Olahraga

Bisakah Pemerintah Geser Fokus dari Sepakbola ke Cabor yang Terbukti Berpretasi?

Badminton dan angkat besi konsisten menyumbang medali di Olimpiade, pendanaannya tetap lebih rendah dari sepakbola. Tapi kata jurnalis olahraga senior, semua cabor kurang diperhatikan kok
Anggaran kemenpora untuk Bulutangkis dan Angkat Besi yang rutin sumbang medali Olimpiade kalah dari PSSI
Greysia Polii dan Apriyani Rahayu memamerkan medali emas pertama bagi Indonesia di sektor ganda putri bulutangkis, pada Olimpiade Tokyo. Foto oleh Lintao Zhang/Getty Images

Sebagai negara dengan persentase penggila bola yang ditaksir nomor dua terbesar sedunia, wajar ketika masyarakat terus memelihara mimpi melihat tim nasional Indonesia suatu saat mengangkat trofi Piala Dunia.

Masyarakat Indonesia begitu menggilai sepakbola, sehingga rutin mendebatkan isunya sampai naik pitam di Twitter. Indonesia bahkan punya kelompok penggemar klub papan atas Eropa, macam Real Madrid dan Juventus, sampai klub biasa saja macam Torino FC dan Parma (oke, pernyataan ini mengundang cercaan). Suporter klub sepak bola lokal? Jangan ditanya. Kita pernah dapat pengakuan dunia sebagai suporter paling passionate di Asia.

Iklan

Pemerintah penginnya juga gitu. Anggaran negara untuk membiayai pemusatan latihan nasional (pelatnas) olahraga sepanjang 2020 menempatkan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) sebagai penerima dana terbanyak, senilai Rp50 miliar. Jauh di atas badminton dan angkat besi yang “hanya” Rp18 miliar dan Rp10 miliar. Tradisi anggaran jumbo untuk sepakbola ini terus berlanjut, meski dua cabang olahraga yang disebut belakangan terbukti lebih konsisten menjadi sumber kebanggaan pemirsa olahraga Indonesia, dalam berbagai kompetisi internasional.

Kontrasnya prestasi sepak bola timnas Indonesia dibanding, misalnya badminton dan angkat besi, makin kentara di Olimpiade Tokyo. Tim sepak bola lolos putaran final saja enggak. Sementara per 2 Agustus 2021, angkat besi menyumbang 1 perak dan 2 perunggu. Pebulutangkis Greysia Polii dan Apriyani Rahayu bahkan baru saja mencetak sejarah di Olimpiade Tokyo, meraih medali emas untuk sektor ganda putri yang pertama dalam sejarah negara ini.

Saat cabor yang kurang populer seperti panahan atau angkat besi sudah mencetak prestasi di ajang Olimpiade, pengelola sepakbola nasional terkesan masih terus kesulitan ngumpulin 11 orang terbaik di antara 270 juta penduduk, yang mampu mengamankan setidaknya tiket lolos ke putaran final Piala Dunia.

Iklan

Buat pembaca yang mikir anggaran pembinaan PSSI bisa sebanyak itu karena sepak bola dimainkan tim dan perlu staf berlimpah, begini hitungannya: sepak bola lewat PSSI dapat Rp50 miliar per tahun dari negara. Dana itu dipakai untuk membiayai atlet dan staf timnas berjumlah 61 orang. Kasarnya, ada anggaran Rp800 juta per orang di sana.

Bandingkan dengan angkat besi yang lewat Perkumpulan Angkat Besi Seluruh Indonesia (PABSI) mendapat Rp10 miliar untuk 28 orang (Rp350 juta per orang), atau badminton lewat Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) dijatah Rp18 miliar untuk 45 orang (setara Rp400 juta per orang). Alhasil, dana untuk pembiayaan sepakbola tetap lebih besar.

