Dikotomi Selera ‘Gedongan vs Kampungan’, Warisan Jurnalisme Musik di Indonesia

Majalah Aktuil vs dangdut, sengketa selera musik

“Jikalau dikatakan jurnalisme musik di Indonesia itu mati, sebenarnya tidak juga. Jurnalisme musik dalam pengertian menulis dan memberikan informasi mengenai musik dan peristiwa di sekitarnya, masih hadir menemani keseharian kita.” — Idhar Resmadi (2018).


*Catatan Redaksi VICE:

Videos by VICE

Sebuah buku dengan tema langka terbit akhir 2018. Buku yang fokus membahas musik, ditulis orang Indonesia sendiri, jumlahnya cukup minim di Tanah Air. Lebih-lebih bila tema yang diangkat adalah sejarah jurnalisme musik Indonesia—tak ada yang pernah menerbitkan naskah macam itu jadi buku dikemas populer. Kecuali yang tersimpan rapi di rak perpustakaan sebagai naskah akademis dan kecil kemungkinannya dapat menjumpai pembaca awam.

Idhar Resmadi menempuh jalan sunyi, menghadirkan buku yang langka tersebut, nukilannya bisa kalian baca di bawah. Karya ini diberi tajuk Jurnalisme Musik Dan Selingkar Wilayahnya, membahas secara tuntas berbagai kiprah media musik, peran kritikus, hubungan timbal-balik antara media dan industri musik, serta dampak kehadiran jurnalisme macam itu terhadap budaya populer di Tanah Air. Arsip yang ia kumpulkan merentang sejak era sebelum kemerdekaan.

Idhar, mantan jurnalis Trax dan bertahun-tahun mengelola majalah legendaris Ripple, dalam 197 halaman buku ini telaten menjabarkan tak hanya sejarah, namun sekalian berbagai pernak-pernik jurnalisme musik yang berkembang di Indonesia. Jurnalisme Gonzo—ciri khas liputan Rolling Stone—yang mempengaruhi banyak liputan musik Indonesia, disinggung pula oleh Idhar dalam satu bab khusus.

Untuk perkara sejarah, arsipnya lumayan komprehensif, kendati masih terbuka kemungkinan untuk dilengkapi. Ia memulainya dari majalah musik Caesillia yang terbit di Kota Malang, di masa Hindia Belanda, berlanjut ke Diskorina yang terbit di Yogyakarta pada 1961, hingga akhirnya mencakup raksasa klasik macam Aktuil yang disebut Idhar sukses “membentuk opini dan selera massa, terutama jika berbicara tentang musik rock” bagi anak muda kelas menengah Indonesia era 1970-an.

Buku ini kemudian menukik ke abad kiwari, ketika kekuasaan jurnalisme cetak nyaris berakhir. Idhar mengajukan beberapa tesis optimis, tentang semangat macam apa yang membuat apresiasi musik dalam balutan jurnalisme tidak akan mati, sekalipun mayoritas media massa beralih ke format digital.

Dari berbagai pembahasan tersebut, satu anak bab menarik perhatian redaksi VICE. Bagian yang dimaksud mengulas warisan bias kelas akibat framing media ketika memandang selera musik di negara ini. Khususnya, diskriminasi berlebihan yang diterima dangdut ataupun musik pop melayu. Warisan tersebut, jika kita lacak, terus bertahan sampai era media sosial. Contohnya berbagai sentimen anak yang mengklaim punya selera “indie”, ketika mencibir musik yang dirasa punya derajat lebih rendah. Komentar itu terpacak di kolom komentar Youtube macam: “yang dislike pasti penggemar dangdut koplo/young lex/dll”.

Dikotomi itu berhasil diuraikan oleh Idhar, sampai ke akarnya. Idhar dengan cukup berani menempatkan Aktuil sebagai salah satu tersangka utama yang mengusung bias kelas menengah perkotaan saat mengulas musik (atau dibahasakan sebagai selera ‘gedongan’). Rock, bagi Aktuil, adalah musik terbaik dan genre lain hanyalah catatan pelengkap. Selera gedongan itu kemudian dipertentangkan sebagai “yang lebih keren” dibanding musik melayu (Aktuil juga yang pertama menujulukinya sebagai dangdut) serta penggemarnya yang dikotakkan sepihak sebagai ‘kampungan’. Diskriminasi ini tadinya berdiam di lembaran majalah, meluber jadi sengketa terbuka. Khususnya saat Benny Soebardja—gitaris band rock Bandung Giant Step—menjuluki dangdut sebagai musik tai anjing dan memicu balasan sengit dari Raden Haji Oma Irama.


