Hampir semua video pada akun Instagram pribadi Hisao Inagaki memiliki thumbnail atau sampul yang serupa. Diplomat Jepang di usia kepala enam itu menatap ke arah kamera dengan senyum tipis terlukis di wajahnya. Inagaki mengenakan kemeja polos atau garis-garis. Rambut hitamnya terbelah rapi ke kiri. Di akhir video, dia memperlihatkan bangau kertas sambil mendoakan agar semua orang sehat selalu.
Sudah setahun lebih dia membuat video-video ini dengan tekun, sejak pertama kali dia diangkat menjadi Konjen Jepang di Seattle. Inagaki tak pernah melewatkan satu hari pun untuk merekam pesan yang ingin disampaikan.
Videos by VICE
Inagaki mengaku idenya muncul ketika dia memikirkan cara untuk berinteraksi dengan komunitas lokal di Seattle. Pandemi menghalangi sang diplomat untuk menggelar jamuan makan malam dan menghadiri kegiatan sosial. Berhubung semua aktivitas dilakukan secara daring, dia merasa harus melakukan sesuatu agar bisa tetap menjalin koneksi secara virtual.
Awalnya, hanya segelintir yang menonton video Inagaki. Namun, seiring berjalannya waktu, jumlah penontonnya terus bertambah. Dia pun semakin sering menerima pesan hangat dan pujian.
“Pengikut saya berkomentar ‘Terima kasih,’ ‘Saya menghargai ini’ atau pesan-pesan yang menyemangati saya untuk melanjutkannya,” kata Inagaki saat berbicara kepada VICE World News lewat Zoom. Latar belakangnya penuh hiasan bangau kertas ciptaannya.
Para penontonnya sekarang bukan dari Seattle saja, tapi juga ada di negara lain. Beberapa dari mereka fokus pada gaya berpakaiannya.
“Looking like a boss (Kayak bos banget, nih),” bunyi salah satu komentar. “Looking fresh as fuck, Hisao (Seger abis penampilannya, Hisao),” pengguna lain berkomentar pada postingan hari ke-365 yang menampilkan Hisao dalam balutan jas.
Walaupun isi pesannya sama saja, dia memastikan cara penyampaiannya oke. Dia bisa merekam lima sampai 10 kali untuk mendapatkan hasil yang paling bagus.
“Saya mencampuradukkan kata, atau ngomong berantakan. Biasanya di video terakhir, saya akan memutuskan ‘Ini sudah cukup bagus’ dan mengunggahnya,” tutur Inagaki.
Dia memilih orizuru (bangau kertas) bukan tanpa alasan. Origami satu ini merepresentasikan penyembuhan dalam kebudayaan Jepang.
Origami atau seni melipat kertas adalah aktivitas favorit anak-anak di Jepang. Sama seperti Inagaki, mereka belajar membuat bangau kertas sejak SD. Dalam cerita rakyat Jepang, burung bangau melambangkan umur panjang karena diyakini bisa hidup sampai 1.000 tahun.
Namun, gagasan bangau kertas adalah simbol penyembuhan terinspirasi dari kisah Sadako Sasaki, bocah dua tahun yang selamat dari bom atom Hiroshima. Ketika didiagnosis leukemia pada usia 12, dia melipat 1.000 bangau kertas dengan harapan bisa sembuh. Dia dikabarkan membuat sekitar 1.300-1.500 orizuru selama dirawat di rumah sakit. Akan tetapi, dia meninggal dunia delapan bulan kemudian. Kenangan Sasaki diabadikan di Museum Peringatan Perdamaian Hiroshima. Setiap tahun, kota itu menerima jutaan bangau kertas dari seluruh dunia untuk mengenangnya.
Sewaktu masih di sekolah dasar, Inagaki dikasih orizuru saat dia menjalani pengobatan myelitis di rumah sakit. Peradangan pada sumsum tulang belakang melumpuhkan bagian bawah tubuhnya, tapi dia sembuh total setelah enam bulan.
Dia berharap bisa melanjutkan pesan perdamaian ini. “Saya melipat bangau kertas sambil mendoakan kesehatan semua orang,” ujarnya. Menurut Inagaki, mungkin karena alasan inilah ekspresi wajahnya tak pernah berubah.
Sebelum bekerja di Seattle, Inagaki menjabat sebagai Konjen Jepang di Washington D.C. dan Chicago, ikatan dinas yang berlangsung delapan tahun demi menjaga hubungan baik Jepang dan Amerika Serikat.
Orang biasanya akan berhenti setelah mereka merampungkan bangau kertas ke-1000, tapi Inagaki berniat untuk terus membuat origami.
“Beberapa pengikut mungkin akan bosan melihat saya bikin bangau kertas yang sama setiap hari. Sejujurnya, sudah ada yang berhenti mengikuti saya karena alasan ini. Tapi masih ada orang-orang yang tidak mem-follow dan menikmati konten saya,” simpulnya.