Situasi ini memercik pertanyaan publik terkait skala prioritas pengembangan olahraga nasional: Gimana kalau duit bermiliar-miliar itu difokuskan saja ke cabang olahraga yang terbukti sukses, sehingga para atletnya bisa mendapat fasilitas kelas satu dan gaji layak? 

Untuk memahami isu anggaran pembinaan cabor ini, VICE menghubungi jurnalis olahraga senior Ainur Rohman dari harian Jawa Pos. Kepadanya kami bertanya, apa benar pemerintah menjadikan sepak bola sebagai anak emas, sehingga meski tak berprestasi, anggaran besar terus digelontorkan?

“Orang-orang selalu membandingkan sepak bola lebih diurus dan diperhatikan daripada cabor lain, padahal enggak juga. [Kenyataannya] sepak bola juga tidak diperhatikan secara baik,” kata Ainur.

Iklan

Indikatornya, menurut Ainur, terlihat dari pembinaan, kompetisi, penyediaan pelatih, dan liga-liga yang belum dikelola serius. “Beberapa liga [sepak bola] kita, terutama level bawah itu kacau sekali: permainan skor dan judi [terjadi].”

Ainur memaparkan bahwa kita punya potensi sepak bola yang sangat besar. Ia lantas menceritakan hasil obrolannya dengan Ferril Raymond Hattu, mantan kapten tim nasional sepak bola Indonesia, peraih medali emas SEA Games 1991 Manila, yang mengambil lisensi kepelatihan di Belanda.

“Dia [Raymond] melihat anak-anak usia 5-9 tahun di Belanda itu secara talenta enggak ada apa-apanya dibandingkan Indonesia. [Timnas] kita kan lumayan untuk usia dini 16-19 tahun, tapi masa perkembangannya tidak terurus dengan baik. Banyak bibit, tapi tidak berkembang karena tidak menjalani program secara benar,” tutur Ainur.

Saat menyinggung angkat besi, Ainur menyorot bagaimana salah satu lifter Indonesia yang berangkat ke Olimpiade Tokyo, Rahmat Erwin Abdullah, sekian tahun lalu sempat harus berlatih dengan fasilitas seadanya di Makassar. “Dia [Rahmat] kan latihan di [Stadion] Mattoan seperti itu [seadanya], latihan malam pakai lampu petromaks. Ini kaliber Olimpiade loh, dapat perunggu, latihannya seperti itu,” cerita Ainur prihatin.

Iklan

Semakin penasaran, saya menghubungi Sonny Kasiran, Wasekjen Pengurus Besar PABSI, untuk bertanya apakah pihaknya memang merasa dianaktirikan. Kepada VICE, Sonny menceritakan jajaran PABSI bersyukur karena tiga tahun belakangan pemerintah akhirnya memberikan dukungan dana pelatnas kepada angkat besi. “[Dikasih] sejak sebelum Asian Games 2018. Ini tahun keempat,” kata Sonny. 

Informasi ini bikin siapa pun yang mendengarnya patut sedih. Angkat besi sudah memberi medali level Olimpiade sejak gelaran di Sydney tahun 2000, tapi para atlet dan pelatih baru mendapat gaji bulanan pada 2018.

Dari dana pelatnas senilai Rp10 miliar itu, PABSI berkreasi mengadakan fasilitas untuk menunjang latihan atlet, mulai dari barbel, mini-platform, sauna, dan whirlpool. “Langkah pemerintah [memberi dana] ini sudah maju sekali. Sebelum [tiga tahun ini] enggak ada. Selama ini kalau mau pergi [lomba] ya [kirim] proposal dulu, dicoret-coretin. Akhirnya berangkat minimalis, mau kualifikasi olimpiade aja biasanya kita ngemis sana-sini dan patungan,” kenang Sonny. Saat ini, anggaran dari pemerintah membuat mereka tak perlu bingung ketika ingin ikut kompetisi secara layak.

