnya yang dirahasiakan dan juga karena terletak di area dengan akses terbatas di Fukushima. Pameran ini digelar sekitar dua tahun lalu, namun kini, Chim-Pom telah menemukan cara supaya audiens bisa turut menikmati pameran tanpa terkena risiko kontaminasi radiasi: pengalaman Virtual Reality yang berjudul A Walk in Fukushima .

Videos by VICE

Pengalaman VR yang diluncurkan ke publik bulan lalu di acara nonprofit Brooklyn Art in General ini menunjukkan pemandangan 360 derajat pamerannya, dengan karya-karya seni dibuat samar dengan tubuh seniman dan kurator, mungkin untuk meneruskan konsep tidak-bisa-diakses, dan potongan rekaman audio mantan warga Fukushima yang mesti pindah karena bencana nuklir tersebut. Dikarenakan oleh sifat karya seni yang tersembunyi dan ketidakmampuan penonton untuk mengendalikan pengalaman VR, A Walk in Fukushima terasa lebih seperti karya seni terpisah mengenai kehidupan pasca Fukushima, alih-alih pengalaman menyaksikan pameran.

Mungkin bagian paling syur dari presentasi ini adalah headset untuk melihat VR. Alih-alih Oculus Rift yang b aja, audiens memakai helm kerajinan tangan dengan sistem VR. Masing-masing helm tinggi dan ramping ini dibuat oleh anggota berbeda keluarga seniman Bontaro Dokuyama, yang dulu tinggal dekat zona eksklusi dan terkena dampak bencana tahun 2011 itu.

Setiap helm VR memiliki tampilan khas dan disertai catatan tulis tangan soal latar belakang kisah-kisah itu. Helm yang dibuat oleh nenek sang seniman disertai bantal merah mungil pada bagian atas. Menurut catatan, bantal tersebut dulu digunakan sang nenek untuk melindungi kepalanya selama dan setelah gempa bumi yang memicu tumpahan nuklir, karena objek-objek terus berjatuhan ke arahnya. Kesemek buatan menggantung dari bagian bawah helm, yang dibuat oleh seorang tetangga yang dulunya punya pohon kesemek, sebelum terkontaminasi bencana nuklir.

Meski pengalaman VR tersebut membantu audiens menilik kompleksitas di balik Don’t Follow the Wind, aksesibilitas terhadap pameran tersebut tetap tidak menemui kejelasan. Mungkin area tersebut akan dianggap aman suatu hari nanti, dan orang-orang akhirnya bisa melihat karya seni tersebut secara langsung, namun sepertinya karya-karya tersebut akan selamanya tersembunyi dan tak terlihat, melebur dengan puing-puing Fukushima. Apapun itu, ini adalah contoh tak lazim dari sebuah pameran yang tak mau dilihat, namun mau dibicarakan, dan Chim-Pom serta seluruh tim di balik proyek ini telah berhasil menyusun narasi tersebut.

Informasi lebih lanjut soal Don’t Follow the Wind dapat ditemukan pada situsweb mereka yang kosong melompong itu. Sebagaimana dikatakan narator pada situsweb tersebut, “Yang tidak dapat dipandang memiliki kekuatan luar biasa.”