Amanda Sandova sudah menunggu saya di jalan poros utama Masamba–Malili sejak pukul 05.30 WITA, tepat setelah menunaikan ibadah salat subuh. Dia mengenakan sweater, membungkus tubuhnya dari terpaan angin pagi. Lokasi itu titik terbaik menjemput kenalan agar tidak kesulitan mencapai kampungnya, di Desa Ujung Mattajang, 13 kilometer dari tempat kami janji bertemu.
Setelah kami berbasa-basi singkat, dia memberikan helm, membuka bagasi motor, lalu memasukkan botol air mineral 1,5 liter yang saya bawa sebagai bekal. “Kaka yang membonceng [saya],” katanya. Beberapa kali kami tak bisa menghindari lubang menganga di aspal. “Jalannya banyak rusak, karena ada proyek irigasi. Jadi banyak truk lewat, itu kasi lubang jalanan.”
Videos by VICE
Jalanan pagi itu masih sepi. Sesekali lewat kendaraan membawa barang dagangan menuju pasar Kapidi. “Kita singgah di pasar dulu. Belok kiri,” perintah Amanda.
Ini pasar besar namun hanya buka tiga kali dalam sepekan. Di hari kami bertemu, 10 Desember 2021, pasar masuk jadwal menggeliat. Setelah mesin motor mati, Amanda turun cekatan dan berjalan cepat menyusuri jajaran toko yang baru bersiap buka. Saya terhuyung mengikuti langkahnya, karena 10 jam perjalanan di atas bus semalam membuat badan terasa remuk.
Dalam beberapa langkah, Amanda terlanjur memasuki pasar dan tak lagi terlihat. Seorang pria paruh baya mengenali saya sebagai seorang pengunjung baru di pasar itu, lantas menawari kursi untuk istirahat.
“Oh temannya Amanda,” katanya.
“Om kenal Amanda?”
“Iya. Semua orang kalau tinggal di Mappadeceng, sepertinya kenal dia.”
“Om tahu, kalau dia ratu?”
“Dia memang seperti ratu toh. Dia waria, tapi baik dan suka senyum sama orang-orang.”
Lelaki lain yang mendengar kami berbincang, mendekat. Mereka berdua saling berpandang, mengaku baru mengetahui jika Amanda menjadi ratu secara harfiah, setelah memenangkan kontes Miss Trans Global 2021.
Mereka berdecak kagum dan berucap syukur, karena Amanda berhasil mengharumkan nama kampung halamannya.
Perjalanan Amanda memenangkan kontes prestisius tingkat internasional bagi komunitas transpuan, dimulai akhir 2020. Dia melihat sebuah postingan akun resmi Miss Trans Global (MTG), isinya coba dia pahami melalui proses terjemahan google. Tak lama Amanda meminta Eman Memay Harundja—ketua Komunitas Sehati Makassar—menelaah pariwara itu bersama. Amanda tergerak mengikuti kontes yang hendak digelar MTG. Eman mendukung niatannya. “MTG bukan soal kontes ratu saja, tapi kampanye Hak Asasi Manusia dalam keberagaman. Saya tertarik sekali,” kata Amanda.
Eman membantunya mengisi formulir pendaftaran, hingga menjadi jembatan kebutuhan permintaan dari panitia pelaksana MTG. “Jadi kalau panitia MTG meminta video, atau foto, saya akan jelaskan ulang ke Amanda. Setelah itu, saya bikin lagi folder-foldernya, lalu kirim ke panitia pelaksana,” kata Eman.
Proses seleksi berlangsung sepanjang Februari hingga November 2021. Selama itu pula Amanda tekun dan penuh semangat melalui semua tahapan. Beberapa komunitas trans di Sulawesi Selatan memberi dukungan semangat. Tapi secara keuangan, Amanda mempersiapkan segala sesuatunya sendiri.
Dia membeli bahan, menentukan desain gaun, hingga menjahitnya sendiri. Dua gaun malam, gaun untuk pertemuan virtual, hingga gaun untuk kontes, semua hasil keterampilan tangannya. Amanda sampai membayar fotografer dan menyewa studio foto di Luwu Utara.
Untuk membuatnya lebih leluasa menceritakan gagasannya pada juri, seorang penerjemah bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia dimintanya terlibat.
“Penerjemahnya juga anggota komunitas Sehati Makassar, jadi sebenarnya seperti tidak membayar, saya hanya siapkan penginapan jika ada jadwal zoom,” kata Amanda.
