Ibu kota lebih kejam daripada ibu tiri. Perumpamaan ini biasa menghantui calon perantau yang punya niatan pindah ke Jakarta. Sebagian orang merasa perlu membuktikannya sendiri, nekat ke Jakarta demi karier dan peningkatan ekonomi. Banyak yang betah dan bertahan, tidak sedikit pula yang pindah dan memilih tempat lebih nyaman. Daya tariknya tidak akan pernah pudar selama perputaran uang di Jakarta masih bikin silau provinsi sekitar.
Kerja apa saja deh, asal enggak di Jakarta. Sentimen ini bisa dimaklumi. Berbagai statistik kelam soal Jakarta seringkali bikin jiper. Pada 2020, BPS mencatat ada tiap 9 dari 100 ribu orang di Jakarta berisiko jadi korban kriminalitas setiap bulan. Sampai detik ini, kualitas udara di Jakarta terus bersaing menjadi yang terburuk di dunia. Laporan Oxford Economics pada 2019 memprediksi Jakarta menjadi kota terpadat di dunia, berita buruk bagi jutaan pengendara yang dipaksa menjadi tua di jalan.
Videos by VICE
Redaksi VICE penasaran, bagaimana ya rasanya jadi penduduk Jakarta yang sejak lahir harus terbiasa dengan segala hal ini? Apakah stereotipe horor di kalangan perantau ini juga mereka rasakan? Adakah hal yang paling dibenci warga Jakarta dari kota kelahiran mereka sendiri?
Sebelum kami berburu narasumber, penentuan kriteria menjadi penting: mendefinisikan siapa itu penduduk Jakarta. Demi memudahkan pencarian, kami lantas mencantumkan tiga syarat. Pertama, harus lahir dan besar di Jakarta. Kriteria ini penting agar pendapat yang diutarakan berasal dari warlok. Kedua, ia boleh punya fase merantau seperti berkuliah atau dinas kerja, namun harus sudah kembali lagi ke Jakarta pada saat wawancara dilakukan. Tujuannya supaya mereka bisa membandingkan Jakarta seperti yang dikenang selama tumbuh dewasa, dengan Jakarta versi terkini.
Ketiga, dan yang paling penting, ia harus tinggal dan bekerja di wilayah DKI Jakarta. Ia tidak boleh menetap di kota satelit macam Depok, Bekasi, Bogor, atau Tangerang dan “hanya” bekerja di Jakarta. Keputusan ini mengeliminasi banyak orang, tapi dilakukan semata-mata demi mencari orang dengan pengalaman hidup yang Jakarta banget.
Berikut ringkasan jawaban mereka tentang hal yang paling dibenci warga Jakarta dari Jakarta.
Fitriansyah (33), karyawan swasta
Jakarta itu kota dengan tingkat stres tinggi, menjadikan orang sangat tertekan demi bisa memenuhi kehidupan dasarnya, keinginannya secara material. [Kalau] hidup [sedang] tidak harmonis, [mudah] berdampak pada kesehatan mental. Apalagi, traffic di Jakarta sangat menyusahkan. Di mana-mana macet, perjalanan dalam kota menghabiskan banyak waktu dan energi. Panasnya membakar, bikin radang tenggorokan dan jerawatan. Hidup mesti dalam AC jika tidak ingin berkeringat 24 jam.
Budaya orang Jakarta terasa lebih individualistis, kurang ramah. Kalau tanya ke orang yang enggak dikenal, mukanya sepet banget dan jawab seperlunya!
Ratih (25), karyawan swasta.
Macet udah pasti sih benci banget. Kalau macet udah pasti semua orang ngerasain di Jakarta bikin tua di jalan. Ngabisin waktu banget kalau mau jalan-jalan di dalam kota terutama pakai mobil.
Enggak tertib. Di Jakarta itu mayoritas bisa dibilang perantau, tapi mereka enggak nerapin aturan yang ada di kotanya masing-masing. Pengalaman yang gue rasain ketika ngerantau di Jogja [untuk kuliah] itu kota cukup tertib ya untuk penduduk setempat. Ke mana pun orang-orang selalu taat lalu lintas, berhenti pada tempatnya.
[Jakarta] rawan kriminalitas. Kriminal ini yang kadang bikin takut naik transportasi umum yang melibatkan orang banyak. Malah jadi negative thinking sama orang lain padahal enggak semua orang di Jakarta seperti itu, kadang jadi stereotip aja sih.
Randy (31), pekerja kreatif.
[Enggak suka] suasana kotanya. Gue lahir dan besar di Jakarta. Dari dulu terbiasa banget sama macet dan perjuangan harus bangun subuh supaya enggak telat ke sekolah, supaya dapet angkot/metromini yang enggak penuh, dan supaya belum begitu macet.
Setelah itu gue sempet kuliah di luar kota selama 3,5 tahun. Herannya, setelah gue lulus dan balik ke Jakarta, gue ngerasa suasana Jakarta yang rasanya baru ditinggal sebentar ini udah banyak banget perubahannya. Tiba-tiba di deket rumah gue ada restoran franchise dan mal banyak?!
Belum lagi semakin macet, makin sedikit ruang terbuka, semakin dikit pohon, semakin banyak orang, semakin banyak polusi, dan semakin enggak sabaran orang. Suara klakson mobil bikin gue stres. Jujur, gue sering uring-uringan. Gue berusaha keluar dari Jakarta, sempat kerja di luar kota selama enam bulan. Tapi, gue tetap balik lagi ke Jakarta karena kemudahan mobilitas [kerjaan] gue.
Menetap sampai sekarang, gue masih culture shock dengan pertumbuhan Jakarta serta seisinya yang amat sangat pesat. Semakin banyak gedung-gedung tinggi dan kabut polusi yan menutupi Jakarta. Semakin banyak spot “cantik” yang dibangun bersamaan dengan hilangnya karakter dari Jakarta itu sendiri. Semakin sedikit ruang terbuka untuk sekedar bersantai dan melepas lelah, semakin banyak hidden gem yang bukan lagi hidden gem setelah viral.
Gue rasa Jakarta udah kehilangan keaslian dan karakternya.
Paramita (28), produser
Kota yang penuh dengan judgement. Kota yang jika ada bencana pasti yang disalahin pemerintah, tapi enggak pernah introspeksi diri sendiri. Kota yang social gap-nya paling terasa.
Orang masih sulit berekspresi di Jakarta karena sebagian besar warganya judgy. Eksperimen dengan baju, bakal dianggap sok selebgram, fashion guru, atau si paling Jaksel. Suka pakai tas selempang dengan brand lokal, [dicela] kalau domisilinya di Jakarta Timur. Foto makanan sebelum dimakan, pasti meja sebelah bakal ngeliatin terus bisik-bisik “food vlogger atau selebgram”?
Vanya (28), karyawan swasta
Enggak ada hal spesifik tentang Jakarta yang gue enggak suka. Tapi, ada satu hal yang gue ngerasa di Jakarta lebih umum dibanding kota lainnya yang pernah gue tinggalin. Di Jakarta, banyak mobil pakai apa sih kayak ngiung-ngiung gitu? Strobo ya? Itu yang suka semena-mena. Mobil itu pakai jalur Transjakarta, ngerasa jalanan punya dia. Kesel banget!