Cinta Pada Sepakbola Sanggup Bertahan di Bekas Wilayah Kekuasaan ISIS

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Sports Prancis.

Sebuah kabar menyedihkan beredar pada 2015 lalu. Tiga belas bocah laki-laki dari Mosul, Irak dieksekusi mati, di depan sekerumunan orang termasuk orang tua mereka. Jenazah 13 anak laki-laki malang ini dibiarkan teronggok begitu saja, agar bisa ditonton bocah-bocah seumuran mereka. Pembunuhan tak berprikemanusiaan ini adalah bentuk peringatan brutal ala Negara Islam Irak dan Syam (ISIS).

Videos by VICE

Alasannya sebenarnya pelaksanaan eksekusi itu belum jelas sampai saat ini. Namun, dari kabar yang beredar, 13 bocah malang itu kedapatan tengah menonton pertandingan sepakbola Piala Asia antara Irak dan Yordania. Kendati demikian, belum ada pihak yang berani menegaskan sepakbola jadi satu-satunya alasan anak-anak dibantai.

Ali Al Ahmed, seorang warga negara Arab Saudi yang mendalami organisasi teroris dan wahabisme, meminta kita tak buru-buru menarik kesimpulan. “Kadang, ISIS menggunakan dalih tertentu untuk menunjukkan kekuasaan mereka, jadi tak saya tak yakin anak-anak ini dieksekusi semata karena nonton pertandingan sepakbola.”

Ali al-Ahmed boleh saja ragu. Masalahnya, di kawasan Irak yang dikuasi militan khilafah, yang dikenal oleh masyarakat setempat dikenal dengan sebutan Daesh, sepakbola sempat dinyatakan sebagai aktivitas terlarang. Seorang pegawai negeri sipil dari kawasan Bassara yang bersedia dikutip selama namanya dirahasiakan membenarkan informasi tersebut. “Ada banyak hal yang mustahil dilakukan di daerah yang dikuasai khilafah,” ujarnya, “sepakbola adalah salah satunya.”

Kabar yang sama juga terdengar dari Baghdad. Seorang PNS senior, yang juga bicara secara anonim, menyampaikan keterangan yang nyaris senada: “Daesh tak menyukai segala sesuatu yang memungkinkan ada perkembangan. Jadi, sepakbola jelas diharamkan. Kami juga, seperti kalian, mendengar berita tentang eksekusi 13 bocah lelaki itu. Cuma kami tak bisa memastikan mereka menemui ajal karena nonton sepakbola. Kami tak tahu apa yang terjadi di sana. Perwakilan kami di sana jumlahnya tak banyak dan mereka berkonsentrasi pada masalah lain. Kami tak tahu jika anak-anak ini ditembak mati karena nonton sepakbola.”

Satu yang pasti, olahraga berseberangan dengan doktrin yang diyakini ISIS. “Membiarkan kaki, paha, dengkul dan tulang kering terlihat dianggap perbuatan berdosa.” tegas Ali al-Ahmed. Doktrin ISIS juga melarang siapapun/apapun yang dianggap menyaingi dan menggantikan kekuasaan Allah SWT (ini dia alasan kenapa ‘Jihadi John’—ikon jihadis ISIS asal Inggris—menghilang dari video yang diunggah ISIS tak lama sebelum menemui ajalnya). Imbasnya, poster-poster pemain bola yang dipajang di kafe dicopot, bukan hanya karena menampakkan kaum kafir namun juga karena bisa mengancam nilai-nilai Islam yang mereka yakini.

Fungsi sepakbola sendiri pernah dipertanyakan di Arab Saudi dua dekade laku. Walaupun pandangan otoritas Arab Saudi sudah jauh mengalami perubahan drastis, Ali al-Ahmed menilai kaum wahabi di negaranya masih menyimpan kecurigaan pada cabang olahraga yang satu ini. Doktrin Wahabi yang diyakini sebagian masyarakat Arab Saudi dianggap dekat dengan gerakan salafi OSIS. Mantan Imam Besar Masjidil Haram membenarkan dugaan ini. Ia pernah terekam berkata :”ISIS dan kami punya keyakinan yang sama,” dalam sebuah acara TV.

“Di Arab Saudi, agama tak menganjurkan pengikutnya bermain menggemari sepakbola,” kata Ali al-Ahmed. “Pasalnya, olahraga ini bisa dipakai untuk menyatukan beberapa kelompok yang berbeda dan menciptakan pemenuhan ambisi personal. Jadi, larangan terhadap sepakbola adalah cara mudah untuk mengontrol masyarakat.”

