Ilustrasi perempuan berada di dalam ruangan rapi. Perempuan itu terlilit rantai
Ilustrasi: Sarah Fabre
Perfeksionisme

Gagal Itu Biasa, Kamu Bukanlah Pecundang

Sifat perfeksionis yang selalu saya bangga-banggakan nyatanya menjadi penghambat terbesar saya untuk berkembang.
Nadia Kara
Antwerp, BE
SF
ilustrasi oleh Sarah Fabre
Marseille, FR
AN
Diterjemahkan oleh Annisa Nurul Aziza
Jakarta, ID

Meja kerjaku sudah rapi. Secangkir kopi panas tersaji di samping laptop. Kepulan asapnya menguarkan aroma segar yang bisa meningkatkan konsentrasi. Saya tinggal duduk manis dan menuangkan buah pikiran melalui ketikan jari.

Idealnya sih begitu. Di saat mengusulkan ide artikel ini pun, saya yakin 100 persen tulisan bakal selesai secepat kilat. Artikel ini relate dengan kehidupan sehari-hari saya. Pasti gampil mengerjakannya. Namun dalam praktiknya, membongkar kelemahan diri sendiri ternyata susah juga.

Iklan

“Saya orangnya teliti dan cermat” adalah senjata utama saya sejak awal masuk dunia kerja. Bagi saya, dua kelebihan itu patut ditonjolkan. Saya mampu menyelesaikan tugas dengan maksimal. Tak jarang pula saya menyerahkan hasilnya sebelum tenggat waktu. Bukan hal aneh lagi jika saya langganan mencetak rekor kinerja terbaik.

Saya rasa bibit-bibit sifat perfeksionis mulai tumbuh ketika saya masih bocah ingusan. Saya takut mengecewakan orang lain, apalagi ayah ibu. Saya ingin mereka bangga memiliki anak seperti saya. Makanya saya berambisi menjadi juara kelas. Nilai saya harus sempurna. Saya malu kalau cuma mendapat nilai sembilan. Andai saja saya belajar lebih giat seperti kata orang tua, rapor saya pasti jauh lebih bagus. Saya hanya bisa minta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahan itu lagi.

Yap, hal paling menakutkan bagi seorang perfeksionis yaitu melakukan kesalahan. Saat ketakutan itu menjadi kenyataan, kamu mudah sekali jatuh ke dalam lubang keputusasaan. Kamu terus menyalahkan diri sendiri, mengutuk kebodohan yang sudah kamu lakukan, dan menganggap dirimu tidak berguna. Kamu seharusnya berusaha lebih keras, mendengarkan nasihat orang, dan tidak malas-malasan.

Iklan

Saya mengerti betapa sakitnya mengalami kegagalan, sehingga saya tak pernah lelah mengejar kesempurnaan. Rasanya sungguh luar biasa dipuji-puji berkat prestasi yang kuraih. “Tuh kan, mama papa benar. Kamu anak pintar. Nilaimu pasti bagus kalau rajin belajar,” kata orang tuaku.

“Kita cenderung mengukur nilai diri dari prestasi yang kita miliki saja. Percayalah, itu jebakan perfeksionisme!” kata coach Yasmina Hajoui memperingatkanku. Kamu bersikeras bisa berbuat lebih baik lagi, makanya kamu tidak pernah puas dengan semua pencapaianmu. Kamu tidak dapat menghargai kesuksesan pribadi.

“Biasanya ada masalah harga diri yang bersembunyi di balik keyakinan ini. Orang perfeksionis merasa mereka tidak pantas dicintai,” lanjutnya. Alhasil, kamu sibuk mencari validasi sampai melupakan jati diri. Kamu mengorbankan siapa dirimu yang sebenarnya karena takut tak sesuai harapan orang lain.

