Cara Paus Fransiskus Bikin Busana Pemuka Agama di Vatikan Lebih Sederhana Tapi Tetap Modis

Artikel ini pertama kali tayang di GARAGE—situs seni dan fashion bagian dari VICE.com

Biar saya kasih tahu satu hal yang jarang dibahas tentang Paus Fransiskus: beliau punya koleksi kaus kaki luar biasa modis dan keren. Kaos kaki milik Paus ini warnanya merah. Khusus untuk musim dingin, Sri Paus mengenakan kaos kaki 100 persen dibuat dari wol. Sementara di musim panas, beliau selalu memakai kaos kaki yang sepenuhnya terbuat dari katun. Hebatnya lagi, harga kaos kaki Sri Paus tergolong murah meriah. Sepasang cuma seharga €20 (Sekitar Rp334 ribu, ya murahlah untuk sosok pemimpin umat sekaliber beliau). Kaos kaki ini bikinan Gammarelli, toko penjahit Italia yang sudah memasok busana para elit Vatikan sejak 1978.

Videos by VICE

Sayang, orang biasa barangkali akan sulit melihat sendiri kaos kaki tersebut, karena celana Paus Fransiskus memang tak seluruhnya dijahit. Sementara manset celananya menempel pada sepatu hitamnya. Itupun masih tertutup jubah yang biasa dikenakan paus saat keluar ruangan. Namun, jika ada satu hal yang bisa kita petik dari ajaran Katolik, kita tak perlu melihat sendiri untuk percaya kaos kaki memang ada. Maka tak perlu heran kenapa Paus Fransiskus pun dikenal karena kaos kaki-kaos kaki itu.

Satu hal yang jarang disadari orang-orang. Busana gereja Katolik sebetulnya berpengaruh terhadap dunia fesyen. Jadi, sebenarnya wajar saja sih kalau Paus Fransiskus, yang sejak terpilih memimpin Tahta Suci berusaha hidup sederhana, nyatanya masih menjadi sosok paling modis di Vatikan. Malah, kesederhanaan Paus dari Ordo Serikat Jesuit ini membuat busana kalangan elit Vatikan ikut-ikutan lebih modis tapi lebih hemat.

Topik itulah yang coba diangkat pameran Costume Institue yang diselenggarakan di Metropolitan Museum of Art. Pameran ini berjudul Heavenly Bodies: Fashion and the Catholic Imagination berusaha menyingkap pengaruh ajaran Katolik terhadap perkembangan dunia fesyen. Saat diwawancara sebelum pembukaan, kurator pameran tersebut, Andrew Bolton, berkali-kali menyebut para desainer yang karyanya berutang banyak pada ajaran katolik yang mereka terima saat tumbuh dewasa seperti Coco Chanel, Cristobal Balenciaga, dan Alexander McQueen.

Dalam karya-karya mereka, konsep kemewahan baju pemuka agama dan kesucian yang yang dibayangi oleh rasa salah pengikutnya terlihat dengan gamblang—keduanya adalah nilai estetika dan pengaruh emosional pribadi dari karya masing-masing desainer. Tak hanya itu, pameran ini sekaligus menampilkan beberapa busana peribadatan asli yang diambil dari koleksi Vatikan.

Artinya, makna pameran ini sebetulnya upaya orang awam meneropong pengaruh Paus Fransiskus dan gereja katolik sedunia pada dunia fesyen. Lagipula, seperti yang dikemukakan oleh Bolton dalam sebuah wawancara bersama kantor berita Vatikan, Crux Now, guna menanggulangi reaksi negatif terhadap pameran ini, Bolton menyatakan, orang harus ingat kalau sesederhana apapun, “Sri Paus sebetulnya mengenakan gaun.” Jadi diberi amanat sebagai Paus sudah pasti akan membuat pemuka agama itu jadi modis sih. Bedanya, Paus Fransiskus modisnya lebih santai, alias casual.

Gaya rileks busana-busana pilihan Paus Fransiskus—atau biasa disebut sebagai “papal athleisure” oleh seorang penjahit Vatikan yang menolak menyebut namanya (walaupun saya tahu kok siapa orangnya!)—memicu perdebatan di Vatikan. “Masalahnya bukan karena baju Paus lebih mewah atau mahal. Masalahnya mungkin karena baju-baju Paus Fransiskus kelihatan mencolok dan kaya dengan detail,” ungkap penjahit Raniero Mancinelli kepada Crux Now.

Kalaupun toh suatu saat Paus Fransiskus mengenakan baju-baju mewah, dia bukan pemimpin umat Katolik pertama yang melakukannya. Paus Benediktus XVI, contohnya, pernah mengenakan selop merah yang konon didesain Prada (ternyata selop itu dikerjakan oleh tukang sepatu di utara Italia, bernama Adriano Stefanelli).

