Artikel ini pertama kali tayang di Broadly.
Hari saya awalnya berjalan baik. Pagi tadi, bangun cepat. Saya mandi sarapan dan segala macem, mengenakan jaket dan sepatu kets, masih sempat dadah-dadah dengan pacar, sebelum berangkat kerja. Sesampainya di kantor, setelah halo-halo sama rekan kerja dan jajan gorengan, saya menyalakan laptop, mencari tahu topik terhangat yang dibicarakan warganet tercinta. Tak lama kemudian saya menemukan artikel di FOX News yang membahas sesungguhnya cowok-cowok hanya pengin menjalin hubungan sama “cewek baik-baik.” Hari saya enggak mendadak hancur, sih. Cuma jadi lebih tolol saja gara-gara artikel kampret itu.
“Kriteria inilah yang disukai cowok-cowok: cewek yang enggak ribet,” tulis Suzanne Venker, penulis topik-topik keluarga dan pernikahan. Venker bermaksud mengajarkan cewek-cewek “alfa” cara merengkuh femininitas mereka, sehingga cowok-cowok, yang secara alamiah adalah “sang alfa” (kayaknya karena testosteron), enggak kabur.
Menurutnya, cewek baik-baik adalah yang “ramah dan lemah lembut”. Dalam sebuah segmen, Venker menyampaikan pada pembawa acara FOX News bahwa saat pulang ke rumah dari pekerjaan mereka, cewek-cewek semestinya “tunduk”. Jangan sampai perempuan yang sukses secara karir mengatur pasangan mereka. Meski banyak cewek kini percaya pola pikir misoginis seperti ini sangat berbahaya bagi kebebasan cewek, Venker bisa-bisanya bilang, “masalahnya memang ada kita, perempuan.”
“Nah ini dia,” ujar seorang koresponden pria yang tampak kegirangan mendengar penjelasan tersebut.
Sebagai reporter di Broadly—situs membahas serba-serbi dunia perempuan bagian dari VICE.com—kami sering banget direndahkan sama cowok-cowok di internet. Para haters itu bilang kami perempuan yang terlalu kritis, atau kurang manis. Kami sering dapat komentar-komentar seperti “pantes elu enggak laku” atau “coba jangan judes-judes kalau mau dideketin” atau “minta diperkosa banget ini mah.”
Videos by VICE
Saya enggak menganggap kolega kerja saya “ramah dan lemah lembut” tapi mereka semua baik hati. Apakah mereka “baik-baik”? Kurang tahu juga, kemungkinan enggak. Dan saya rasa kami enggak ada yang tertarik berkencan dengan seseorang yang enggak bisa menerima cewek di luar stereotipe basi kayak gitu.
Venker menulis cewek baik-baik “mau melakukan kebaikan untuk cowoknya tanpa mengharapkan balasan.” Dia membuat pembeda antara “pura-pura baik” dan “baik-baik” betulan, tapi menurut saya, melakukan kebaikan dengan ikhlas tidak menjadikan seseorang “baik-baik” melainkan penyayang dan berempati—kualitas manusia yang seharusnya tidak digunakan sebagai persyaratan cewek idaman.
“‘Cewek baik-baik’ adalah mereka yang ingin menarik perhatian cowok-cowok blo’on,” ujar Michelle, kolega saya yang merasa dirinya jahat. “Itu semua cuma topeng supaya diidam-idamkan dan dianggap patuh pada norma sosial,” imbuhnya. Michelle menambahkan bahwa pacarnya saat ini senang-senang aja dengan sisi “jahatnya” yang tak pernah ditutup-tutupi.
“Sebagian besar cowok tertarik pada femininitas, atau kelembutan, sedangkan sebagian besar cewek tertarik pada maskulinitas,” tulis Venker. Argumennya ini ganggu banget deh. Terdengar seperti tulisan di pamflet-pamflet era 1950-an ketika cowok (kulit putih) masih mendominasi semua hal. “Maskulinitas itu tegas. Keras. Berkuasa,” tulis Venker.