Tonton dokumenter VICE tentang boyband K-Pop paling kontroversial, karena semua personelnya tak ada yang warga negara Korsel:


Pertentangan selera ini belum mulus dijembatani sampai sekarang. Setidaknya materi buku Idhar ini memberi perspektif menarik bagi pengelola media: jangan anggap sepele jurnalisme musik. Ketika jurnalisme budaya pop mengusung bias kelas, dampak kulturalnya bisa bertahan begitu lama. Karenanya opsi menyajikan jurnalisme inklusif, atau sekalian mempertegas bias kelas tadi, akan terus jadi pergulatan pengelola media musik Abad 21 di Indonesia.

Satu anak bab perkara lahirnya debat soal selera ini bisa kalian simak di bawah, atas izin Idhar dan penerbit. Ditambah berbagai pembahasan menarik di dalamnya, redaksi VICE percaya buku Idhar patut dibaca siapapun yang menggemari dan peduli pada musik Indonesia.

1547795041987-Screen-Shot-2019-01-18-at-140318
Kolase oleh staf VICE. Foto dari Kepustakaan Populer Gramedia dan arsip pribadi Idhar Resmadi.

Bagaimana Peran Media Musik Membangun Selera Anak Muda di Indonesia?

Berbicara tentang hubungan antara selera dan kuasa simbolis, bisa kita lihat dari analisis tentang “kampungan-gedongan” di Aktuil dan Rolling Stone Indonesia yang ditulis Emma Baulch (2010, 2016). Lewat dua media musik terbesar di Indonesia itu, kita bisa melihat bagaimana kuasa simbolis memiliki pengaruh dan peran besar di masyarakat Indonesia, terutama selera kelas menengah.

Istilah “kampungan-gedongan” muncul ketika terjadi gesekan sosial di antara kelas menengah di Indonesia yang direpresentasikan melalui selera musik pada kurun 1960-1970-an di Indonesia. Proses perubahan sosial terjadi sangat signifikan di masyarakat Indonesia terutama masa menjelang berakhirnya Orde Lama dan mulai berkuasanya Orde Baru. Representasi media musik, terutama Aktuil, kita bisa simak sebagai bagian dari proses pembentukan selera kelas menengah yang terjadi pada saat itu.

Kontestasi dua selera musik, terutama musik rock dan pop yang datang dari barat dianggap mewakili selera musik kaum “gedongan”, dan musik dangdut/melayu yang merupakan musik hibridasi timur dari India dan Melayu, dianggap representasi selera kaum “kampungan”. Musik “gedongan” memiliki citra positif dan terdidik karena datang dari barat dibandingkan musik “kampungan” yang dianggap vulgar dan seronok yang tecermin dari lirik dangdut. Dari istilah tersebut bisa terlihat kontestasi selera yang terjadi di kelas menengah, terutama pada kaum muda Indonesia.

Penekanan media musik terhadap selera dan kelas, misalnya, dianggap sebagai representasi dari kontestasi dua kelas di atas. Seperti yang dinyatakan oleh Baulch (2010) sebagai berikut:

“Rather than as a reflection of existing social entities or naturally occurring middle-class a-populism, pop genre distinctions and their attendant kampungan–gedongan dimensions are more usefully considered in a context in which print media have played a crucial role in building, and continuously reinforcing, a myth of class.”

Pada masa kontestasi antara rock dan dangdut, muncul istilah “Kampungan versus Gedongan”. Muncul gesekan sosial di antara anak muda di Indonesia yang direpresentasikan melalui selera musik. Musik rock dan pop yang datang dari barat dianggap mewakili selera musik kaum “gedongan” atau kaum orang berduit. Biasanya konsumsi musiknya lebih kepada segala sesuatu yang gaul dan keren yang datang dari Barat.