Total, Amanda menghabiskan biaya sebesar Rp25 juta dari tabungan pribadinya. Nominal itu, baginya adalah risiko yang sepadan dalam melakukan kegiatan kampanye keberagaman.
“Kalau hanya untuk pemilihan ratu kecantikan, di Sulsel ada banyak kok kompetisi. Mau skala desa sampai provinsi sering diadakan,” kata Amanda.
“Gampang ji orang jadi model, nda perlu ajang internasional, jika hanya itu yang dikejar. Tapi ini soal bagaimana melihat keberpihakan kita pada semua manusia.”
Kegigihan itu, akhirnya berbuah manis. Malam pembacaan anugerah disiarkan langsung di kanal Youtube Miss Trans Global 30 November 2021 dari London, Inggris. Amanda menyaksikannya penuh gairah. “Awalnya saya pikir jam 10.00 (22.00) jadi saya sama keponakan dan Mamak tunggu untuk nonton, tapi tidak ada, jadi mereka tidur,” kata Amanda.
“Ternyata, pengumuman itu jam satu malam, jadi saya nonton sendiri di kamar. Saya tidak tidur. Pegang hape menunggu.”
Ketika namanya diumumkan masuk Top 9 Miss Trans Global—bersama wakil Filipina, Meksiko, India, Peru, Malaysia, Mauritius, Kanada, dan Jepang—Amanda begitu terpukau. Di momen pengumuman itu, dia menggunakan gaun putih yang dijahit dadakan dalam sehari.
Sembilan kandidat ini kemudian memperebutkan lima kategori; masing-masing juara utama Miss Trans Global, Miss Trans Global Africa, Miss Trans Global Asia-Pasific, Miss Trans Global Americas, serta Miss Trans Global Europe.
Amanda lalu berpindah ke ruang makan yang sekaligus dapur rumah. Gawainya di letakkan secara horizontal dan disandarkan di sebuah toples, sambil disambungkan ke daya listrik. Dia duduk dengan perasaan cemas. Saat kategori Miss Trans Global Asia-Pasific dibacakan, dia bersaing dengan wakil Jepang, Malaysia, Filipina, dan India.
Amanda dinyatakan menang. Dia hampir tak percaya. Sembari menutup mulutnya yang menganga seorang diri, badannya menghangat dan rasa kantuknya benar-benar telah hilang. “Senang sekali. Saya tidak sangka, saya pikir akan didapatkan oleh Jepang,” cetusnya.
Dia juga menyabet gelar lain sebagai Miss Trans Friendship dan Best National Crowning.
Seorang transpuan berusia 30 tahun, besar dari keluarga sederhana di kampung kecil wilayah transmigrasi Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, meraih reputasi internasional.
Amanda akhirnya keluar dari kerumunan orang yang mulai meriuhkan pasar. Dia membawa beberapa kantong kresek. Kami melanjutkan perjalanan, sekitar 5 kilometer lagi. Di sisi jalan itu, sungai Baliase meliuk di sisi kanan, muaranya menuju laut.
Semakin dekat kampung Amanda, jalanan mengecil. Hamparan sawah, jagung dan pohon kakao sepanjang jalan menjadi pemandangan. Banyak penduduk membangun rumah sarang burung walet, riuh ceriritnya terdengar selama 24 jam tanpa henti.
Dari boncengan belakang tempat Amanda duduk, dia menjulurkan tangannya ke depan sisi kiri saya, menunjukkan rumahnya, yang berhalaman luas dihiasi hamparan kerikil sungai. Terasnya kecil di penuhi pot berbagai jenis kembang. “Bukan saya yang rawat. Saya tidak suka bunga. Itu kakak dan mamak saya,” katanya.
Dia membuka sweater, menggantinya dengan daster yang bagian atasnya terbuka. Rambutnya yang panjang melewati bahu, dijepitnya terlipat dan menempel di bagian belakang kepala. Amanda pandai memasak dan kami makan bersama. Menjelang pukul 09.00 dia mandi. Sesudahnya dia duduk di depan kamarnya, yang terhubung dengan ruang tamu, membuka sebuah koper.
Dibagian dalam penutup koper itu terselip cermin. “Hanya mau pake alis dan pelembab bibir. Tidak dandan,” katanya.
“Dia lebih banyak alat riasnya, daripada saya,” kata Hajjah Kaya, mamaknya, sembari menyambut saya.