Di Irak, kawasan dari Falluja hingga Bakouba—yang mencakup Tikrit, Tal Afar, Rutba dan Qaim—pernah berada dalam cengkraman ISIS sebelum dibebaskan dengan serangkaian serangan bom dari udara yang dilakukan oleh pasukan koalisi dan tentara Irak. Di bekas wilayah Mesopotamia inilah, sepakbola berulang kali menemui ajalnya oleh penindasan brutal dan serangan udara.

Akan tetapi di Baghdad, yang tak tersentuh kekejaman ISIS, sepakbola terus hidup tanpa gangguan berarti. Pada tanggal 29 Januari 2015, penduduk Baghdad merayakan lolosnya timnas U-23 mereka ke Olimpiade Rio 2016. Perayaan keberhasilan itu begitu riuh hingga muncul seruan untuk mengurangi kehebohan perayaan ini di media sosial dari penduduk Irak yang tinggal di luar negeri. Alasannya sederhana: mereka khawatir akan keselamatan sanak keluarga mereka yang masih berada di Irak. “Irak itu negara yang memuja sepakbola. Tiap kali Real Madrid dan Barcelona berlaga, negara ini mendadak berisik,” demikian pengakuan Claude Gnakpa, pemain sepakbola Prancis yang pernah bermukim di Irak sebelum invasi ISIS.


Tonton dokumenter VICE tentang narapidana di Uganda yang menemukan pertobatan dan semangat hidup berkat liga sepakbola dalam penjara:


Di Suriah, nasib sepakbola lebih fluktuatif. Tim (bukan nama sebenarnya) warga negara Suriah yang bekerja untuk Raqqa is Being Slaughtered Silently, sebuah website yang dibuat untuk merekam dan mengungkap kejahatan perang yang dilakukan ISIS di Raqqa, kota yang dinyatakan ISIS sebagai ibu kota kekhalifahan mereka. Tim menjelaskan apa yang dia ketahui tentang nasib sepakbola di kawasan yang dikuasai ISIS.

“Aturan mengenai sepakbola sebenarnya tidak pernah dinyatakan secara tertulis oleh Daesh. Tak ada aturan yang bilang sepakbola itu terlarang. Namun, haramnya sepakbola secara nyata terlihat di jalanan, mesjid-mesjid dan pusat media ISIS—bilik internet yang hanya menampilkan konten-konten yang didukung oleh ISIS). Jadi, larangan sepakbola masih setengah-setengah. Misalnya di Manbij, anak yang berumur lebih dari 12 tahun dilarang bermain sepakbola. Tapi, aturan ini tak berlaku di Deir ez-Zor. Semuanya bergantung kamu tinggal di mana di Suriah,” katanya.

Di Raqqa sendiri, anak-anak yang berumur kurang dari 15 tahun diperbolehkan bermain sepakbola. Selewat usia tersebut, sepakbola dianggap kurang berfaedah untuk dimainkan. “ISIS percaya sepakbola membuat orang dewasa melalaikan salat dan kewajiban agamanya,” imbuh Tim. “Cuma saya tahu ada orang dewasa yang sembunyi-sembunyi bermain sepakbola di Raqqa, jauh dari pengawasan Daesh, guna menghindari masalah.”

Di jantung kota Raqqa, Tim pernah dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan kekerasan yang dialami sekelompok penyuka sepakbola yang kedapatan nobar di sebyah kafe. Namun, kasus macam ini tak ajeg terjadi. Kerap kali, di kafe-kafe tertentu pengunjung dipersilahkan menonton pertandingan sepakbola. “Kami dulu tak bebas nonton sepakbola. Cuma kadang, kami diberi izin nonton sepakbola. Di lain kesempatan, Daesh bisa langsung masuk kafe, menghajar yang menonton sepakbola tanpa izin..kacau lah pokoknya,” ujar Tim.

Tim masih ingat el Clasico antara Barcelona melawan Real Madrid pada 21 November 2015, terpaut delapan hari dari serangan teror di Paris. Di luar dugaan, petinggi ISIS mengizinkan warga Raqqa menonton pertandingan itu. Sebelum kick-off hari itu, dilakukan ritual mengheningkan cipta untuk korban serangan Paris. ISIS sontak mengubah pendiriannya.

“Setelah melihat ritual tersebut, mereka jadi berang dan mulai membubarkan acara nobar di kafe-kafe dengan kasar. Mereka menutup semua tempat yang mungkin menayangkan pertandingan antara dua raksasa La Liga tersebut. Sampai hari ini, Tim tidak pernah memahami pendirian ISIS yang mencla-mencle terhadap sepakbola. Di hari-hari awal mereka menguasai Raqqa, semua orang diperkenankan bermain si kulit bundar selama bisa menutupi aurat mereka. “Lalu, tiba-tiba saja mereka bilang sepakbola bikin lalai salat dan lupa kewajiban agama kami,” ungkap Tim.