Mereka meniru dan mengidolakan band-band rock Barat. Band-band rock Indonesia kemudian mulai bermunculan seperti misalnya Godbless, The Giant Step, Panbers, dan masih banyak lagi. Musik “gedongan” memiliki citra positif dan terdidik. Mereka mampu membeli alat musik termutakhir dan rekaman-rekaman album baru dari luar negeri. Mereka orang “berpunya” (the haves).

Sebaliknya, ada istilah “Kampungan” sebutan untuk penggemar musik dangdut. Dangdut adalah musik pinggir jalan, warung, kampung, dan lapangan. Musik “kampungan” ini dianggap lebih vulgar dan seronok yang tercermin dari lirik dangdut. Penggemar musik dangdut datang dari kalangan orang tak berpunya ( the have not) dan secara sosial termarjinalkan karena dianggap pemuda miskin, pengangguran, pemalas, pemabuk, suka berjudi, dan hal-hal negatif lainnya. Dari istilah tersebut bisa terlihat kontestasi selera yang terjadi di kelas menengah, terutama pada kaum muda Indonesia.

Pembentukan selera tersebut tentu tidak datang begitu saja. Salah satu pembentuk selera yang muncul pada masa itu adalah media massa cetak terutama majalah-majalah remaja dan koran-koran populer. Media massa punya peran besar dalam mengonstruksi identitas dan selera anak muda kelas menengah di Indonesia. Pada masa itu media musik cetak rasanya punya peran sangat besar dalam membangun identitas anak muda kelas menengah di Indonesia karena satu-satunya akses informasi hanya melalui media massa. Terutama Majalah Aktuil yang punya peran besar dalam membangun opini tentang kedigdayaan musik rock di anak muda. Lewat permainan selera, kita bisa melihat bagaimana segregasi kelas menengah tercipta dari cara media mengonstruksi selera.

Artikel-artikel koran dan majalah sepanjang 1970-an, yang tidak akan pernah terbaca oleh sebagian besar penggemar dangdut, terselip di antara iklan produk-produk dari mulai alkohol mahal, hotel mewah, golf, dan peralatan elektronik canggih yang notabene tidak akan dikonsumsi oleh penggemar dangdut. Massa yang menjadi khalayak dangdut umumnya dibayangkan secara negatif sebagai tidak berpendidikan, bodoh, dan irasional. Mereka dipandang tidak mau bertindak bersama-sama secara terorganisir. Mereka dituduh selalu susah diatur dan beringas (Weintraub, 2012).

Media musik punya peran dalam kuasa simbolis terutama lewat strategi pembentukan selera. Kita bisa lihat contohnya dari tulisan-tulisan musik yang dimuat Aktuil dan Rolling Stone Indonesia. Kedua media itu punya reputasi besar, sebagai salah satu modal simbolis, dalam “menularkan” seleranya kepada pembacanya. Strategi pembentukan selera ini bisa disimak dari ulasan-ulasan yang ditampilkan di kedua media musik tersebut.

Seperti yang dikatakan oleh Remy Sylado, Aktuil selalu menampilkan musik-musik dengan cita rasa barat – atau yang disebutnya propaganda budaya barat. Kita bisa melihat bagaimana modal kultural yang dibangun oleh para awak Aktuil memang membentuk cita-rasa yang kebarat-baratan. Modal kultural yang dimiliki para penggagasnya membentuk persepsi mereka akan musik rock barat yang keren dan penuh pemberontakan yang termanifestasi dalam tulisan-tulisan Aktuil. Modal-modal tersebut misalnya, bagaimana Aktuil dipengaruhi majalah-majalah impor dan juga modal sosial yang dibangun oleh Denny Sabri dengan musisi rock luar negeri terutama band Deep Purple.

1547797878793-Aktuil-1
Foto edisi lama Aktuil dari arsip pribadi Idhar Resmadi.

Tulisan-tulisan yang ada di Aktuil merepresentasikan selera mereka terhadap musik rock barat, tak semata karena persoalan subyektivitas semata. Akan tetapi, mereka juga mencerminkan sebuah kuasa simbolis kelas menengah yang mencoba melawan segala tatanan budaya lewat selera yang mereka konsumsi dari barat seperti fesyen, rambut, ideologi, hingga gaya hidup.