Amanda adalah bungsu dari tiga bersaudara. Ayahnya meninggal sejak lama. Bagi Kaya, Amanda anak yang penurut dan sopan. Dia perhatian dan peduli pada keluarga.
Kaya mengibaratkan Amanda, sebagai bagian lain jiwanya. “Dulu dia bisa tidak ikut salat idul fitri, untuk urus kakeknya, membantunya mandi dan membersihkan lukanya karena kena gula [penyakit diabetes],” tandas sang mamak. “Saya bersyukur punya Amanda.”
Amanda lahir di kabupaten Bone. Yusri, mendiang bapaknya, datang ke Mappadeceng pada 1993, dan mulai menetap setahun sesudahnya usai membeli beberapa petak lahan kakao. Dekade 1990-an adalah masa keemasan bisnis bahan baku coklat, sehingga para petani mendulang banyak keuntungan. Sebagai keluarga pemeluk agama Islam yang taat, pada tahun 2000 Yusri mendaftarkan diri ke kantor Departemen Agama agar bisa berhaji ke Arab Saudi.
Tahun 2001, Kaya lebih dulu berangkat haji, karena nama Yusri tak kunjung muncul di daftar. Selanjutnya pada Mei di tahun yang sama, Yusri Kembali lagi mendaftar haji untuk antrean tahun 2002. Tapi Yusri tiba-tiba sakit, enam hari dia terbaring, dan meninggal 11 Juni 2001. “Saya juga sudah tidak mau pergi. Tapi bapaknya [Amanda] suruh saya berangkat,” kata Kaya.
Kematian Yusri, bagi Kaya dan Amanda, membuat dunia berhenti sesaat. Beberapa petak kebun sempat tak terurus. Amir Yusri, anak sulung, memilih tak melanjutkan kuliah. Dia terjun mengolah lahan kakao lalu akhirnya merantau. Iskandar, anak kedua tetap berkuliah, dan kini menjadi apoteker.
Amanda yang masuk sekolah dasar lebih cepat, sudah menyelesaikan pendidikan SD tahun 2002. “Saya mau sekolah SMP, tapi tidak mau pake celana,” katanya.
Keluarga kebingungan. Seorang paman membujuk Amanda supaya mau pakai celana pendek khas anak SMP. Alasannya kalau tetap pakai rok, Amanda harus mendaftarkan diri sebagai perempuan. “Nanti kepala sekolah tahu, bagaimana. Kan masalah,” kata Amanda, menirukan ucapan sang paman.
“Saya bilang ke [Amanda] kalau tidak sekolah, hidupmu akan susah nanti,” kata sang ibu.
Tapi Amanda berkeras hati. Dia tak menempuh jalur pendidikan formal. Amanda lebih senang tinggal di rumah, belajar mejahit dan mengerjakan pekerjaan domestik. Belakangan dia mengejar program pendidikan paket B pada 2014, dan lulus kejar paket C tahun 2017.
Amanda mengaku sejak kecil sudah tahu mengolah lahan, meneruskan usaha keluarga, bukan kemampuannya. Dia tak suka menanam, tak suka bekerja dengan tanah. Kaya, ibunya, juga tak pernah menuntutnya lebih. Inilah yang membuat Amanda tak pernah ingin keluar dari lingkaran keluarga, hingga menemukan jati dirinya sebagai trans.
Amanda jelas beruntung. Tapi banyak transpuan di negara ini tak mengalami perlakuan serupa. Mayoritas terpaksa harus meninggalkan keluarga untuk bebas mengekspresikan dirinya.
Keesokan paginya, saya diajak Amanda menghadiri acara pernikahan, berjarak 6 kilometer dari rumahnya. Di lokasi, Amanda mengenalkan temannya. Namanya Aqila, saat kami bertemu dia menggunakan sarung di pinggangnya, konsentrasi melilitkan kain putih di tiang tenda. Ada juga Aan dan Ajeng yang mengangkat sofa ke pelaminan. Yudi menawarkan kami teh, sedangkan Tri menata meja. Mereka amat sibuk. Dua jam lagi, pukul 10.00, akad nikah akan berlangsung. “Capek. Tapi kalau selesai dengan baik, kita juga puas lihatnya,” kata Aqila.
Aqila dan kawan-kawannya itu juga transpuan. Akibat keringat, kaos di punggungnya berbintik air. Aqila adalah ahli dekorasi untuk pesta perkawinan khas Sulsel. Dia mengaku sudah bekerja sejak pukul 04.00 pagi, agar pelaminan siap sebelum akad.
