Dentum Dansa Bawah Tanah: Penawar Hambarnya Blantika Musik Elektro Jakarta

Beberapa minggu lalu, kawan saya yang mengelola sebuah label kaset kecil-kecilan, Papaya Records menyodorkan rilisan perdananya—sebuah kompilasi musik elektronik berjudul Dentum Dansa Bawah Tanah (DDBT). Sampul kaset itu kelihatan sederhana—foto hitam putih salah satu pencakar langit di bilangan Jakarta Pusat—dan berisi 14 track yang mencakup beragam subgenre musik elektronik, mulai dari deep house yang menyerempet Soul dalam track REI “Evening Mood” sampai groove-groove pantai dalam gubahan Android 18 “Aquatique.”

Hanya dalam hitungan hari, saya menemukan Dentum Dansa Bawah Tanah di mana-mana—ini termasuk gila mengingat eksistensi Pepaya Records di dunia maya hampir nihil. Bahkan, Pepaya Records tak menyediakan link unduh baik di laman bandcamp atau soundcloud mereka—dua laman yang sering diandalkan oleh label kaset atau musik elektronik. Kaset kompilasi ini, yang dirilis dengan bantuan kolektif seni dari Jakarta, Studiorama, hanya bisa dipesan lewat sebuah alamat email yang tertera di website Studiorama.

Videos by VICE

Dentum Dansa Bawah Tanah adalah penerus kompilasi legendaris Jakarta Movement ’05, rilisan penanda masa yang berhasil menyulut ketertarikan akan musik elektronik sedekade lalu. Kompilasi ini menyatukan DJ, kolektif dan produser semacam Agrikulture, Homogenic, Junko, serta Riri untuk membangun sebuah scene musik elektronik yang kelak melahirkan beberapa festival EDM terbesar di Asia.

Saya bertemu Aldo Ersan Sirait, pendiri Pepaya Records, di sebuah kafe kopi di bilangan Jakarta Selatan. Saya penasaran kenapa DDBT bisa begitu ramai dibicarakan. Menurut Aldo, ide merilis kompilasi ini bermula dari artikel yang dia tulis untuk Jakartabeat tentang pergeseran selera musik kaum muda di Jakarta, dari indie rock ke musik elektronik.

Namun, meski festival besar macam Djakarta Warehouse Project dan State of Trance dihadiri ribuan penonton, ada hal lain “terjadi saat ini di Indonesia, suatu pencarian agung (a grand search). Adalah lazim bila menemukan kaos, celana jeans, celana pendek, dan segala macam atribut indie-rock sedang ikut bergoyang di atas lantai dansa.” Tulisnya kala itu.

“Saya melihat banyak artis baru atau lama yang diam-diam ngemix dan bikin lagu sendiri,” tutur Aldo. “Mereka gak kelihatan di gig mainstream, seringnya main di basement show tanpa harus terjebak dalam kultur festival.”

Bagi Aldo, malam-malam itu telah membuka matanya. “Dandanan yang fancy sudah tak jaman lagi,” tulisnya. “Semua orang menyatu. Restoran dan/atau lounge tersebut disulap menjadi serupa kelab malam ketika keriaan disko bawah tanah sedang dilangsungkan.” Indie rock sudah mulai hambar, ujarnya. Aldo, seorang fan berat band-band macam Talking Heads, Television, dan Spoon, merasa scene indie rock lokal tak bisa kemana-kemana lagi. Namun, penawar yang disuguhkan beragam mega-club juga tak begitu nampol.

“Cakupan scene rock terlalu luas. Jadi, orang gampang bosan,” ujar Aldo, sebelum beralih klub-klub besar di Jakarta. “Di balik room-room besar di klub itu, DJ, musisi dan produser gak cuma mengincar crowd yang besar dan hedonisme. Mereka juga mencari pengalaman.”

Yang menarik perhatian Aldo adalah scene musik elektronik DIY yang sedang tumbuh dan party-party DJ di beragam venue di seantero Jakarta Selatan.

“Sekarang, anak muda ngebook studio sendiri buat latihan, mixing dan nge-dj,” ungkap Aldo. “Mereka cuma bikin musik demi musiknya tok, tetap seperti bagaimana seharusnya musik dimainkan: menggiring orang untuk berjoget.”

Namun, track-track DDBT tak sedikit pun mirip dengan EDM yang merajai klub-klub di Jakarta. Aldo ingin menempatkan kompilasi ini sebagai sebuah pernyataan anti-kemapanan tentang dance music. Jika EDM adalah bentuk paling kentara dari komersialisme scene musik elektronik, DDBT adalah antitesisnya: intim, eklektik dan independen.

“Menurut saya, kita harus scene ini kuat dan besar. Caranya dengan menyakinkan partisipannya bahwa ini bukan tren semata—this is something real,” kata Aldo. “Dance music mainstream dengan segala gaya hidup glamor sudah lewat. Orang dandan habis-habisan, beli tiket dan minuman, make out terus party sampai subuh…tapi saya gak mau nge-judge. Saya percaya mereka punya alasannya sendiri.”

Pengarsip David Tarigan, lelaki di balik arsip musik online IramaNusantara.org, mengatakan bahwa scene musik elektronik baru saja tumbuh.

“Scene-nya mulai berkembang, orang dari beragam umur ikut serta di dalamnya dan di situlah kerennya scene ini,’ ujar David. “Sekarang, ada lebih banyak genre musik elektronik daripada sedekade lalu.”

Meski DDBT cuma mewakili secuil artis musik elektronik Indonesia. David percaya kompilasi ini akan mendapat lebih banyak perhatian di masa depan.

“Saya bisa bilang kompilasi ini “selatan banget,” haha. Lo pasti ngerti lah,” ujar David menyitir daerah Jakarta selatan—tempat semua kultur kehidupan malam dan restoran berkumpul. “Tapi kompilasi ini tak cuma menawarkan dance music. Kompilasi ini tentang cara lo mengekspresikan diri.”

Pada salah satu Jum’at malam, akhir Oktober silam, saya menyambangi Kemang—Pepaya Records dan Studiorama menggelar showcase Dentum Dansa Bawah Tanah. Pesta digelar di rooftop sebuah bar mentereng, FJ on 7. Tak ada HTM atau dresscode. Saya tengah berdiri di dalam bar ketika kalimat yang Aldo ucapkan saat menyodorkan kaset DDBT.

“Buat saya, lampu-lampu laser yang mahal dan glamor sudah ketinggal zaman,” katanya. “Tak perlu dresscode. Kamu cukup goyang. Lagipula, cuma ada kamu dan mesin.”