Mustahil anak Indonesia yang punya TV tidak mengenal penggerebekan pasangan mesum oleh Satpol PP. Tontonan ini marak dan dinormalisasi, sampai-sampai banyak orang tak sadar Satpol PP aslinya tak berwenang masuk ke ruang privat warga sipil, seperti rumah pribadi dan… kamar hotel.
VICE pernah membahas panjang lebar tentang ilegalnya aksi Satpol PP menggerebek pasangan luar nikah. Tapi rupanya ulasan itu belum tuntas. Belum terjawab bagaimana nasib korban yang terjaring razia Satpol PP itu. Apa sanksi yang mereka dapat, mengingat razia Satpol PP di ruang privat tidak berbekal dasar hukum yang tepat?
Videos by VICE
Sebelum kami kadung merancang liputan “Aku Menjajal Rasanya Digerebek Satpol PP” demi mendalami serba-serbi digaruk polisi pamong praja ini, VICE bertemu Ben, begitu ia minta dipanggil. Pada 2016 silam lelaki ini mencicipi pengalaman digaruk Pol PP di hotel melati kala bermalam dengan pacarnya.
Aslinya Ben cukup beruntung. Penggerebekan terjadi sekitar jam 09.00 pagi ketika ia sudah siap checkout. Belum sempat keluar kamar, ia mendengar ribut-ribut di luar. Dari jendela kamarnya ia melihat serombongan Pol PP sedang mengetuk kamar satu per satu.
“Udahlah, panik segala macem,” kata Ben. Ia dan pacarnya akhirnya pasrah menunggu disamper di kamar. “Paling nggak waktu itu posisi kami emang udah bener-bener tinggal cabut,” timpal Ben.
Tiga orang yang mendatangi kamar mereka. Mereka menunjukkan surat tugas. Lalu, satu petugas menanyai status mereka, minta ditunjukkan buku nikah dan KTP. Satu petugas lain menggeledah kamar, termasuk tempat sampah. Petugas terakhir memotret kamar dan dua pesakitan kita. Karena Ben mengaku belum menikah, petugas pertama langsung “menjelaskan pasal-pasal”.
Acara penggerebekan selesai sampai di situ. Ben tak diangkut. Ia disuruh datang ke kantor Satpol PP bersama ortunya buat menebus KTP.
Instruksi itu ia ikuti. Bersama bapaknya ia datang ke kantor. “Sampai di Satpol PP, kami dijelasin kalo aku kena Perda Pelacuran Kebumen,” kata Ben.
Kami coba mengecek perda pelacuran yang dipunyai Kebumen. Hanya ketemu satu perda, yakni Perda 6/1973 tentang Pemberantasan Pelacuran di Jalan.
Tak susah untuk menyimpulkan apa yang dilarang perda ini sebab isinya hanya dua halaman. Seperti namanya, yang dilarang adalah tindakan menjajakan diri di jalanan atau di tempat yang terlihat dari jalan. Kami menemukan hingga tahun 2018 perda ini masih dipakai.
“Saat aku sempet nanya Satpol PP [kenapa dirazia], jawaban mereka, ya kalau seks di luar nikah bisa dikenain pasal di Perda Pelacuran Kebumen. Ya udahlah,” kenang Ben.
Jauh setelah penggerebekan itu baru Ben mengetahui, hukum Indonesia tidak melarang semua bentuk seks di luar nikah. Yang terlarang adalah seks luar nikah dengan orang yang punya pasangan resmi, seks dengan anak, dan pemerkosaan.
Oleh petugas, Ben disuruh memilih layaknya orang kena tilang: mau sidang atau bayar denda. Tentu ia memilih yang kedua. “Sebenernya dendanya murah banget, cuma berapa belas ribu. Bayar di situ, ambil KTP, udah beres,” kata Ben. Menurut isi perda tadi, hukuman maksimal berupa penjara 6 bulan atau denda Rp10 ribu.
