KPAI: Kekerasan Seksual pada Murid Indonesia Mayoritas Terjadi di Sekolah Agama

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) baru saja melaporkan temuan kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan sepanjang 2021, hari ini (28/12). Menurut catatan tersebut, sepanjang tahun ini terjadi 18 kasus kekerasan seksual dengan korban sebanyak 207 anak, terdiri dari 126 perempuan dan 71 laki-laki di rentang usia 3-17 tahun. Pelajar SMP/sederajat jadi yang paling sering menjadi korban (36 persen), diikuti SD/sederajat (32 persen), SMA/sederajat (28 persen), dan TK (4 persen). Kekerasan seksual di sekolah ini menyebar di 17 kabupaten/Kota di 8 provinsi: Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Papua.

Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti menyebut institusi pendidikan di bawah Kementerian Agama (Kemenag) menyumbang kasus terbanyak. “Dari 18 kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan, 4 atau 22,22 persen dari total kasus terjadi di sekolah di bawah kewenangan Kemendikbudristek, dan 14 atau 77,78 persen terjadi di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama,” kata Retno dalam keterangan tertulis, dilansir Tirto.

Videos by VICE

Sementara, institusi pendidikan dengan format asrama, boarding, atau pesantren menyumbang 66,66 persen kasus. Pelaku terbanyak berasal dari tenaga pendidik (55,55 persen) dan kepala sekolah (22 persen). Relasi kuasa dimanfaatkan pelaku dengan berbagai modus: korban diiming-imingi nilai tinggi, dijanjikan jadi polwan, dipinjami tablet untuk main game online, minta dipijat sebelum akhirnya diraba-raba kemaluannya, sampai diintimidasi menggunakan dalil-dalil agama.

Temuan ini membuat KPAI mendesak Kemendikbudristek dan Kemenag membangun sistem perlindungan bagi murid yang tinggal jauh dari orang tua. Retno juga meminta para orang tua lebih memperhatikan latar belakang calon sekolah bagi anak, khususnya memastikan ada prosedur yang jelas untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual.

Langkah konkret terpenting, KPAI meminta Kemenag menerbitkan aturan serupa Permendikbud No. 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Satuan Pendidikan sebagai payung hukum pembuatan mekanisme penyelesaian kasus yang memihak korban.

Tuntutan yang sama disuarakan Perhimpunan dan Pendidikan dan Guru (P2G). Terkuaknya kasus biadab pemilik sekolah Madani Boarding School Herry Wirawan yang memperkosa 13 santriwati membuat P2G merasa aturan pencegahan kekerasan seksual di satuan pendidikan agama harus segera hadir. “Tingginya kekerasan seksual di satuan pendidikan berbasis agama karena rendahnya pengawasan dari jajaran Kemenag,” kata anggota Dewan Pakar P2G Rakhmad Hidayat, dilansir Suara, dua pekan lalu.

P2G juga meminta Menag Yaqut Cholil Qoumas segera menerbitkan peraturan menteri agama (PMA) tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan seksual yang mengatur semua institusi pendidikan berbasis agama, seperti madrasah, pesantren, seminari, pasraman, dan dhammasekha. “Regulasi PMA sangat urgent dibuat, mengingat angka kekerasan seksual di satuan pendidikan agama cukup tinggi. P2G menilai Gus Menteri [Yaqut Cholil Qoumas] akan cepat tanggap dengan aspirasi ini,” tambah Rakhmad. Saat ini, setidaknya ada 33.980 pesantren dan 83.468 madrasah beroperasi di Indonesia.

Dalam responsnya 14 Desember lalu, Menteri Yaqut membeberkan beberapa strategi Kemenag untuk menyelesaikan masalah genting ini. Sayang, belum ada janji penerbitan beleid yang mengatur mekanisme penanganan kekerasan seksual seperti diminta banyak pihak.

Strategi itu berupa, pertama, Kemenag akan melakukan investigasi ke sekolah-sekolah, khususnya kepada yang dicurigai menampung pelaku kekerasan seksual. “Proses investigasi [sekolah terduga] sudah mulai berjalan. Saya minta seluruh jajaran untuk secepatnya melaporkan kepada saya temuannya, supaya bisa segera diambil langkah,” kata Yaqut.

Kedua, Kemenag akan menggandeng KPAI, kepolisian, dan pihak terkait manakala muncul kasus kekerasan seksual baru di lingkungan sekolah. Ketiga, Kemenag akan melakukan perbaikan prosedur pemberian izin operasional bagi seluruh lembaga pendidikan agama dan keagamaan, terutama mengenai verifikasi dan validasi lapangan.

“Jadi tidak boleh rekomendasi yang muncul dari Kementerian Agama itu hanya berupa kertas. Rekomendasi harus didasarkan pada hasil verifikasi dan validasi lapangan. Petugasnya harus datang melihat, menyaksikan, baru mengeluarkan rekomendasi izin. Saya sudah minta Dirjen Pendidikan Islam untuk mengawal hal ini,” ujar Yaqut.