FYI.

This story is over 5 years old.

teknologi

Kita Punya Beberapa Solusi Supaya Media Sosial Tidak Menyebalkan Sepanjang 2017

Debat agama, politik, dan hoax bertebaran lewat sosmed. Ada mekanisme agar kita lebih bahagia di dunia maya. Maukah kalian melakukannya?
Foto oleh Getty Images

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.

Menurutku tak ada cara lebih baik untuk memahami Internet selain membaca Hukum Balk, sekumpulan keterangan akurat (dan depresif) yang ditulis Alex Balk, Petinggi Komunitas Internet Awl. Hukum Balk pertama berbunyi, "Hal terburuk [dari sosmed] adalah mengetahui apa yang dipikirkan semua orang mengenai apa saja." Sementara hukum ketiga berbunyi, "Kalau menurutmu sekarang Internet buruk, sabarlah, sebentar lagi [akan jadi semakin buruk]."

Iklan

Di berbagai negara, termasuk Indonesia, media sosial kini dipenuhi gelombang-gelombang sinisme dan pesimisme. Lindy West, penulis feminis tersohor dan pengguna Twitter bangkotan, baru saja menutup akun. Dia beralasan Twitter tak lagi berguna, "bagi siapapun kecuali para troll, robot, dan diktator." Presiden-terpilih Donald Trump bulan berulang kali mencuitkan serangan terhadap kelompok minoritas atau semua orang yang dianggapnya musuh politik. Hal tersebut memantik pertanyaan serius tentang apakah Twitter perlu memboikot Trump daripada terus meresahkan pengguna. Di lain pihak, Facebook sama saja tidak aman. Beranda kita kini penuh dengan berita-berita palsu dan hoax. Sedangkan fitur terbarunya, Facebook Live, baru-baru ini dipakai menyiarkan kejahatan berdasar kebencian.

Atas segala hal buruk di atas, ditambah kenyataan sehari-hari yang sudah berat, begitu absurd rasanya mempertahankan jejaring sosial. Apalagi kita perlahan terbiasa melihat kebencian dipamerkan lewat sosmed: cercaan pada warga non-kulit putih dan perempuan yang menyatakan pendapatnya di ruang publik, atau debat antar agama di Indonesia. Semua saja harus dikaitkan dengan agama di negara ini.

Media sosial diperlakukan sebagai kepompong untuk meneguhkan pendapat pribadi, lalu setiap pemilik akun merasa paling benar, selalu menyalahkan satu-sama lain.

Faktor-faktor tersebut membuat kita terdorong segera offline saja, meski sebenarnya sulit juga sih langsung offline (haha!) karena nyaris semua manusia modern kecanduan pasokan endorfin dari afirmasi dan interaksi dari sosmed. Jadi, alih-alih menutup akun, aku mengirim surel kepada Adrienne Russell, seorang profesor University of Denver yang memiliki spesialisasi pada perkembangan jurnalisme dan aktivisme daring. Kami ngobrol-ngobrol juga soal relasi kacrut antara media dan ruang publik, apa yang mungkin dilakukan agar kita hidup damai di sosmed, dan alasan kita bisa optimis menatap masa depan Internet.

Iklan

VICE: Ada perdebatan soal apakah Twitter perlu memboikot Trump karena dia mendukung kekerasan dan menyebarkan tuturan kebencian. Menurutmu bagaimana? Apa tidak konyol, mengingat dia sebentar lagi dilantik jadi presiden AS?
Adrienne Russell: Aku rasa tak ada yang konyol mengenai argumen tersebut, tapi memang keadannya rumit. Twitter mestinya memberlakukan syarat dan ketentuan yang sama pada setiap penggunanya, termasuk Trump. Facebook juga mestinya sama. Laman Facebook Trump, sebagai contoh, memposting soal memboikot warga Muslim dari Amerika Serikat yang jelas-jelas menyalahi aturan Facebook soal ujaran kebencian. Mark Zuckerberg mengklaim bahwa, karena tuturan tersebut datang dari seorang kandidat politik dan menjadi diskursus politik arus utama, maka hal ucapan akun Trump diberi toleransi. Ini adalah pendekatan bermoral bobrok dalam menjalankan platform yang mengakomodasi pertukaran ide dan informasi terbesar di dunia. Tapi ini juga memantik pertanyaan bagus apakah Twitter dan Facebook menentukan apa yang bisa dan tak bisa dikatakan. Menurut advokat kekebasan berpendapat garis keras, harusnya tidak begitu. Selain itu, menurut mereka ini bisa jadi ancaman bagi diskursus publik dan orang lain yang menyebarkan informasi keliru dan ujaran kebencian, alih-alih bagi Trump.