Di Sulawesi Selatan, etos kerja transpuan sudah kesohor. Kaum trans diakui sanggup bekerja tanpa kenal lelah saat menggeluti berbagai bidang. Namun, citra sebagai pekerja keras itu tak membuat mereka terbebas dari diskriminasi. Selalu ada transpuan yang mengalami caci maki. Ada orang yang menuduh mereka pembawa sial, pemicu bencana, hingga penyebar penyakit sosial yang menular.
Menariknya, bagi sebagian trans di Sulsel, kerja keras mencari duit adalah satu-satunya jalan mereka tetap diterima keluarga. “Teman saya harus kerja terus. Kalau dia tak bawa uang pulang ke rumahnya, dia bisa saja diusir dan dianggap sebagai beban keluarga,” kata Amanda.
Bagi Amanda, tak seharusnya transpuan kabur dari keluarga hanya karena berusaha jujur pada jati diri mereka. Saat teringat kawan-kawan transpuan lain yang terusir, Amanda menengadahkan kepala, agar air matanya tak tumpah. “Kalau [terusir], di mana mereka mau berlindung. Ada banyak teman yang akan membantu, tapi pulang ke rumah sendiri adalah yang terbaik.”
Sepulang dari pesta perkawinan, saya menyampaikan pada Kaya, bahwa pilihannya menerima identitas gender Amanda terhitung kurang lazim di mata masyarakat Sulsel. Kaya tersenyum. “Saya mau ubah bagaimana Manda, itu [identitas sebagai trans] dia sendiri pilih,” katanya. “Itu juga dari Tuhan. Kalau ada yang bicara tidak-tidak pada bencong saya biasa tegur.”
“Biasa kalau ada orang tanya, ‘berapa anakku’, saya bilang tiga. Tapi [saya bilang juga] saya jago melahirkan karena ada yang keluar laki-laki, besarnya jadi perempuan.”
Amir Yusri, sang kakak sulung, dianggap Amanda sebagai orang yang paling berjasa memberikan dukungan agar dia teguh menjadi transpuan. Ketika Amir meninggal 10 April 2021, Amanda sempat ingin menyudahi proses seleksi di Miss Trans Global. Hatinya terpukul dan terguncang hebat.
“Saya sama kaka tidak ada disembunyikan. Saya mau ke Jakarta, tidak ada uang, dia kasih. Apapun jika untuk kebaikan, dia akan senang,” kata Amanda.
Kemenangannya sebagai Miss Trans Global Asia-Pasific, dipersembahkan untuk mendiang kakaknya. “Dia tidak lihat saya menang. Kalau dia lihat pasti dia senang sekali. Tapi ini untuknya, biar saya dan teman-teman berjuang, agar masyarakat mau menerima kami seperti identitas gender lainnya, seperti kakak saya menerima saya, secara pribadi.”
Kesungguhan Amir mendukung Amanda diperlihatkan sejak awal. Tahun 2009, dua tahun setelah Amanda membuka diri dan bergaul bersama komunitas Transpuan di Luwu Utara, Amanda memutuskan ikut ajang peragaan busana di Masamba. Dia membuat gaunnya sendiri dan memamerkannya di panggung yang disesaki banyak orang. “Kakak saya sudah menikah, tinggal di Malangke, jauh sekali dari Masamba. Dia datang nonton malam-malam.”
“Saya tidak juara waktu itu, tapi itu pertama kali [ikut peragaaan]. Senang sekali, apalagi ada kakak nonton.”
Setelah itu, Amanda, semakin berani membuat desain gaunnya sendiri. Dia memilih bahan dan membentuknya sesuai keinginan. Dia menjadi sering ikut lomba, terutama yang digelar di wilayah Bugis. Tahun 2011 hingga 2015, desain busananya mulai rutin menang dan mulai mendapatkan perhatian.
Puncaknya, Amanda memenangkan ajang Miss Universe untuk Transpuan di Sulawesi Selatan tahun 2015. Setahun kemudian, dia juga menjadi juara ketiga Miss Trans Indonesia di Jakarta. Kemenangannya itu, membuka pintu dalam berkomunitas. Persatuan Waria Luwu Utara (Perwalut), memintanya menjadi pengurus inti dan menjadi Wakil Ketua.