Saat menebus KTP, Ben bertemu korban gerebekan yang senasib dengannya. “Yang rata-rata kegerebek itu justru bukan anak muda, tapi pasangan paling udah umur 40-an gitu. Bapak-bapak. Ketemunya karena sama-sama ngurus. Cuma aku nggak tahu mereka sama-sama kena Perda atau yang lain,” katanya.
Beberapa waktu setelah penggerebekan, Ben berbincang-bincang dengan seorang temannya, warga Kebumen. Teman itu membagi tips: aksi gerebek di hotel bisa sebenarnya bisa ditandai.
“Pokoknya kalau ada tanggal merah yang besoknya libur, itu biasanya malem sebelumnya ada gerebekan,” kata Ben. Ia ingat-ingat, acara penggerebekan itu emang diadakan di malam kelulusan SMA.
Mempertanyakan razia Satpol PP
Seperti sudah kami singgung di atas, menggerebek pasangan di luar nikah bukanlah tugas Satpol PP.
101 Satpol PP: Satuan Polisi Pamong Praja ini adalah perangkat daerah yang dibentuk untuk melakukan tiga tugas, demikian kata PP 16/2018. Tugas itu, pertama, menegakkan perda dan peraturan kepala daerah (perkada); kedua, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman; ketiga, menyelenggarakan perlindungan masyarakat.
Karena tugasnya menegakkan pelaksanaan perda, kalau kamu melihat aktivitas Satpol PP dan bertanya-tanya kok bisa gitu ya, silakan cek perda setempat dulu.
Tapi aslinya wewenang Satpol PP tidak luas, karena doi penegak perda aja. Di Indonesia, yang disebut aparat penegak hukum (APH) hanya lima pihak: polisi, jaksa, hakim, lembaga pemasyarakatan, dan advokat. Pol PP tuh nggak diajak.
Lalu dalam tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, hierarki perda pun “hanya” di peringkat 6 dan 7, jauh di bawah undang-undang yang nomor urutnya 3.
Tapi praktik bicara lain. Ketika KUHP (levelnya undan-undang) mendefinisikan perzinaan sebagai hubungan luar nikah antara salah satu atau dua orang yang sudah berpasangan sah, serta baru bisa ditindak ketika ada aduan dari pasangan sah, Satpol PP berbekal perda malah menggelar razia di hotel-hotel melati.
Razia Satpol PP di berbagai daerah memang patut dipertanyakan. Misal razia kondom, yang notabene alat kontrasepsi legal dan sah, di toko-toko; operasi yustisi di Jakarta untuk menangkap pendatang dari daerah lain; hingga menggelar tes urine deteksi narkoba secara impulsif. FYI, ada sederet syarat ketat bagi aparat jika hendak melakukan tes urine kepada warga sipil.
Problem lain operasi-operasi itu adalah tendensi bias kelasnya. Lihat saja sasarannya, seperti hotel melati, terminal, pelabuhan, warung kecil tempat anak sekolah bolos nongkrong. Operasi yustisi buat warga pendatang bahkan tergolong ngawur banget. Bisa-bisanya perda melarang urbanisasi ketika UUD 1945 sendiri menjamin WNI bebas berpindah tempat ke mana pun di dalam lingkup NKRI. Yeee.
Soal bablasnya kewenangan Satpol PP, bahkan ada preseden Pol PP yang mengambil alih tugas aparat polisi dengan menyamar sebagai pelanggan dan menerima jasa seks. Alasannya, sedang mengusut kasus prostitusi.
Sebenarnya lebih relevan bagi Satpol PP menegakkan peraturan daerah (perda) di tempat umum dengan menindak pelaku catcalling dan ekshibisionis, yang terbukti bikin resah warga. Sayangnya, penegakan ketertiban yang dibutuhkan semacam ini malah jarang dilakukan apalagi disiarkan TV.