"Menyikapi kebangkitan Trump sebagai hasil perubahaan teknologi mengabaikan upaya tahunan gerakan konservatif untuk mengikis rasa percaya masyarakat pada pemerintah, jurnalisme, sains, dan 'fakta'."

Iklan

Menurutmu siapa paling bertanggung jawab memeriksa fakta pernyataan-pernyataan yang ternyata keliru, yang diucapkan politikus (seperti Trump) atau organisasi tertentu? Perlukah Twitter dan Facebook memastikan postingan selebtwit dihapus jika memang isinya keliru?
Aku rasa menjadi tanggung jawab para jurnalis memeriksa fakta pada pernyataan para politisi, tapi berita palsu adalah persoalan lebih besar daripada politisi yang berbohong. Platform media sosial memiliki tanggung jawab untuk memberantas pesebaran berita palsu dan pengguna memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan kemampuan membedakan berita palsu dan asli, jadi mereka engga dibodohi dan engga menyebarkan kabar keliru. Aku yakin kamu sudah pernah lihat survei Pew baru-baru ini yang menemukan hampir seperempat orang Amerika mengaku pernah menyebarkan berita palsu.

Aku juga perlu mengatakan bahwa meski platform media sosial mempercepat sirkulasi rumor dan kebohongan, mereka tidak menciptakan publik yang sinis yang punya begitu sedikit kepercayaan pada media dan pemerintahan sehingga mereka engga mebedakan mana jurnalisme dan mana berita palsu, atau antara pemimpin politik yang tepat dan oportunis yang digemari rakyat. Menyikapi kebangkitan Trump sebagai hasil perubahaan teknologi mengabaikan upaya tahunan gerakan konservatif untuk mengikis rasa percaya masyarakat pada pemerintah, jurnalisme, sains, dan 'fakta' pada umumnya. Kita harus memikirkan itu setiap kita membahas politik dan media.

Iklan

Kalau Twitter dan sosmed lain menyikapi ujaran kebencian secara lebih tegas, seperti memboikot dedengkot gerakan kanan-mentok seperti Richard Spencer dan Milo Yiannapoulos (di Indonesia mirip Jonru) beserta pengikutnya, apakah itu hanya akan memaksa mereka pindah tempat atau membuat situs mereka sendiri dan pada akhirnya tidak ada ruang publik yang pantas di web melainkan ruang-ruang ideologis yang saling berkompetisi?
Sepertinya yang kamu deskripsikan—kompetisi ideologi di ruang publik—sudah ada di Facebook dan di Twitter, meski di Twitter tak terlalu kentara. Algoritma FB, misalnya, menciptakan gelembung-gelembung ideologi, dan inilah alasan kita sangat terkejut Trump menang. Tapi ya, yang kamu bilang itu mungkin saja sih. Kalau kelompok pendukung supremasi kulit putih dikeluarkan dari platform media sosial, mereka kemungkinan besar akan membuat platform mereka sendiri (dan sebenarnya sudah terjadi, kalau kamu memasukkan grup diskusi di subreddits). Sebaiknya kita buang jauh-jauh impian akan ruang publik daring yang bisa menghasilkan diskursus politik secara sehat dan produktif.  Kita memang punya cara-cara untuk memfasilitasi ruang yang demikian.

Kalau kamu memiliki platform semacam Facebook, lalu menyebutnya Russellpedia atau apalah, panduan seperti apa yang akan kamu kerahkan untuk memfasilitasi pertukaran ide dan sekaligus memastikan kekerasan tidak disebarkan? Apakah kamu akan mengkriminalkan ujaran kebencian?
"Russellpedia"? Ha. Kayaknya engga, deh!

Iklan

Aku bukan pengusaha, eksekutif media, ataupun pengacara kebebasan berpendapat, tapi sejujurnya aku percaya memberantas kekerasan dan ujaran kebencian itu tak terlalu sulit. Kamu hanya perlu mengerjakan dan mengerjakannya agenda itu secara telaten, kan? Ada banyak area abu-abu, tapi bukan tugas yang mustahil. Hanya saja tugasnya tak henti-henti. Dan bukanya kita sudah melakukan itu pada tahapan tertentu di ruang publik? Portal media telah belajar bagaimana memperbaiki komunikasi dan sikap buruk pada komentar artikel. Ini bukan hal mudah. Hal ini memerlukan komitmen dan tekad untuk membayar orang-orang yang bisa mengerjakannya. Tapi kalau kamu Facebook, kenapa kamu tak memprioritaskan itu dan menggaji karyawan terlatih atau pengacara untuk mengerjakannya? Menurutku ini terlihat seperti salah satu risiko membuat bisnis sebagai platform media sosial terbesar di dunia.