Seperti yang diungkapkan oleh seorang pembaca Aktuil, Andy Julias, dalam film dokumenter Untuk Kaum Muda (For The Youngsters (2003), membaca Aktuil membuat mereka merasa sangat keren sebagai anak muda. Aktuil berhasil menjadi patron selera untuk anak muda. Hal itu menunjukkan bagaimana Aktuil telah berhasil menjadi representasi kuasa simbolis sehingga anak muda kalau ingin keren dan gaul wajib membaca Aktuil. Tanpa disadari, Aktuil terus menegaskan posisi mereka dalam kontestasi kebudayaan melalui cibiran terhadap musik dangdut dan pop. Akhirnya dalam representasi kuasa simbolis itu dangdut di cap sebagai musik kampungan, musik kelas bawah, dan bukan selera anak muda kelas menengah.

Strategi pembentukan selera ini juga terus dilakukan oleh media-media musik di Indonesia bahkan setelah Aktuil bubar pada 1981. Akhirnya, kalau saya perhatikan media-media musik yang muncul setelah Aktuil, kebanyakan adalah media-media yang menyuguhkan musik barat terutama musik pop dan rock sebagai bagian dari identitas budaya anak muda kelas menengah di Indonesia sebagai pasar paling besar. Salah satunya, adalah Rolling Stone Indonesia yang boleh dikatakan melanjutkan “tradisi” Aktuil dalam menyebarkan selera musik kelas “gedongan”. Sebagai pengecualian, Tabloid Dangdut pernah terbit pada tahun 1995. Sayang, tidak bisa bertahan lama.

Pembentukan selera dalam konteks kontestasi kelas ini terlihat dari bagaimana upaya Rolling Stone Indonesia mewacanakan musik pop-melayu yang muncul di industri musik Indonesia pada tahun 2000-an. Pop-melayu merupakan salah satu musik “kampungan” terutama turunan dari musik melayu lewat gaya vokal cengkoknya. Pada pertengahan tahun 2000, band-band pengusung pop-melayu seperti Kangen Band, ST12, Hijau Daun, dan Radja mendominasi industri musik Indonesia. Hal ini semakin didorong oleh masifnya penggunaan ring back tone (RBT) dan acara musik pagi hari seperti Dahsyat dan Inbox.

Baulch (2010) menegaskan Rolling Stone Indonesia menunjukkan selera kelas menengah atau kaum gedongan dalam setiap ulasannya. Karena kemudian porsi ulasan musik “gedongan” punya porsi lebih banyak dibandingkan dengan musik-musik pop-melayu yang sedang merajai industri musik Indonesia.

Salah satu edisi bulan Maret 2009, Rolling Stone Indonesia pernah membahas fenomena musik pop-melayu. Rolling Stone Indonesia mencitrakan musik pop-melayu meski memiliki kesuksesan secara komersil tapi tetap dipandang sebagai musik yang memiliki estetika rendahan karena kualitas musikal, dan terutama lirikal, yang dianggap buruk. Berjayanya musik pop-melayu justru dianggap sebagai titik rendah industri musik Indonesia dari segi kualitas. Hal ini sangat berbeda, misalnya, ketika mereka melakukan pembingkaian ( framing) terhadap musik-musik indie semacam Sore dan Efek Rumah Kaca yang dianggap “menyelamatkan” musik Indonesia dari dekadensi.

Hal itu tentu tak bisa dilepaskan dari modal sosial dan kultural para awak redaksi Rolling Stone Indonesia dan posisi mereka dalam medan sosial yang adalah manajer band rock, musisi band metal, menjadi kolektor rekaman, hadir di festival dan konser di luar negeri, hingga aktif di beragam komunitas musik indie. Hal ini juga berlaku pada pembaca Rolling Stone Indonesia, WhiteboardJournal, dan VICE, yang tentu akan mengesampingkan informasi dan tayangan musik dari Inbox dan Dahsyat.

Selera, akhirnya memang sangat dipengaruhi interaksi sosial kita. Urusan selera juga akhirnya tak hanya menyoal enak atau tidak enak, keren tidak keren. Lebih jauh, selera juga bisa kita lihat sebagai salah satu pembentuk kelas dan medan sosialnya. Ulasan musik adalah salah satu contoh bagaimana selera direpresentasikan dan dimanifestasikan sebagai suatu bentuk kuasa simbolis.


Buku “Jurnalisme Musik Dan Selingkar Wilayahnya” diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia. Klik tautan ini untuk mendapatkan bukunya.