“Perfeksionisme sebetulnya mekanisme bertahan hidup. Di lubuk hati paling dalam, kita semua tidak suka dikucilkan,” ujar Yasmina. “Manusia mempunyai insting berbaur dengan orang lain demi bertahan hidup, jadi kita bakalan panik kalau merasa tidak diakui. Hal itu bisa bikin kita haus validasi eksternal, yang kemudian mendorong kita untuk memenuhi ekspektasi orang lain, entah nyata atau tidak.”

Iklan

Untuk saya pribadi, ada semacam ilusi kalau saya bisa mengendalikan hidup dengan bersikap perfeksionis. Hidup baru terasa lengkap dan aman bila saya menjadi yang terbaik. Setiap orang, kecuali saya, boleh melakukan kesalahan. Hidup adalah kompetisi, dan hanya ada kata M-E-N-A-N-G dalam kamusku.

Pada kenyataannya, kamu justru akan tersiksa jika ngoyo tampil sempurna. Bukan sekadar menyebabkan stres, sifat ini pun dapat memicu timbulnya depresi, gangguan makan hingga kecanduan. Orang perfeksionis bahkan rentan terserang penyakit lantaran terlalu memaksakan diri.

Ironisnya, walaupun prestasi saya cemerlang, saya tidak jago dalam hal apa pun karena takut mengambil risiko. Bagi saya, mencoba tantangan baru adalah keputusan nekat. Lebih baik saya tidak melakukannya sekalian daripada gagal di kemudian hari. Belajar dari kesalahan tidak berlaku untukku.

Yasmina mengatakan, orang perfeksionis sulit menerima kegagalan. Tapi lucunya, kamu jadi enggak bisa ngapa-ngapain gara-gara perasaan itu. Saya sendiri contohnya. Saya tidak berani keluar dari zona nyaman, dan kerap ragu-ragu saat mengambil keputusan. Saya mesti “mempersiapkan mental” sebelum memulai sesuatu. Akibatnya saya menunda pekerjaan sampai saya merasa benar-benar sudah siap.

Iklan

Yasmina lebih lanjut menerangkan, sifat perfeksionis bisa muncul dari awal anak-anak belajar beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Pada dasarnya, anak kecil memiliki keingintahuan tinggi. Mereka melihat dunia dengan bebas, tanpa rasa khawatir. Jika sejak dini anak sudah tidak dapat mengeksplorasi jiwa kanak-kanaknya, besar kemungkinannya mereka tumbuh menjadi sosok perfeksionis. “Sedikit demi sedikit, ‘free child’ bakal kalah oleh keinginan menjadi anak baik, yang berperilaku sesuai harapan orang dewasa di sekitar mereka,” tuturnya. Itulah sebabnya Yasmina selalu membantu klien membangkitkan kembali jiwa free child mereka yang sudah lama terkubur.

Saya tahu ayah ibu menginginkan yang terbaik untukku. Sayangnya, ketika orang tua memaksakan kehendaknya padaku, saya tanpa sadar mewarisi trauma semasa kecil mereka. Kakek nenek dari pihak ibu punya banyak anak, sehingga hidup ibu pas-pasan. Sejak masih muda ibu dituntut membantu keluarga. Sementara itu, ayah yang lahir di masa perang, banting tulang di perantauan guna memperbaiki nasib. Jalan hidup ayah tidak selalu mulus sebab beliau pendatang dari kelompok minoritas. Wajar ayah ibu berharap saya tidak bernasib sama seperti mereka, tapi harapan mereka kebablasan.

Obsesi kesempurnaan kian menjadi-jadi di dunia kapitalis. Kita dituntut senantiasa produktif seraya bersaing untuk memberi kontribusi terbesar. Jangan harap orang yang biasa-biasa saja bisa keluar sebagai pemenang. Kamu juga akan merasa malu tidak punya kehebatan.

Iklan

“Kita sering lupa, hidup ini penuh pilihan. Kita enggak perlu mengikuti semua tuntutan zaman,” kata Yasmina. “Kita berhak menentukan sampai mana batas yang bisa kita lakukan. Sayangnya, kita ragu bikin keputusan karena takut ini itu, padahal keputusan itu bisa saja bermanfaat buat kita.”

