peluang bisnis Peleburan emas dan tembaga dari rongsokan sampah elektronik CPU komputer
Tumpukan mainboard yang dapat dilebur untuk mencari kandungan emas dan tembaga. Semua foto oleh Hafitz Maulana.
Lika-Liku Profesi

Berburu Emas dalam Setumpuk Merkuri: Pertaruhan Berisiko Pelebur Sampah Elektronik

Ini primadona baru pemain barang rongsok di Indonesia. Bekas komputer yang dilebur mengandung emas dan tembaga bernilai lumayan. Namun, risiko kesehatan yang tinggi membayangi pelakunya.

Pengepul rongsokan selalu meyakini setiap barang yang tak lagi bertuan adalah uang. Namun kini ada satu komoditi rongsokan panas yang sedang menjadi tren di dunia barang bekas: sampah elektronik.

Ian, pengepul asal Karawang, Jawa Barat, termasuk yang getol mengumpulkan sampah khusus barang elektronik bekas, dari layar monitor sampai jerohan komputer. Sudah hampir enam tahun dia menggeluti bisnis ini, dan tak pernah dia berpaling dari sampah elektronik.

Iklan

“Bos saya selalu meminta [mengumpulkan] itu,” katanya saat dijumpai VICE di lapak miliknya yang berlokasi di bilangan Antasari, Jakarta Selatan. “Hasilnya [cukup] lumayan.”

Buat memperoleh sampah elektronik, Ian biasanya melakukan dua cara. Pertama, bergerilya dari satu lapak ke lapak lainnya. Kedua, memborong dari kantor atau sekolah yang tengah melakukan peremajaan fasilitas elektroniknya.

Rupa barang elektronik bekas yang diminati para pengepul, seturut keterangan Zakaria, pedagang rongsok yang beroperasi di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, tak jauh-jauh dari unit pemroses sentral (CPU) dan mainboard.

“Karena itu yang punya harga lebih baik ketimbang, katakanlah, [layar] monitor atau yang lain,” ungkapnya seraya menghidupkan batang rokok yang ada di tangannya.

Penentuan nilai CPU bekas tidak bisa dipukul sama rata. Harga bakal tergantung usia suku cadang komputer. Bila CPU itu sudah tua, dalam artian level Pentium, maka sekali jual cuma dapat sekitar Rp40 ribu. Sementara untuk ukuran Core 2 Duo, nilai jualnya dapat lumayan tinggi: kurang lebih Rp300 ribu.

67e46d2f-7e7e-4498-82f2-0425ff6882c4.jpg

Koleksi mainboard di lapak Ian yang siap dijual kembali. Harganya bisa mencapai Rp80 ribu asalkan kondisinya bagus. Semua foto oleh Hafitz Maulana

Hal serupa juga terjadi pada mainboard. Ian mengaku bahwa harga jual terendah mainboard bisa sampai Rp6 ribu saja, sementara harga paling tinggi dapat mencapai Rp80.000. Selisih keuntungan yang diperoleh dari penjualan mainboard, katanya, sekitar 30 hingga 40 persen dari harga beli di lapak maupun borongan.

Alasan CPU serta mainboard jadi semacam primadona di kalangan pedagang sampah elektronik karena di dalamnya terdapat kandungan emas maupun tembaga yang, apabila diolah kembali, masih bernilai tinggi.

Iklan

Inilah yang kemudian membikin bisnis sampah elektronik jadi menggiurkan—sekaligus berbahaya.

Nur sedang beres-beres kala kami tiba di gudangnya yang terletak di daerah Terogong, Jakarta Selatan. Bersama satu pegawainya, Nur membenahi beberapa bagian lantai dan dapur dengan semen. Menurutnya dua bagian tersebut “sudah layak diganti.”

“Ini [kami] baru buka juga beberapa hari yang lalu,” terang lelaki 42 tahun ini kepada VICE. “Karena Corona, kami hampir tutup selama tiga bulan. Nah, berhubung ini juga sudah ada himbauan untuk normal lagi, ya, kami buka pelan-pelan.”

Sama seperti Ian dan Zakaria, Nur adalah pengepul sampah elektronik. Dia membangun bisnisnya sejak 2000, dimulai dari perongsok keliling yang biasanya Anda jumpai dengan menarik gerobak. Perlahan, bisnisnya maju yang lantas membuatnya berani untuk berusaha secara tetap. Sekarang, dia memiliki belasan pegawai.