Pertanyaan selanjutnya, apakah anggaran Rp10 miliar setahun dianggap cukup untuk meningkatkan prestasi angkat besi? Saat ini, total atlet angkat besi Indonesia yang mengikuti pelatnas ada 13 orang. Sonny menuturkan harapan agar anggaran bisa menyokong jumlah yang ideal: 60 orang atlet terdiri dari 20 atlet remaja, 20 atlet junior, dan 20 atlet senior. Selain itu, mereka butuh tempat latihan sendiri.

Iklan

“Saya sih merindukan angkat besi itu punya padepokan [tempat latihan] sendiri seperti bulu tangkis. Angkat besi itu kan bayangan orang seperti olahraga angkat semen, [bisa dilakukan] di depan pagar rumah gitu, jadi lapangannya kecil di pojokan. Padahal, tempat latihan angkat besi di Tiongkok misalnya, itu luas-luas,” kata Sonny. 

Saat ini PABSI biasa bikin latihan pelatnas dengan menyewa mes milik Markas Komando Pasukan Marinir di Jalan Kwini 2, Jakarta Pusat. “Tadinya kan gedung enggak dipakai. Kita perbaiki pakai dana itu [pelatnas] dikit-dikit. [Kami] nyewa, tapi harga damai, hahaha…,” jawab Sonny.

Ainur bercerita, total anggaran pemerintah untuk pengembangan olahraga saban tahun senilai Rp2 triliun. Angka ini menurut Ainur sebetulnya terlampau sedikit. “Kalau menganggap Rp2 triliun besar, itu kalau kita enggak membandingkan dengan apa pun. Tapi kalau dibandingkan dengan Kementerian Pekerjaan Umum misalnya [hampir Rp150 triliun], itu enggak ada apa-apanya,” jawab Ainur.

Ia mencontohkan Proyek 119 milik Tiongkok punya anggaran Rp140 triliun per tahun untuk pengembangan olahraga atletik, renang, kano, dan layar demi medali emas olimpiade. Program tersebut ditengarai membuat Tiongkok amat digdaya saban Olimpiade digelar, bersaing dengan Amerika Serikat.

Iklan

Lantas, adakah jalan agar pemerintah mampu “mencari uang” untuk membiayai perkembangan para atlet? Ainur memberikan beberapa contoh. Di Inggris, pembiayaan atlet disumbang dari publik lewat lotre. Namun, metode judi ini sulit diterapkan di Indonesia, karena ada sebagian masyarakat anti dengan wacana legalisasi perjudian. Adapun di Tiongkok, negara punya kuasa meminta anak-anak calon atlet masuk ke sistem pembinaan. Kita beberapa kali melihat foto-foto anak kecil Tiongkok latihan sambil nangis-nangis. Cara ini juga relatif sulit diterapkan di Indonesia.

“Yang bisa jadi percontohan itu seperti Kazakhstan. Di sana ada proyek namanya Astana Project. Jadi, BUMN di Kazakhstan ‘dipaksa’ [negara] untuk membiayai cabang olahraga tertentu,” jelas Ainur.

Cara pelibatan swasta/BUMN seperti ini sebenarnya sudah cukup banyak presedennya, contohnya sepak terjang PB Djarum menelurkan bibit-bibit atlet badminton Indonesia. Lewat program macam ini, Ainur berharap pemerintah tidak bergantung pada swasta murni dan segera menunjuk BUMN untuk memilih cabor masing-masing untuk dikembangkan.

“Sama seperti Korea Selatan mengurusi panahan lewat Hyundai dan KIA. Sejak kecil udah ada pelatihan bagus, ada liganya, kompetisinya bagus, gaji besar, serta peraih emas olimpiade dapat gaji seumur hidup.”

Karena kunci dari segala kunci perkembangan olahraga ada di anggaran pembinaan, kami menghubungi Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Gatot S. Dewa Broto untuk menanyakan: Apakah ada rencana anggaran para atlet dari cabor yang terbukti bikin bangga negara ini akan ditambah?

“Kita lihat nanti,” kata Gatot lewat pesan singkat.