Sebelum menyadari saya perfeksionis, saya sering memforsir diri untuk mencapai target. Saya tidak tahu kapan waktunya berhenti, kapan waktunya istirahat. Saya akan terus bekerja keras hingga mendapatkan hasil yang kuinginkan. Pikirnya, bakal ada yang menghentikanku kalau saya sudah kelewat batas. Saya lupa kalau saya sendirilah yang seharusnya menginjak rem. Semua yang terjadi pada diriku adalah tanggung jawabku. 

Saya harus menelan kenyataan pahit sekitar tiga tahun lalu. Saya didiagnosis mengidap depresi dan gangguan kecemasan. Butuh bersesi-sesi terapi sampai akhirnya saya tersadar sifat perfeksionis tidak sehat, dan pola asuh orang tua memengaruhinya.

Proses pemulihannya panjang. Saya malah sempat mengalami burnout di tengah jalan. Pada saat itulah saya baru paham maksudnya susah bangun dari kasur. Dahulu kala, saya mengira orang yang ngomong begitu mengada-ada saja.

Badan saya rasanya susah digerakkan, sedangkan otak bagaikan menemui jalan buntu. Melihat tumpukan piring kotor saja bisa bikin saya menangis kejer. Saya tidak mau keluar rumah. Serangan panik santapan sehari-hariku.

Iklan

Sekiranya tiga bulan saya habiskan di rumah, tidak ngapa-ngapain. Akan tetapi, di saat yang sama, mata batinku dibuka untuk melihat wujud asli perfeksionisme. Bimbingan terapis menyadarkanku, kemampuan dan harga diri saya bukan diukur dari seberapa hebat saya mengerjakan sesuatu. 

Jujur saja, mengubah pola pikir susah susah gampang. Terkadang masih suka muncul bisikan-bisikan kalau saya payah, dan semua orang memandangku demikian. Saya terus melatih diri hingga terbiasa mengabaikannya.

Perlahan-lahan, beban yang saya pikul terasa lebih ringan. Saya tidak lagi melihat sifat perfeksionis sebagai identitasku. Meski agak terpaksa, saya menerima fakta tidak ada manusia yang sempurna. Kegagalan tidak menjadikan saya seorang pecundang. Saya belajar menerima kekalahan, bukannya mengutuk diri karena salah. Kita bisa mencobanya lagi lain kali.

Proses pemulihan yang kujalani menekankan pentingnya bersenang-senang. “Kamu perlu memusatkan perhatian pada hal-hal yang betul-betul membuatmu bahagia,” terang Yasmina. “Kamu paling suka ngapain? Apa yang membuatmu bersemangat? Tidak ada salahnya melakukan sesuatu untuk dirimu sendiri.”

Walau begitu, saya tetap mengakui saya bisa bergerak sejauh ini karena adanya sifat perfeksionis. “Kamu sama saja menyangkal sebagian dari dirimu jika sepenuhnya memandang perfeksionisme secara negatif,” ungkapnya. Wajar, kok, kalau kamu ingin melakukan sesuatu semaksimal mungkin, tapi keinginan tersebut harus seimbang dan bersumber dari pola pikir sehat.

Merangkul ketidaksempurnaan berlaku untuk semua aspek hidup kita, bahkan saat menjalin asmara sekalipun. Pasanganmu baik hati dan penyayang, tapi ada sifatnya yang kurang cocok buatmu? Ya sudah, tidak apa-apa, yang terpenting kekurangan pasangan tidak mengganggu keharmonisan kalian.

Kamu pengin belajar menggambar, tapi tidak punya bakat seni? Coba sajalah dulu. Lama-lama gambarmu akan bagus juga kalau kamu telaten berlatih.

“Intinya, bayangkan masa depan secara realistis,” Yasmina menganjurkan. “Kamu akan lebih pede dengan kemampuanmu kalau kamu bisa menerima dirimu apa adanya. Seandainya kamu mengalami kegagalan, kamu masih bisa bangkit kembali dan mengatasi kesedihannya.”

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Belgium.