Di Sulawesi Selatan, ajang festival pemilihan miss trans yang disebut sebagai Porseni Waria, seharusnya menjadi agenda rutin Kerukunan Waria Bissu Sulawesi Selatan (KWRSS). Tapi sejak Januari 2017, perhelatan yang seharusnya di gelar di Kabupaten Soppeng, diikuti berbagai perwakilan bahkan dari Kalimantan, akhirnya tak terlaksana karena dibubarkan kepolisian.
Tahun itu, dikenal sebagai Poseni terkahir Transpuan di Sulawesi Selatan. Berbagai upaya dilakukan komunitas untuk menggelarnya kembali, tapi selalu mendapatkan penolakan dari kepolisian dan ancaman pembubaran dari beragam organisasi masyarakat. Penolakan ini mengherankan Amanda.
“Saya diskusi sama beberapa teman, kenapa lima tahun terakhir selalu ada penolakan. Padahal dulu tidak?” katanya.
Dia akhirnya bergabung dan menjadi anggota Komunitas Sehati Makassar tahun 2015. Sehati, kata Amanda, membuka dan mengubah banyak cara pandangnya. Dia belajar mengenai SOGIESC (sexual orientation, gender identity, expression, sex characteristic), sembari mengikuti pelatihan paralegal.
“Saya pikir sendiri dan melihat faktanya. Kalau sekarang ada banyak penolakan pada teman-teman trans dan LGBT, karena semakin massifnya organisasi fundamental yang mengaitkan kami sebagai pembawa bencana. Ini mengerikan sekali.”
Meski diterima oleh keluarga, hinaan tetap hal yang lazim dihadapi Amanda. Akhir 2020, ketika Amanda mengurus dokumen di kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Luwu Utara, seorang perempuan tiba-tiba menghujatnya. Perempuan itu menuding perilaku para Transpuan penyebab banjir bandang di Masamba, Juli 2020.
Amanda mendekati perempuan itu, dan menjawabnya dengan tegas. “Kalau saya buat banjir, saya kasi banjir sekarang. Tapi nda terjadi toh ibu,” katanya, sembari berlalu.
Penolakan macam ini kadang membuat hati Amanda ciut, sebelum akhirnya dia teringat wajib jadi panutan bagi transpuan lain. “Menjadi Miss Trans Global adalah prestasi luar biasa. Tapi [status juara] menjadikan harus lebih kuat, saling berbagi dan saling menguatkan,” katanya.
“Kami lahir dengan identitas sebagai seorang Trans, tidak ada yang memintaku. Tak ada bedanya dengan hetero atau identitas gender lainnya.”
Kami menunaikan salat Jumat di masjid dekat rumah Amanda. Saat motor belum lama berhenti di depan masjid, Amanda bergegas turun dan langsung masuk mendengarkan ceramah. Saya melipir ke samping masjid, berbagi rokok dengan para Jemaah lain. Mereka adalah para lelaki desa Ujung Mattajang. Kami bersalaman dan saling memperkenalkan diri. “Ouwww temannya Manda?” kata beberapa orang ketika saya memperkenalkan diri.
Amanda adalah keluarga sekaligus sahabat orang-orang di kampung itu. Dia dikenal sebagai sosok yang hangat dan penyayang. Serombongan anak-anak, yang berlarian, rutin membeli jajan di warung Amanda.
Amanda adalah nama pilihannya sejak Sekolah Dasar. Dia menemukannya secara acak dan mengatakannya pada keluarga, kalau senang dipanggil Amanda. Tambahan Sandova di belakangnya adalah potongan nama dari pemenang putri Indonesia tahun 2009, yakni Qori Sandioriva. Lalu orang pun menyingkatnya menjadi Manda.
“Om tahu siapa nama kecil Amanda?” kata saya pada salah satu jamaah.
“Ooo, kulupa mi. Karena lebih akrab dan dari dulu memang Manda. Padahal dia keluargaku, saya lupa betul,” ujarnya.
Amanda tersenyum mendengar cerita itu. Dia berencana menjadikan Amanda sebagai nama resminya di KTP, apalagi kebijakan negara sudah memungkinkannya. Tapi prosesnya bakal memakan waktu lama.
“Kalau itu selesai, kita bisa membuat pilihan kita menjadi nyata. Kami hanya ingin hubungan setara, hubungan yang baik antar sesama manusia,” cetusnya. “Seperti semua orang.”
Eko Rusdianto adalah jurnalis lepas yang bermukim di Makassar. Liputannya yang lain untuk VICE bisa dibaca lewat tautan berikut.