Di Masa Depan, Busana Kita Bakal Ramah Lingkungan, Berteknologi Tinggi dan Jadi Emoji

Artikel ini pertama kali muncul di i-D.

“Kita akhirnya tahu harga yang sesungguhnya kita bayar untuk bahan-bahan itu.”

Fashion selalu terobsesi dengan masa depan. Kita terlalu terpaku pada apa yang datang sampai-sampai season month kita tiba lebih dulu daripada belahan dunia lainnya. Gara-gara obsesi ini, lanskap fashion kita bisa digunakan untuk menilik tren yang lebih besar yang akhirnya membanjiri hidup kita.

Videos by VICE

Menurut catatan sejarah, konservatisme fiskal dan sosial biasa diukur dari tinggi hemline. Sementara revolusi gender dan seksual lebih dulu menyambangi dunia fashion sebelum akhirnya manyebar di kehidupan manusia. Tiap harinya, desainer terus menenerus berusaha mendorong umat manusia ke ranah-ranah baru. Fakta-fakta ini dan akhir tahun yang makin di ambang pintu membuat I-D penasaran apa yang dipikirkan para futurist tentang fashion.

Kristina Dryza sebenarnya lebih nyaman disebut “nowist” daripada futurist. Meski kurang enak didengar, ia menganggapnya sebagai terma yang lebih tepat menggambarkan pendekatannya dalam memprediksi tren desain, sosial dan teknologi. Menurut penjelasannya, “orang kerap menganggap masa depan sebagai bagian terpisah dari masa kini, padahal sejatinya masa depan mulai berevolusi dari saat ini”

Hey Kristina, bisa kita mulai dengan bicara tentang persinggungan teknologi dan busana?
Tentu, kita akan melihat naiknya kemewahan teknologi—layaknya mentalitas FitBit—kita akan mendambakan perfoma dari segala sesuatu. Jika kita maju 20 tahun ke depan, nanotech akan memungkinkan perancang busana untuk menaruh beberapa fungsi dalam baju kita. Busana kita akan berfungsi layaknya kulit kedua, dengan sensor biometric kesehatan. Busana kita juga bakal tersambung ke Internet. Busana tak lagi membuat kita tampil keren tapi juga menjaga kesehatan kita.

Lebih dari itu, saya pikir kemampuan menangkap dan mengkomunikasikan emosi dalam persinggungan teknologi dan fashion akan sangat menarik.

Apa yang anda maksud dengan menangkap emosi?
Anda akan bisa membaca emosi seseorang dengan melihat apa diungkapkan sensor dalam busana yang tengah dikenakan. Jadi, kita tak akan cuma berkata ‘Nafasnya makin cepat, mungkin ia kena serangan asma.’ Tapi, busana akan bisa menunjukkan emosi kita, seperti kita menggunakan emoji saat ini.

Apakah 3d printing akan jadi makin dominan? Saat ini susah menemukan penggunaan 3D printing kecuali di experimental fashion.

Menurut saya, elemen yang penting adalah bagaimana 3D printing menghapus proses produksi limbah. Terlalu banyak limbah di dunia fashion.

Ada perdebatan panas tentang kekunoan—seperti, membuang barang yang masih bisa digunakan. Saya pikir kita bisa mengatakan hal yang sama pada fashion. Banyak kasus perbudakan dan kerusakan lingkungan bisa kita hubungkan dengan fashion. Ini lebih tentang bagaimana berhenti berbasa-basi dan menyadari bahwa fashion adalah industri yang polutif.

Saya selalu menekankan pada klien saya untuk berpikir siklikal alih-alih linear. Jika kita tidak melihat dunia sebagai sebuah proses yang siklikal, kita akan abai saja terhadap apa yang ada sebelum dan sesudah kita.

Kita menjadi makin peduli tentang dimana sesuatu dibuat, bagaimana sebuah bahan dibuat dan sebanyak apa pekerjanya dibayar. Tapi, kita tak terlalu peduli apa yang terjadi setelahnya. Kita bakal paham ketika baju-baju dari H&M dan Zara berakhir di tempat pembuangan, baju-baju ini akan sama merusaknya seperti McDonald terhadap. Kita akhirnya tahu harga yang sesungguhnya kita bayar untuk bahan-bahan itu.

Jadi fokusnya masih masalah keberlanjutan?
Ya dan saya pikir label fair trade akan memiliki fungsi lebihg luas dari yang dimilikinya sekarang—kita menginginkan kemampuan untuk menelurusi dan membayangkan rantai supply. Saya kira kita akan melihat pertumbuhan cause related brand seiring perubahan pola pikir dari sekadar membeli dan mengenakan pakaian yang mudah didapat semata. Saat ini sudah konsensus global tentang isu ini—tapi toh orang tetep pengen pakaian yang murah.

Orang-orang sudah mafhum perihal rantai supply dan kondisi kerja namun mereka masih acuh kenapa sebuah busana harganya sangat murah dan berapa besar dibayar orang di tempat lain. Namun, seturut munculnya pola pikir yang makin mengglobal, kita akan makin peduli.

Masalah keberlanjutan agak bersinggungan dengan perkembangan teknologi. Dalam proses pembuatan kain misalnya, akankah kita mengeksplor opsi yang lebih natural atau justru memperbaiki kain sistetik yang sudah ada?

Saat ini, industri fashion sangat bergantung pada sumber daya alam yang amat berharga seperti kapas. Belum lagi, proses produksinya menghasilkan banyak limbah. Kita akan memperhitungkan opsi-opsi natural lainnya seperti kulit alternatif yang dibuat dari serat daun nenas.

Sekarang, kita melihat alam sebagai sesuatu alih-alih bagian dari kita. Seilir hidup kita yang makin artifisial, kita tertatih tatih di antara batasan dunia nyata dan dunia virtual yang makin samar. Orang-orang nantinya akan ingin kembali mengenakan busana yang mendekatkan kita dengan alam. Kita lebih nyaman di sekitar bahan-bahan organik. Tapi, kita tak pernah tahu hasilnya bagaimana nanti.

Apa yang masih bikin anda penasaran ketika mengamati fashion?
Pertanyaan-pertanyaan tentang pakaian neutral gender—bagaimana ini mengubah struktur harga barang? Bagaimana kita menilai teknologi yang menempel pada busana? Apa dampak globalisasi pada busana regional? Fashion adalah ekspresi kehidupan, kita harus memperhatikan berbagai hal yang muncul saat bicara tentang fashion, entah yang berhubungan dengan ekonomi, politik, sosial dan lingkungan hidup.