Uniknya larangan bermain sepakbola tak dikenakan pada jihadis ISIS asal Eropa atau Amerika Serikat. “Saya tahu kok beberapa sejumlah jihadis dari barat nonton pertandingan sepakbola di rumah mereka atau di tempat-tempat yang sifatnya privat. Banyak dari mereka yang punya decoder untuk menerima siaran kanal olahraga. Mereka melarang kami bermain sepakbola. Padahal, mereka bisa leluasa nonton sepakbola atau bahkan main PlayStation di rumah mereka.”

Bagi Ali al-Ahmed kebijakan diskriminatif tak sekalipun ganjil di mata petinggi ISIS: “Bagi para pemimpin Daesh, militan khilafah dari luar Suriah jauh lebih berharga. Mereka ini umum punya motivasi lebih, lebih fanatik dan memiliki nilai lebih bagi media ISIS dan media-media asing. Jadi, sejumlah kemudahan yang mereka nikmati adalah kompromi yang wajar.”

Jihadis yang datang dari Prancis, Belgia, Jerman, Tunisia dan Arab Saudi tinggal dalam rumah-rumah mewah yang ditinggalkan pemiliknya di kawasan mewah, kota-kota besar di Suriah dan Irak. Jelas, perlakukan spesial yang dinikmati pendatang muslim dadakan ini—serta arogansi dan tingkah polah mereka yang kejam— tak diterima begitu saja oleh penduduk setempat. “Mereka jarang nonton pertandingan sepakbola bareng kami,” kata Tim. “Orang-orang ini anteng rumah-rumah mewah yang mereka tempati dan bisa seenaknya mengakses tempat-tempat yang diharamkan bagi penduduk biasa.”

Mengacu pada keterangan mantan penerjemah yang pernah bekerja untuk agen intelijen rezim Bashar al-Ashad dari 2011 hingga 2013: “ISIS mengeluarkan fatwa yang melarang penayangan pertandingan sepakbola. Namun, tak ada fatwa yang melarang bermain sepakbola.”

Jurnalis asal Suriah Louai Aboaljoud, saat berada di Paris untuk bicara panjang lebar tentang kondisi menyedihkan Aleppp, berusaha menempatkan persoalan bermain/menonton sepakbola dalam perspektif yang lebih luas. Aboaljoud pernah beberapa kali disekap di penjara ISIS. dia ingin menjelaskan sepenting apa sebenarnya bermain sepakbola di Suriah. “Penduduk Suriah sebenarnya lebih sibuk dengan urusan sehari-hari mereka—seperti bagaimana cara menemukan air bersih, makan serta di mana bahan peledak baru terakhir dijatuhkan—daripada mengurusi masalah nonton atau bermain sepakbola.”

Sejumlah stadion sepakbola yang masih berdiri dikuasai dan dirombak menjadi tempat persembunyian oleh militan ISIS. “Stadion-stadion besar di Raqqa telah berubah menjadi markas polisi Islam,” ujar Tim. “Mereka menyebutnya “Titik 11 Poin.” Ini terjadi semenjak operasi pemboman oleh pasukan koalisi. Bagi jihadis khilafah, stadion sepakbola sangatlah praktis: ada banyak kamar tidur di dalamnya, bangunannya terlindung lalu memiliki banyak tempat parkir.”

Tak seberapa jauh dari Raqqa, terdapat sebuah wilayah yang dikuasai oleh Tentara Pembebasan Suriah (FSA), di mana sepakbola dipandang secara berbeda. Di sini, tak ada larangan bermain sepakbola. Tak ada juga yang memberimu bogem mentah jika ketahuan menonton tayangan pertandingan sepakbola. Orwa Kanawati, pendiri timnas Free Syria, dengan bangga menggambarkan semangat bermain sepakbola di area yang dibebaskan oleh tentara Sunni anti pemerintah Suriah.

“Kami bisa bermain sepakbola tanpa harus takut dieksekusi. Meski perang berkecamuk, orang toh masih bermain sepakbola di area yang dikuasai tentara revolusi seperti Homs, Idlib, Deraa, Aleppo dan di daerah pedesaan di sekitar Damas—di stadion kecil maupun besar. Kamu punya 75 klub di tempat kami tinggal. Ada sebuah liga yang terdiri dari beberapa divisi dan 40 klub di Idlib,” ungkap Tim.

Walaupun banyak tantangan yang harus dilalui oleh penyuka sepakbola di Irak dan Suriah, tekad mereka menghidupkan sepakbola tidak mudah luntur oleh serangan bom atau kekerasan kelompok teroris. Mereka akan terus memainkan cabang olahraga yang dalam bahasa setempat dikenal dengan nama kurat alqadam.

Untungnya, sepakbola masih bakal jadi bahasa universal yang menyatukan manusia di muka bumi ini.

Follow penulis artikel ini lewat akun @MllerQuentin