Demarcus, kawan saya berusia 20-an, bilang dia demen sama cewek yang “cuek dan enggak gampang disepik dan bakal mempertahankan pendiriannya.” Dia menganggap cewek-cewek begini jauh lebih menarik, salah satunya karena mereka menginspirasi. “Ya bukannya sok-sokan, tapi ide ‘cowok-cowok sukanya cewek baik-baik’ itu memiliki banyak implikasi problematis,” ujarnya. Demarcus menyamakan konsep “cewek baik-baik” dengan klise menjengkelkan “calon istri idaman.”
“Gue rasa, sih, implikasi dari ‘cewek baik-baik’ dalam sistem patriarkis terdengar seperti ‘calon istri idaman’ yang tidak menantang atau mengguncang status quo,” kata Demarcus. “Kalau cewek enggak ‘baik-baik,’ mereka pasti ‘enggak bener’, ‘binal’, atau ‘kasar’ sehingga sudah pasti bukan ‘calon istri idaman.’ Kayak gini-gini, nih, yang membatasi dan tolol.”
“Cewek zaman sekarang diajarkan bahwa menjadi istri yang baik setara dengan perbudakan, seakan-akan ‘kebaikan’ seorang cewek otomatis menjadikannya seekor curut—suaminya akan menginjak-injak dia,” Venker berupaya menjelaskan. “Ya enggak bisa begitu dong. Sebagian besar suami enggak pengin berkuasa atas istrinya, kok. Mereka hanya enggak mau berantem sama istrinya. Mereka hanya ingin suasana damai. Jadi kalau istrinya baik, pasangan itu akan lebih mudah menemukan kedamaian.”
Apaan.
Kata-kata mutira Venker di atas terdengar munafik dan kolot. Berdasarkan penelitian yang digelar 1997 bertajuk Nice Girl”: Social Control of Women Through a Value Construct, cendekiawan sosial Greer Letton Fox sudah mempertanyakan definisi cewek baik-baik. “Siapa yang meraih manfaat dari konstruksi ‘cewek baik-baik’? Konstruksi ini sebenarnya dipertahankan bukan hanya supaya cewek-cewek jadi ‘bener’ tapi juga supaya cowok-cowok bisa seenak jidat.”
Menjadi lemah lembut, menurutnya, bukan sebuah kualitas berharga. “Salah satu dampak gerakan feminis di Amerika adalah membebaskan cewek dari pengertian ‘baik-baik’ yang sangat sempit.” Tentu saja, tidak ada lelaki yang mau mengencani orang brengsek, walaupun dia perempuan. “Karena itulah dikotomi tolol cewek nakal versus baik-baik mereduksi kerumitan sebuah hubungan,” ujar Demarcus.
Jennifer menyebut dirinya “cewek sensian.” Dia memiliki seorang suami yang mencintainya dan tidak sepakat soal sebutan itu. Seperti Demarcus dan Michelle, Jennifer memandang sisi jahatnya dalam lingkup penuh identitas seorang cewek. “Cowok bisa kali mencintai cewek secara keseluruhan,” ujar Jennifer. “Sifat ‘sensian’ gue adalah bagian dari itu; gue enggak jahat atau sensian setiap saat, tapi jelas gue bakal sensi dan bisa jahat kalau ada orang yang macem-macem sama laki gue, anak-anak gue, dan sahabat-sahabat gue.”
Fox menuliskan betapa konsep “cewek baik-baik” adalah strategi sosial “mengatur kebebasan cewek dan menguasai perilakunya di dunia” dalam struktur patriarkis. Menurut Fox, kriteria “calon istri idaman,” atau seorang “cewek baik-baik,” digunakan untuk menunjukan ciri-ciri seperti kebaikan, kelembutan, dan budi luhur. Jadi meski menjadi “cewek baik-baik” terkesan bermanfaat, kalau kita mempertimbangkan cara agen cewek dibatasi oleh masyarakat yang didominasi cowok, konsep tersebut jadi lebih menyeramkan. “Sesungguh-sungguhnya, tidak ada yang namanya cewek baik-baik,” ujar Michelle. “Kita enggak hidup di dunia di mana cewek mampu menjadi benar-benar ‘baik’ di ruang privat maupun publik.”
