Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui rapat paripurna pada 30 Juni 2022, menyetujui pengesahan rancangan undang-undang (RUU) mengatur pendirian tiga provinsi baru yang seluruhnya berada di Pulau Papua. Dengan tambahan Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Pegunungan Tengah, alhasil kini terdapat 37 provinsi di wilayah Indonesia secara keseluruhan.
Rapat tersebut dipimpin oleh Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, dari Fraksi Gerindra. “Setelah kita mendengarkan pendapat semua fraksi, apakah RUU tentang Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan Tengah dapat disetujui menjadi undang-undang?” ujar Sufmi, dikutip dari siaran akun Youtube Baleg DPR RI.
Videos by VICE
“Setuju…” jawab anggota DPR yang hadir dalam sesi paripurna.
Rencana pemekaran tiga provinsi baru di Papua ini bergulir sejak 2021, dan segera memicu kritik dari pegiat HAM maupun perwakilan masyarakat adat. Majelis Rakyat Papua (MRP), bersama Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) tahun lalu telah menggugat RUU yang diberi nama Daerah Otonomi Baru Papua itu ke Mahkamah Konstitusi. Proses sidangnya, termasuk meyorot revisi UU Otonomi Khusus Papua, masih berlangsung saat RUU DOB disahkan oleh DPR.
“Pemerintah menggebu-gebu, mengabaikan proses di MK. Pemerintah hari ini menunjukkan pengelolaan yang sangat buruk terhadap Papua,” ujar Ketua Majelis Rakyat Papua Timotius Murib saat dikonfirmasi Tempo.co.
Sehari sebelum paripurna berlangsung, keterangan resmi dirilis oleh Solidaritas Organisasi Sipil (SOP) untuk Papua, beranggotakan 10 organisasi yang menolak RUU DOB. Pemekaran tiga provinsi baru diyakini SOP dapat memicu konflik sosial di akar rumput, terutama antar masyarakat adat. Gabungan organisasi ini menuntut Presiden Joko Widodo membatalkan pemekaran tiga provinsi tersebut, sampai ada putusan lebih lanjut dari MK mengenai revisi otsus.
Dalam revisi UU Otsus Papua yang diteken presiden pada 19 Juli 2021, proses pemekaran tidak lagi perlu meminta persetujuan Majelis Rakyat Papua. Hal ini dipersoalkan banyak kalangan sebagai manipulasi semangat otsus. Demonstrasi sepanjang Mei lalu juga telah berlangsung di Surabaya, Malang, serta Jakarta digelar organisasi mahasiswa asal Papua yang menolak RUU DOB.
SOP, melalui keterangan tertulis, menilai pemekaran tiga provinsi anyar di Papua ini tidak mewakili aspirasi rakyat Papua, melainkan hanya untuk melayani segelintir aktor politik lokal. “Pemerintah pusat terus merumuskan kebijakan DOB dengan dasar ada dukungan dari beberapa elit politik Papua,” ujar perwakilan SOP.
Dalam konfirmasi terpisah, seperti dilansir Kompas.com, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengklaim usulan pembentukan tiga provinsi baru ini justru datang dari kepala daerah, tokoh adat, serta tokoh agama asal Papua saat menghadap ke Presiden Joko Widodo dua tahun lalu.
Tito menyatakan tujuan pemekaran ini adalah pemerataan ekonomi. Selain itu, dengan adanya provinsi baru, maka lebih besar kemungkinan orang asli Papua menjadi pegawai negeri di tiga wilayah yang baru saja terbentuk. Meski begitu, Mendagri Tito mengakui adanya ketidakpuasan yang bisa berujung konflik terbuka dalam waktu dekat.
“Saya minta semua tokoh [Papua] bisa [memahami], kan enggak mungkin akan memuaskan semua pihak,” ujar Tito saat diwawancarai media di komplek DPR, Jakarta Pusat, selepas rapat paripurna. “Tapi [rencana pemekaran Papua] ini sudah panjang, diskusi dilakukan, komunikasi juga dilakukan.”
Direktur Eksekutif Amnesty Internastional Indonesia Usman Hamid termasuk yang mengkritik kengototan pemerintah serta DPR membentuk tiga provinsi baru di Papua. Alasannya, rencana pemekaran ini tidak memikirkan dengan matang batas tujuh wilayah adat dalam tiga provinsi anyar tersebut. Potensi konflik paling besar ada di Papua Tengah, yang nantinya beribukota di Nabire.
Usman mencontohkan tanah adat Mee Pago, La Pago, serta Anim Ha, akan dirugikan karena kini justru terbagi-bagi dalam provinsi berbeda. “Ini tidak serta merta sesuai kesatuan sosial budaya,” tandasnya.
Dalam skema DOB, Provinsi Papua Selatan ibu kotanya berlokasi di Merauke. Adapun Provinsi Papua Tengah ibu kotanya dipilihkan oleh pusat di Nabire, sekalipun Kota Timika yang menjadi lokasi operasi Freeport jauh lebih maju secara infrastruktur. Terakhir Provinsi Provinsi Papua Pegunungan Tengah akan memiliki ibu kota di Wamena. Nama tiga provinsi anyar di Papua itu nantinya bisa diubah sesuai dengan wilayah masyarakat adat.
Merujuk laporan BBC Indonesia, tokoh masyarakat setempat menyatakan sudah terjadi konflik di akar rumput akibat DOB. Kesaksian itu misalnya disampaikan oleh Pendeta Dora Balubun selaku Perwakilan Sinode Gereja Kristen Indonesia (GKI) Papua.
“Perpecahan juga terjadi bagaimana masyarakat adat di Nabire menyatakan mereka bergabung dengan provinsi induk Papua, dan tidak mau bergabung dengan provinsi baru,” ujar Pendeta Dora dalam konferensi pers virtual.