Aku menangkap dua kecenderungan memberi nama anak yang bertolak belakang. Pertama, kecenderungan bikin nama seunik mungkin biar nggak ada yang nyamain. Kedua, kecenderungan memberi nama anak yang sebisa mungkin mengikuti tren.
Kecenderungan pertama ada pada jenis orang tua seperti selebritas Franda yang tempo hari mencak-mencak karena nama depan putrinya, Zylvechia, dijiplak orang lain. Aku nggak mau ikut campur mengomentari apakah kata-kata kasar Franda bisa dibenarkan, tapi aku memahami obsesinya. Dia memang ingin nama anaknya jadi satu-satunya di dunia, jadi wajar dia marah nama itu dijiplak.
Videos by VICE
Kecenderungan kedua bisa ditemukan di orang tua yang menjiplak nama anak Franda dengan alasan “ngefans Franda”. Ini tren jadul sebenernya, mengambil inspirasi nama anak dari nama pesohor politik, olahraga, atau selebritas hiburan. Tiga anak laki-laki Ahmad Dhani dan Maia Estianty memakai nama cendekiawan Islam.
Nama pesepakbola Portugal Cristiano Ronaldo diambil dari nama Presiden AS Ronald Reagan. Nama belakang saya, secara ironis, juga diambil dari nama ratu Mataram Kuno Pramodhawardhani. Nama-nama jenis begini ya punya konsekuensi jelas: jadi pasaran. Dan kamu tahu apa nama paling pasaran saat ini? Muhammad (dan segala variasi penulisannya).
Di iklan Nike ini, ketika pesepak bola Inggris Wayne Rooney menekel Franck Ribéry di pertandingan Piala Dunia, ia membayangkan sejumlah kejayaan. Salah satunya di menit 01:37 ketika bayi-bayi di Inggris dinamai Wayne.
Aku bisa bayangin, memberi nama buat sebagian orang tua adalah aktivitas sangat sakral, berat, dan kadang butuh bantuan inspirasi. Tahun lalu aku bekerja di grup media parenting besar di Indonesia. Di sana aku jadi tahu, konten referensi nama anak beserta artinya adalah salah satu yang paling laku di Internet. Lebih spesifik lagi, konten referensi nama anak islami. Perusahaan tempat aku kerja sampai bikin sejenis mesin sederhana agar pembaca bisa mencari referensi nama anak secara otomatis.
Tapi harusnya aku nggak kaget. Waktu nulis ini aku jadi ingat, pas SD aku pernah menemukan buku “daftar nama anak dan artinya” di rumah, kemungkinan besar dibeli pas aku mau lahir. Tapi, kayaknya buku itu akhirnya nggak berguna karena menurut cerita ibuku, endingnya aku dinamai oleh nenekku karena ibu dan bapakku nggak bisa berdamai dalam silang pendapat tentang namaku.
Aku dinamai dengan cara yang kupikir Indonesia dan mewakili generasiku banget, generasi ’90-an. Nama depanku menunjukkan urutan lahirku sebagai anak pertama. Nama tengah adalah akronim nama ortuku. Nama belakang diambil dari nama ratu Mataram Kuno yang kukira diadakan untuk mewadahi aspek doa dalam nama. Rumus nama tiga kata + ada akronim nama orang tua/kerabat lain kukira banyak banget dipakai orang tua lain. Setidaknya dua pacar terakhirku dinamai memakai rumus itu juga.
Makanya sangat umum ketika orang Indonesia bisa beraksi ala Sherlock Holmes hanya lewat membaca nama. Pemanggul nama Eka, Dwi, Tri sudah pasti sering jadi sasaran. kemudian nama-nama berbasis bulan, seperti Yanuar, Febri, April, Mei, Juni, Yuni, Juli, Yuli, Agus, Septi, Okta, Novi, dan Desi. Sherlock Holmes abal-abal ini baru akan pusing kalau ketemu jenis nama kayak teman sekampusku, sastrawan Eko Triono. Sampai sekarang aku masih nggak tahu, sebenarnya Eko anak pertama atau ketiga.
Walau ada dua kecenderungan bertolak belakang begitu, aku amati yang namanya tren nama tetap ada. Nama anak Franda misalnya. Secara diksi emang unik, tapi dia tetap ikut tren nama kebarat-baratan yang saat ini, bersama tren nama Arab/islami, sedang merebak di Indonesia. Aku yakin, ketika berhadapan dengan nama orang, kamu juga punya common sense yang jelas stereotipikal.
Misalnya gini. Ketika aku berhadapan dengan nama kayak Sumanto. Kebayang kan: Orang ini pasti Jawa, cowok, dan kemungkinan besar kelas pekerja. Kalau nama Prabowo? Pasti Jawa, cowok, kelas menengah, dan ada bau-bau keluarga kerah putih. Kalau dia agak kaya dan keluarganya terdidik, biasanya pakai nama agak kosmopolit seperti Roy atau Lisa. Nama-nama itu rasai mewakili tren nama di generasi orang tuaku yang menurutku masih banyak ambil kosakata dari bahasa daerah dan terdiri dari satu dua kata saja.
Kutebak, di zaman nenek dan kakekku, nama yang panjang sekali adalah privilese orang kaya. Kakek nenekku anak tukang cukur dan petani, nama mereka hanya pakai satu kata. Memakai nama yang panjang, biasanya tiga kata, baru makin jamak di kelahiran ‘80 dan ’90-an. Pastinya tetap ada perkecualian, dengan contoh paling ekstrem nama sastrawan Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie yang seumuran denganku.
Begitu sampai di generasi anaknya kawan-kawanku, tiga huruf terakhir alfabet yang dulu jarang dipakai, yakni x, y, dan z semakin lumrah. Kemudian ada huruf i yang makin ditinggalkan, digantikan dengan e dobel; keinginan menciptakan “marga”, yakni satu nama belakang yang dipakai semua anggota keluarga; dan kepedulian tentang cara menulis nama si anak. Perkara bikin-bikin marga, mungkin di lain waktu VICE perlu bahas intensi berbau poskolonial ini. Hehehe.
Ngomong-ngomong soal nama yang berbau poskolonial, jangan sampai salah memahami tren nama kebarat-baratan di kalangan Suku Minangkabau (“Halo, Uda Ivan Lanin”). Artikel di Wikipedia ini bisa jadi pancingan awal untuk menelusuri fenomena yang mengemuka pasca pemberontakan PRRI tersebut.
Kadang aku ingin komentar, kenapa teman-teman seangkatanku semakin menyukai bau Arab yang disematkan lewat sisipan “el”, “al”, atau “az” di nama anak-anak mereka. Tapi mengingat aku posisiku masih mentok di memberi nama kucing, tumbuhan, dan boneka, aku menunda unek-unekku. Lagian kayaknya aku bakal sekubu dengan Franda yang ribet banget ngasih nama anak dan penginnya seunik mungkin.
Alasanku satu sih, dan sederhana. Kerjaanku yang berkutat di internet saat ini bikin aku sadar, nama pasaran sangat nggak bagus buat pencarian Google.