Sengatan panas matahari Jakarta Selatan di siang bolong memang kaparat. Untungnya, siksaan ini berakhir begitu saya masuk ruangan ber-AC, khusus untuk pelanggan yang merokok di Woodpecker Coffee. Di sana, saya mendapati Kareeem Soenharjo tengah melakoni kegiatan yang paling ia sukai: merangkai rima dan menggubah beat—sembari mengapit sebatang rokok dengan bibirnya. Pandangan Kareem tertumbuk pada saya. Dia mengangguk. Kumis kupu-kupunya sekilas menegaskan ekspresi wajah yang dingin. Tapi dalam hitungan detik kesan kaku tadi luruh. Dia mengulurkan tangan. Jabatan tangannya kuat dan berakhir menjadi gerakan dab perlahan.
Lelaki 22 tahun yang saya temui ini sedang membangun reputasi sebagai rapper merangkap produser yang kondang dengan moniker Yosugi serta BAP. Kareem sekilas mirip debutan yang baru saja merilis album penuh pertamanya Monkshood awal September 2018. Padahal sejatinya Kareem sudah konsisten merilis karya sejak 2014, membuat sosoknya perlahan dikenal di lingkaran kecil scene hip hop Jakarta Selatan.
Videos by VICE
“Saya bersyukur bisa bermain musik bareng orang-orang di scene hip hop internasional,” katanya kepada VICE. “Saya penggemar musik mereka, tanpa sepenuhnya meniru tingkah polah mereka. Tapi, saya selalu menanti gig-gig hip hop. Dulu sih, tiap gig bikin saya merasakan euforia. Cuma dari awal saya belajar untuk tak mengharap banyak sama rapper idola. Mereka harusnya dianggap seperti orang biasa.”
Tak lama berselang setelah Kareem mengucapkan kalimat tadi, dua bocah belasan menghampiri meja tapi kami duduk dan dengan sopan meminta berfoto bersama. Keduanya pergi meninggalkan kami setelah permintaan mereka dilayani. Tak lupa, dua bocah itu mengucapkan selamat atas peluncuran debut BAP.
“I swear this doesn’t happen often,” kata Kareem, yang mengaku masih tidak percaya wajahnya sudah mulai dikenal penggemar hip hop lokal.
Lima menit berselang, dua pasangan muda yang datang naik mobil Toyota hitam mendekati kami. Niatan mereka masih sama: berfoto bareng BAP. Setelah mereka menjauh, saya mengangkat alis, meragukan pernyataan Kareem sebelumnya.
“Sumpah,” ujarnya, menegaskan.
Kareem belum sekalipun menginjakkan kaki di Negeri Paman Sam, tapi seperti kompratriotnya Brian Immanuel, rima gubahan Kareem penuh slang khas anak muda Amerika Serikat. Slang-slang macam itu diakrabi Kareem gara-gara keseringan mengonsumsi berbagai produk budaya populer Amerika. Di bio akun bandcampnya, Kareem menulis , “I wanna go around the world but I’m afraid to leave Jakarta”— tentu saja, praktiknya, Kareem tak perlu repot-repot angkat kaki dari Indonesia. Seperti generesi milenial dan Gen Z lainnya, Kareem menyerap budaya populer terkini melalui Internet. Tapi, siapa sangka influence Kareem dalam bermusik, alias hip hop, paling banyak datang dari anggota keluarganya sendiri.
“[Keluarga saya] mulai dari ibu, ayah, dan saudara perempuan saya yang banyak memberi pengaruh dalam hal seni, sastra, dan film,” ujarnya. “Saya pikir setengah dari lagu-lagu yang saya sampel buat Monkshood berasal dari referensi saudara perempuan saya; setengah dari musik kesukaan ayah, serta album-album yang saya kenal lewat orang tua saya.”
Monkshood pada dasarnya adalah cerita tentang keseharian penghuni Jakarta Selatan. Sesuai namanya, yang diambil dari nama bunga mematikan, monkshood adalah racun pahit yang meresap jauh ke dalam usus. Album debutnya memiliki semacam aliran gelap yang dikaitkan para kritikus dengan Flying Lotus atau MF Doom, dibumbui kiasan apokaliptik ala Dark Horse Comics dan mitologi agama Abrahamik. Intinya, sangat sinkretis. Campur baur. Bahkan judul-judul lagunya adalah referensi kosmologi Hindu—”yuga” berarti “era” dalam bahasa Sansekerta, dan “samsara” merujuk pada siklus karma kelahiran kembali. Judul-judul lagu-lagunya yang eksentrik samar-samar dapat kita tafsirkan sebagai refleksi mendalam tentang kehidupan di bagian selatan ibu kota. Musiknya kadang-kadang begitu merupakan referensi diri yang mungkin tak akan dimengerti orang luar.
Kareem tidak keberatan jika judulnya dikaitkan dengan semua yang serba Jaksel. Namun, sejak awal dia tidak mencoba menghubung-hubungkannya—semua terserah kepada pendengar.
Tonton variety show VICE mengenai bakat-bakat musik kontemporer paling panas di Indonesia:
“Kalau rapper lain ini dapat merujuk pada hal-hal dari kampung halaman mereka, mengapa saya tidak boleh melakukannya?” katanya. “Akan jauh lebih bermanfaat ketika orang-orang mengenali referensi samar ini sebagaimana adanya. Di album Monkshood kamu tidak akan mendengar saya menyebut gamblang Indonesia, tetapi kamu akan selalu mendengar saya menyebut referensi akan hal-hal di Jakarta. Saya jelas tidak mencoba menjadi patriotik atau apa lah, itu hanya gaya hidup.”