“Tapi memang setelah kini Paus Fransiskus menjabat. Kebiasaan pemakaian busana di Tahta Suci agak bergeser,” imbuh Mancinelli. “Sekarang, seturut anjuran Paul Fransiskus, para uskup dan kardinal lebih suka mengenakan busana yang ringan, sederhana dan membumi….serta ujung-ujungnya lebih murah.”

Paus Fransiskus telah mengeluarkan berbagai kebijakan demi melonggarkan aturan berbusana di Vatikan. Seperti yang ditunjukkan dalam artikel tentang ulang tahun Gammarelli yang terbit pada 2016, Puas Fransiskus tak lagi bersedia mengenakan mozzeta—jubah tanpa lengan—yang menutupi pundak. Beliau lebih memilih busana klasik yang digunakan para Paus sebelumnya.

Bahkan dalam pandangan orang awam sekalipun, Paus Fransiskus memang kelihatan membumi. Kalau kita membayangkan Paus-Paus sebelumnya dengan topi uskup tinggi dan jubah bulu yang dipotong dengan rapih, Paus Fransiskus kelihatan lebih tidak formal, kendati tak santai-santai amat.


Tonton segmen VICELAND menyorot seorang ‘Paus’ abal-abal yang berusaha melawan kebencian terhadap komunitas LGBT:


Mancinelli sampai menduga Paus Fransiskus tak sering-sering mencuci jubahnya. “Saya tak begitu saja mengesampingkan kemungkinan bahwa Sri Paus meminta jubahnya dicuci di satu pagi dan tetap mengenakannya keesokannya lagi (Artikel tentang Gammarelli yang terbit 2016, mencatat biasanya para paus mengganti jubahnya dua bulan sekali. Alasannya karena salib yang mereka pakai mengalami oksidasi dan mengotori kain jubah mereka. Jadi, penampilan Puas Fransiskus yang tetap rapi, mengindikasikan bahwa dia masih setidaknya melakukan kebiasaan ini.)

Majalah Esquire pernah menyebut Paus Fransiskus sebagai ‘Best-Dressed Man in the World’ pada 2013. Dalam pandangan saya sih, keputusan ini seperti upaya minta akses masuk surga gratis ke Paus. Saya tahu majalah ini sangat mementingkan penampilan seseorang. Dalam artikel yang menjabarkan alasan mereka memilih Fransiskus, Esquire merujuk pada cara berbusana Fransiskus yang cenderung lebih woles untuk orang sebesar dirinya.

“Perhiasan mewah dan jubah yang dihiasi garis bulu sudah disingkirkan, digantikan dengan busana yang lebih sederhana. Keberanian menjauhi tradisi estetika Vatikan yang diusung pendahulunya ini menunjukkan siapa Paus Fransiskus dan apa yang dia harap bisa capai selama mengemban tugas sebagai seorang Paus.”

Namun, menunjuk perubahan ini sebagai sebuah tanda kerendahan hati sama saja mengingkari segala macam detail busana yang dipilih oleh Paus Fransiskus.

Jadi biar lebih adil, mari kita bandingkan selera berbusana Paus Fransiskus—maafkan hambamu yang penuh dosa ini—dengan gaya berpakaian Mark Zuckerberg, bos Facebook. April lalu, Mark Zuckerberg bersaksi di depan Kongres Amerika, banyak yang menyoroti setelan jas yang dia kenakan. Maklumlah, di hari-hari biasa bos besar Facebook lebih sering kedapatan mengenakan kaos, hoodie dan celana Jins.

Dalam sebuah wawancara yang terbit 2014, Zuckerberg membeberkan alasannya memilih busana yang itu-itu saja: “Ada banyak teori psikologi yang menyebutkan bahwa mengambil keputusan sesepele seperti menentukan apa yang bakal kamu pakai dan apa yang harus kamu santap ketika sarapan bisa bikin kita lelah dan menghabiskan energi kita…saya tak akan bisa kerja kalau saya menghabiskan energi untuk hal-hal sepele dan remeh dalam hidup saya.”

Menurut Zuckerberg, dia “tak ingin diribetkan dengan proses pengembilan keputusan kecuali jika ada hubungannya dengan bagaimana cara terbaik untuk melayani masyarakat.”

Omong kosong lah!

Saya sih enggak bilang skandal pembocoran data konsumen Cambridge Analytica tak akan terjadi bila Mark Zuckerberg lebih peduli dengan penampilannya sehari-hari. Hanya saja ada batas tegas antara dirinya dan Paus Fransiskus. Sang pemimpin Tahta Suci itu mampu tampil sederhana dan pada ujungnya bisa mengerem belanja Vatikan untuk penampilan dan tetap mampu mengasihi serta menginspirasi umatnya. Sementara Mark Zuckerberg memilih terlihat woles di publik dengan Jins dan Hoodie, tapi diam-diam main belakang menjual data “umatnya.”

Jadi, mari kita petik hikmah dari pilihan busana Paus Fransiskus yang sederhana dan semoga Gospel—apapun artinya buat kalian—selalu menyatu dengan pergerakan budaya umat manusia.