Wabah Covid-19, rupanya, turut berdampak pada bisnis Nur. Selama beberapa bulan terakhir, dia tak maksimal mengumpulkan sampah elektronik. Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) terpaksa menutup sebagian besar keran pendapatannya. Nur tidak bisa berbuat apa-apa.

Untuk Nur sendiri, pemasukan dari sampah elektronik ditopang oleh pengumpulan sekaligus penjualan CPU dan mainboard, sebagaimana pengepul elektronik pada umumnya. Akan tetapi, Nur tak membatasi varian dagangannya. Tak jarang, dia turut berjualan mesin printer bekas sampai kertas hasil rontgen yang dia dapatkan dari Rumah Sakit Pondok Indah.

Iklan

Rantai bisnis sampah elektronik, terang Nur, diisi empat elemen. Di tingkat terbawah, atau yang paling kecil, terdapat perongsok keliling. Barang rongsok, termasuk sampah elektronik, dari mereka lalu dijual ke pengepul macam Nur.

“Saya kemudian memilahnya, mana [barang] yang masih bagus, mana yang enggak terlalu,” paparnya. Usai dipilah, sampah elektronik tersebut bakal disalurkan lewat pelebur yang, Nur bilang, “kebanyakan dari luar Jakarta.”

Para pelebur, bisa dibilang, merupakan komponen krusial bisnis sampah elektronik. Mereka garda terdepan dalam proses pengolahan; bagaimana membikin barang-barang bekas merupa sesuatu yang bernilai tinggi. Meski bergelimang bayangan kekayaan yang dihasilkan dari emas, kerja-kerja mereka penuh risiko, terutama dari segi kesehatan.

Sebelum terjun ke dalam usaha peleburan, Sumarna, 43 tahun, lebih dulu kerja di proyek, sebagai supir pengangkutan barang. Kerja di proyek, kata dia, terhitung bikin hidupnya berkecukupan. Dia bisa beli rumah, menabung, sampai menyekolahkan anaknya hingga jenjang perkuliahan.

“Sudah lama [kerja] di proyek. Mungkin ada sekitar 10 tahun,” Sumarna memberi tahu VICE. “Cukup nyaman juga karena saya bisa hidup dengan baik, walaupun pendapatan enggak besar juga.”

Namun, Sumarna tidak memungkiri kerja di proyek, dengan rutinitas yang begitu-begitu saja, membuatnya dilanda kebosanan. Dia butuh tantangan. Gayung akhirnya bersambut. Pada suatu hari, dia bertemu seorang kawan lamanya yang jadi pelebur sampah elektronik. Sumarna seketika terkesima dengan apa yang temannya lakukan.

Iklan
91405ce5-7c27-4eab-8f6b-9a4e3b7fa7cf.jpg

Zakaria, pengepul sampah elektronik dari Cilandak, Jaksel, sedang berada di gudang miliknya. Semua foto oleh Hafitz Maulana

Untuk Sumarna, kerja melebur sampah elektronik semacam itulah yang dia harapkan: menantang sekaligus kompleks. Ditambah, dia bisa belajar hal baru, dari titik nol, sehingga kemampuan yang dimilikinya meluas—tak sekadar mengendarai mobil pengangkut barang.

“Akhirnya saya memutuskan berhenti dari proyek. Saya menemui teman saya itu dan belajar dari dia bagaimana cara mengolah sampah elektronik jadi barang yang menguntungkan,” demikian jelasnya.

Tentu, selalu ada tantangan di setiap profesi. Sumarna, ambil contoh, mesti gagal berkali-kali dalam masa percobaan melebur sampah elektronik. Baik karena dia salah perhitungan atau peralatannya yang tidak bekerja maksimal.

Sumarna tidak menyerah. Motivasinya justru bertambah berkali-kali lipat demi menghasilkan peleburan yang paripurna. Setelah dirundung kegagalan, tiba juga kesuksesan Sumarna dalam melebur sampah elektronik.

“Waktu pertama kali berhasil, rasanya puas sekali. Saya enggak bisa berhenti seneng,” katanya yang disambut gelak tawa.

Sumarna menjelaskan bahwa proses peleburan sampah elektronik melibatkan banyak langkah, di mana antara satu dan lainnya saling berhubungan erat. Bila satu langkah saja dihilangkan, Sumarna mewanti-wanti, maka prosesnya tak bisa berjalan dengan baik.

Langkah pertama adalah melepaskan seluruh komponen yang terpasang pada sampah elektronik, dalam hal ini mainboard, dengan menyelupkan masuk ke cairan kimia asam klorida maupun merkuri sepanjang dua hingga tiga jam. Setelah terlepas, pelebur akan menyaring dan mendinginkannya.