Album 11 lagu ini adalah monolog pribadi sekaligus komentar sosialnya yang setara tentang lingkungan sosial toxic yang membentuk kepribadian seorang Kareem. Topik-topik yang dianggap tabu ia tulis ulang dalam lirik yang tidak biasa. Topik macam itu mencakup konsumsi narkoba, kesehatan mental, sampai agama, semua tadi ia komentari dalam rima-rimanya.
“Album ini tidak sepenuhnya berdasarkan pengalaman pribadi,” ungkapnya. “Tapi saya tahu banyak teman yang telah melalui hal-hal yang disebut dalam album ini. Obat-obatan, berpesta, kesepian, depresi, ini adalah masalah nyata yang tidak dibicarakan di sini di Indonesia.”
Meski album ini terasa personal, Kareem ingin memastikan kita paham kalau dia tidak terlalu peduli tentang apapun. Bagaimana orang bisa mulai peduli ketika semua orang hanya mencoba untuk bertahan? Trek pertama dan terakhir dari album ini merefleksikan sentimen tersebut.
“Untuk lagu ‘pagi’ misalnya, saya mencoba menggambarkan bagaimana pagi hari di Jakarta dimulai dengan sangat sibuk dan serba gegas, itulah mengapa ada drum dan saksofon yang kacau balau,” ujarnya. “Sementara lagu ‘Malam’, di sisi lain, adalah cara saya menggambarkan betapa akhir malam di kota ini seringkali benar-benar meditatif dan tenteram.”
“Semua bisa terjadi di hari yang sama di kota ini,” imbuh Kareem. “Mungkin kedengarannya rada ‘gimana,’ tapi saya tahu orang-orang yang terkena sial dan keberuntungan dalam satu hari. Itu bagian dari realita tinggal di kota ini.”
Sampai taraf tertentu, dia ada benarnya. Penghuni Jakarta saban hari sibuk menavigasi dirinya melintasi kabut asap, lalu lintas ruwet tak berujung, hingga mencoba keluar dari labirin rumit kewajiban sosial. Hari-hari kita di kota ini hanya berakhir ketika kita tidur atau mati. Ini adalah siklus penderitaan yang luar biasa. Semua itu adalah Samsara.
Ketika kami membahas topik keruwetan ibu kota ini, mendadak ada ketegangan yang mencolok dalam suara Kareem. Dia beralih membahas kesehatan mental. Dia menyadari dampak depresi dan keputusasaan yang terjadi pada banyak orang gara-gara tak kuat menghadapi beban hidup di kota besar. Ironisnya mereka, yang mengalami depresi tadi, justru memperoleh stigma buruk dari keluarga dan kawan-kawannya.
“Saya pikir stigma kepada pengidap depresi adalah jenis mentalitas orang mencoba bertahan yang lazim di Asia karena kita tidak memiliki sejarah ‘baik’,” katanya. “Kita tidak ingin dipandang sebagai orang yang lemah, dan ini termasuk menunjukkan depresi atau kegelisahan. Saya hanya ingin membahas hal-hal ini dengan cara yang dapat dimengerti orang.”
Kareem menganggap kampung halamannya penuh masalah, namun toh tetap saja mencintainya sepenuh hati. Hanya saja, semakin jauh saya melihat ke dalam persona musiknya, semakin jelas kalau Kareem sepertinya tidak terlalu cocok dalam kancah hip-hop lokal karena ia adalah anggota komunitas global seniman bawah tanah yang mengukir jalan mereka sendiri dalam suasana suara digital saat ini.
Dia pernah tampil sebagai pembuka untuk MNDSGN, produser yang berbasis di LA, dan Parisian Kartell, dan memiliki pertunjukan mendatang dengan Cuco, seniman Meksiko-Amerika berusia 19 tahun yang beats mellow dari kamar tidurnya membuatnya viral tahun lalu.
Saat saya tanya—terlepas dari prestasi dan potensinya— meninggalkan Jakarta demi ketenaran dalam skala global rupanya belum ada dalam pikirannya.
“Pada dasarnya, saya sudah menerima kemungkinan tidak tenar,” ujarnya sambil kami berdua jalan ke arah kasir untuk membayar minuman. “I just want to be OK, man. Saya cuma pengin melakukan apa yang saya cintai tanpa mengkhawatirkan dapat uang atau enggak. Itulah masalah utamanya di sini. Kalau bertanya pada banyak anak milenial, kamu akan mendengar cerita sejenis. Proses berkarya adalah pertempuran terus-menerus antara mengejar apa yang kamu inginkan dan mempertahankan mata pencaharianmu.”
Album debutnya adalah latihan memamerkan jiwa dalam nihilisme eksistensial. Album ini jauh lebih gelap dari pendahulunya Belladonna, sembari tetap mempertahankankan eksperimen beruntun yang telah mewarnai musiknya dari hari-hari SoundCloud-nya. Untuk saat ini, tampaknya ia telah mengosongkan kekosongan dengan mendorong cerita yang bisa dipelajari orang-orang daripada mengejar kesuksesan di arus utama.
“Saya enggak bangga jadi nihilis,” ujarnya. “Saya hanya melihat semuanya sebagai hal yang kosong makna. Kita semua, manusia lah, yang membuat makna.”