“Sesungguhnya, tidak ada yang namanya cewek baik-baik.”
Melalui surel kepada redaksi Broadly, Dr. Ellen Lamont, sosiolog dengan spesialisasi gender dan keluarga, pernah mengadakan penelitian yang menemukan kesimpulan mayoritas responden cowok enggak ngotot mencari “cewek baik-baik.” Lamont mewawancarai 31 cowok straight dengan rentang usia 35 sampai 40. Dia menemukan data, cowok-cowok enggak suka selalu diharapkan menjadi “sang alfa yang dominan” oleh pasangan mereka. Respondennya justru sangat kritis terhadap cowok-cowok yang mendominasi dalam hubungan percintaan.
Meski cowok-cowok ini enggak bilang mereka secara spesifik suka “cewek sensian,” secara umum mereka tertarik dengan sifat-sifat yang kemungkinan tidak diasosiasikan dengan konstruksi “baik-baik.” Seperti Demarcus, cowok-cowok ini tertarik dengan cewek “keras kepala.” “Pasangan menarik dan mandiri adalah hal paling penting,” ujar Lamont.
Masyarakat telah mencoba membuat perempuan jadi lemah lembut dan subordinat, itulah sebabnya kita punya feminisme. Seksisme dan misogini bukan hal baru, dan sepertinya tidak kunjung luntur; cewek-cewek melulu agar jadi “cewek baik-baik”, seakan dipandang alim sama orang lain adalah cita-cita tertinggi kita. “Perkembangan agresivitas, keterampilan dalam aktivitas fisik, kemandirian dalam pemikiran dan tindakan, kemampuan menentukan sendiri standar perilaku dan standar internal evaluasi diri seorang cewek dibatasi dan ditekan terus-menerus. Awalnya oleh orangtua dan teman sebaya, kemudian oleh cewek itu sendiri. Kita ingin bertindak seperti dan kemudian menjadi ‘cewek baik-baik’,” tulis Fox pada artikel yang terbit 1977 lalu.
Sebaliknya, artikel tolol di FOX News itu bilang, cewek-cewek harus berupaya lebih keras untuk jadi “cewek baik-baik,” sesuai dengan penjabaran Fox tadi. Namun, bedanya dengan Venker, Fox tidak melihat hal ini sebagai cita-cita mulia melainkan bentuk kontrol sosial. “‘Baik-baik’ atau ‘lemah lembut’ adalah achieved status alih-alih ascribed status,” tulis Fox.
“‘Baik-baik’ atau ‘lemah lembut’ dianggap sebagai ideal yang dapat tercapai; karena setiap cewek bisa belajar untuk jadi wanita, dan setiap wanita diharapkan untuk berperilaku sesuai tataan.” Ini adalah trik yang membuat cewek-cewek berupaya menjadi ideal, lalu kecewa karena mereka masih kurang cukup “baik-baik.” “Identitas seorang ‘wanita’ atau ‘cewek baik-baik’ tidak pernah dikonfirmasi,” tulis Fox. “Alih-alih, identitas tersebut selamanya terancam, dan cewek ditekan untuk menunjukkan sifat lemah lembut mereka dalam setiap interaksi sosial.”
Entah itu untuk bersaing mendapatkan pekerjaan atau mencoba menarik perhatian cowok-cowok, “sepertinya hampir tidak ada tindakan cewek yang tidak bisa digunakan untuk menguji ‘sifat baiknya’. Justru itu adalah kesempatan untuk menguasainya.”
Kalau perempuan enggak bisa jadi “baik-baik,” kalau kita kekeuh enggak jadi “lemah lembut,” atau “manis,” ya itu salah sendiri. Kita seharusnya berusaha lebih keras dong. “Si korban, dengan kata lain, akan bertemu dengan takdirnya,” tulis Fox.