Apakah keterampilan atau perkakas penting buat menciptakan ruang publik daring yang memungkinkan diskursus produktif? Apakah ini tentang teknologi, atau soal orang-orang mempelajari cara berkomunikasi satu sama lain? Atau, dengan kata lain, adakah cara agar publik tak terlalu sinis?
Publik kita sinis karena selalu dididik menjadi sinis. Kita mempelajari politik kita sebagian besari dari berita dan obrolan radio di media. Jadi, apa tujuan dari informasi politik yang dikonsumsi sebagian besar warga Amerika? Apakah untuk melayani kepentingan publik? Apakah untuk menggerakkan orang untuk bertindakd an bekerja sama sebagai penduduk? Apakah berita kita, pada level dasar, tentang mendorong tanggung jawab bersama dan kewajiban untuk mengupayakan empati dalam pelayanan untuk keadilan dan kebaikan yang lebih besar atau kebebasan tulis dan kesempatan setara? Jawabannya terlihat amat jelas setelah periode pemilu, dengan berita TV didominasi keuntungan dan bahwa produk yang dihasilkan sangat engga siap, bahkan bobrok dari segi melayani kepentingan publik.

Iklan

"Masalahnya bukan pada Facebook, melainkan cara kita menggunakannya."

Lantas, bagaimana kalau instruksi mengoperasikan media kita diubah? AS tak pernah memiliki media publik, yang didanai pajak rakyat, sebesar BBC, tapi bisa saja kita menggunakan Internet dengan cara-cara baru. Bagaimana  kalau ada ruang bagi jurnalisme di mana reporter benar-benar dihargai untuk menjadi aktivis bagi kebenaran—reporter yang dibayar dan para pengguna media sosial yang memberantas propaganda dan informasi keliru? Itu, menurutku, adalah obat bagi sinisme. Aku rasa itu simbol harapan, contohnya, bahwa anak muda sekarang malas main Facebook. Menarik bahwa gerakan anak muda berpengaruh sangat didasari budaya DIY dan estetika. Bukankah sekarang saatnya membangun ruang publik informasi yang tidak dilandasi profit?

Kita punya kok keterampilan dan perkakas untuk menciptaan ruang publik yang dapat melindungi debat sipil produktif melalui informasi yang mudah diakses—bahkan, aku rasa sekarang itu lebih baik dari kapanpun! Aku tahu itu terdengar absurd mengingat konteksnya. Tapi kita punya keterampilan dan perkakas sekarang, kita hanya engga punya motivasi. Kita hanya diarahkan untuk engga melakukan itu. Ada pihak yang engga mau kita termotivasi, dan kita harus lawan itu. Ini bukan untuk menciptakan platform magis baru. Itu telah dilakukan sebelumnya. Perkakasnya sangat hebat, dan itu ada di sekitar kita dan semakin hebat tiap harinya. Kita perlu fokus melawan kekuatan yang mempromosikan ketidakpedulian dan apatisme.

Aku ingin menggarisbawahi ada banyak alasan untuk tetap berharap positif jika Internet dapat berkembang lebih baik lagi di masa mendatang. Kelompok aktivis yang telah aku pelajari selama 20 tahun menggunakan media menggunakan cara-cara inovatif dan demokratis untuk mempromosikan literasi media dan hak sipil. Itulah inti misi-misi kita. Aku pernah melihat kelompok-kelompok ini mempromosikan nilai-nilai dan identitas dan ide tentang relasi sosial yang lebih besar daripada yang dipromosikan korporasi media. Akademisi pendidikan Henry Giroux sangat hebat soal ini. Dia bilang kita perlu berusaha untuk mempelajari ulang soal kekasaran soal pendekatan terhadap kehidupan bermasyarakat dan hubungan yang mendominasi kehidupan Amerika hari ini. Aku rasa itu sangat benar.

Facebook bukan lah masalahnya, masalahnya adalah bagaimana kita belajar menggunakannya. Atau bagaimana kita dihargai karena menggunakannya dengan cara-cara yang baik. Sebuah medium hanya akan jadi sebaik penggunanya—keterampilannya untuk menjadikannya baik atau buruk. Penonton FOX News adalah konsumen buruk. Mereka telah mempelajari kebiasaan buruk media, tapi kebiasaan media dan penggunaan sangat bergantung keterampilan, dan literasi lainnya. Tapi, tetap saja: media sosialmu di tingkatan tertentu mengajarkanmu bagaimana cara menggunakan media, dan literasimu hanya akan meningkat atau menurun, tapi engga pernah begitu-begitu saja!