Iklan

Tahapan berikutnya, usai komponen tersebut benar-benar dingin, barulah dicuci sampai bersih sebelum diberi boraks untuk dilelehkan. Proses pencairan ini, biasanya, terang Sumarna, memakai tungku api tradisional makan waktu kurang lebih 10 sampai 15 menit. Langkah terakhir, usai semua tahapan dilakukan, ialah memurnikannya dengan asam nitrat.

Dalam sebulan, Sumarna bisa menjalani proses peleburan sebanyak enam kali, dengan perolehan tiga hingga empat gram emas sekali proses. Emas-emas inilah yang nantinya dibeli oleh pedagang emas pada umumnya. Mereka akan mengecek terlebih dulu tingkat kemurnian hasil olahan Sumarna. Jika cocok, emas pengolahan akan dibawa dan Sumarna mampu memperoleh keuntungan kurang lebih Rp900 ribu.

Di titik inilah peleburan sampah elektronik adalah kegiatan yang berisiko sebab melibatkan senyawa kimia yang berbahaya bagi kesehatan tubuh seperti merkuri dan nitrat. Sumarna bukannya tidak sadar dampak tersebut. Sebagai antisipasinya, dia selalu menggunakan penutup wajah, sarung tangan yang tebal, maupun sepatu agar terhindar dari kemalangan.

“Yang tersiksa itu sama [asam] nitrat. Asapnya bikin batuk, perih mata, atau bisa sesak napas. Ada teman saya yang sampai dirawat di rumah sakit karena enggak kuat,” ungkap ayah dari dua anak ini.

Selain itu, untuk lokasi peleburan, Sumarna melakukannya di kebun dekat rumahnya yang terletak di Depok, Jawa Barat. Sengaja memilih kebun agar asap tidak mengganggu warga sekitar dan pengolahan limbahnya pun dapat diatasi secara komprehensif.

Iklan

Ihwal tempat peleburan sampah elektronik ini memang seringkali mengambil lokasi di kawasan yang luas. Maka dari itu, seperti kata Zakaria, peleburan sampah elektronik tidak akan ditemukan di Jakarta karena karakter daerahnya yang padat pemukiman dan penduduk.

“Orang kalau bakar kabel saja bisa diprotes, apalagi bakar sampah elektronik yang pakai [bahan] kimia,” ujar Zakaria sembari tertawa. “Biasanya, sih, [peleburan] ada di Depok, Bekasi, atau Tasikmalaya. Semakin dekat pabrik atau punya lahan yang luas, semakin bagus dan aman.”

Pada kenyataannya, bisnis sampah elektronik tidak benar-benar sepenuhnya aman. Dunia tengah menghadapi pertumbuhan sampah elektronik yang begitu masif seturut dengan peningkatan konsumsi maupun produksi barang elektronik. Laporan bertajuk “The Global E-waste Monitor 2017” menyebutkan bahwa pada 2021 diprediksi akan ada 52,2 juta ton sampah elektronik dengan pertumbuhan tahunan rata-rata sebesar tiga sampai empat persen tiap tahunnya.

Banyaknya sampah elektronik yang dihasilkan lalu membuat kian terbuka lebarnya praktik daur ulang—termasuk peleburan—yang menargetkan kandungan emas sampai tembaga di dalamnya. Masalahnya, praktik peleburan semacam itu, lebih-lebih yang dilakukan secara tradisional, artinya tanpa menggunakan peralatan serta tata cara yang berstandar modern, membahayakan kesehatan para pelakunya.

Kajian yang dibuat Kristen Grant dkk, berjudul “Health Consequences of Exposure to E-waste: A Systematic Review” yang dipublikasikan di jurnal Lancet menjelaskan bahwa paparan limbah elektronik, yang ditimbulkan dari proses peleburan, dapat menyebabkan perubahan fungsi paru-paru, meningkatkan temperamen, sampai kelahiran prematur.

Iklan


Orang-orang yang bekerja di industri ini, menurut studi tersebut, juga punya potensi kerusakan DNA yang lebih besar ketimbang masyarakat yang tidak melakoni pekerjaan sebagai pelebur sampah elektronik.

Tak hanya itu saja, beberapa bahan macam logam berat seperti timbel (Pb) yang ada di kandungan material limbah elektronik dapat mengakibatkan anorexia maupun sakit otot. Sementara merkuri (Hg) bisa membikin sistem saraf otak remuk dan cacat bawaan.

Masalah sampah elektronik tak cuma menyerang dunia, melainkan juga sampai ke Indonesia. Data menyebutkan bahwa pada 2016, orang Indonesia rata-rata menghasilkan 4,9 kilogram sampah elektronik.

Bisa bayangkan berapa jumlah sampah elektronik yang dikeluarkan mengingat betapa banyaknya jumlah penduduk di Indonesia dan tingginya tingkat produksi alat elektronik itu sendiri dalam setiap tahun. Pada 2012, BPS menyebut produksi televisi saja, misalnya, menyentuh 12.500.000 kilogram setiap tahun.

Dampak sampah elektronik tersebut, mirisnya, tidak sebatas menyasar kesehatan masyarakat, melainkan juga lingkungan. Pada 2004, ambil contoh, sumur air penduduk di daerah Manjul, Jakarta Timur, terdeteksi kena pencemaran logam berat seperti seng sampai kadmium imbas adanya peleburan serta daur ulang sampah elektronik. Pencemaran ini membuat warga setempat gatal-gatal dan kena penyakit saluran pernapasan.

Pemerintah bukannya abai dalam mengatasi sengkarut limbah elektronik yang, menurut Konvensi Basel Annex VII, diklasifikasikan sebagai bahan beracun dan berbahaya (B3/hazardous waste).

Iklan

Melalui PP Nomor 101 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, ambil contoh, pemerintah bakal menindak tegas pelaku yang tidak mengatur limbahnya secara bijak—walaupun dalam regulasi tidak menyebut spesifik “limbah elektronik.”

Bagi mereka yang hendak mengolah limbah elektronik pun, oleh pemerintah, diharuskan memenuhi berbagai persyaratan seperti mengantongi izin pengangkutan, penyimpanan, pengolahan, sampai dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Ini artinya, pengolahan limbah elektonik tidak bisa dilakukan serampangan dan sembarang pihak.

fbae95da-e576-4394-a6ab-1b0dd492acde.jpg

Ian, pengepul rongsok elektronik, sedang duduk di lapaknya di daerah Antasari, Jakarta Selatan. Semua foto oleh Hafitz Maulana.

Sementara pada 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sedang membuat regulasi spesifik perihal kewajiban produsen melaksanakan EPR (Extended Producer Responsbility). Program EPR sendiri, pada hakikatnya, mewajibkan kepada para produsen untuk menarik kembali limbah elektronik yang berbahaya dan beracun demi menjaga lingkungan. Program ini sudah diterapkan di negara-negara seperti Taiwan, Korea Selatan, serta Swiss.

Kendati begitu, upaya yang ditempuh pemerintah dianggap belum cukup bertaji. Pasalnya, kasus pelanggaran yang berujung pada potensi kerusakan lingkungan masih terus terjadi. Data yang dihimpun KLHK dari 2015 sampai 2019 menyebut bahwa terdapat 709 kasus berkaitan dengan limbah B3—elektronik termasuk di dalamnya.

Sumarna mengaku selalu diselimuti kecemasan bilakelak usahanya dianggap melanggar hukum oleh aparat. Pasalnya, usaha peleburannya tergolong usaha rumahan. Oleh sebab itu, dia tak punya pelbagai izin yang ditentukan pemerintah lewat regulasi yang ada.

Iklan

“Kadang takut juga [kena grebek],” ujarnya, dengan nada pelan. “Tapi, alhamdulillah, sejauh ini aman. Lingkungan saya juga enggak kena dampak serius dari aktivitas ini. Saya berusaha sebaik mungkin mencegahnya.”

Jadi pelebur sampah elektronik tak ubahnya sedang bertaruh dengan nyawa sendiri. Sudah berisiko kena penyakit yang bahaya, ditangkap polisi karena tindakannya ilegal, serta berpeluang merugikan banyak orang dari adanya pencemaran lingkungan.

Rencana untuk berhenti dari profesi sebagai pelebur sampah elektronik bukannya tidak terlintas di kepala Sumarna. Tak lama lagi, dia berniat keluar dari pekerjaannya, terutama usai tekanan dari keluarganya cukup nyaring terdengar. Mau tak mau, demi kebaikan bersama, Sumarna bilang, rencana tersebut mesti diwujudkan.

Masih ada waktu tersisa, walaupun tak banyak. Selama sisa waktu itu pula, Sumarna bertekad memanfaatkannya untuk menari dalam petualangan penuh adrenalin, bergumul dengan asap kimia yang menyengat, demi sebongkah emas.

“Mumpung hidup cuma sekali, kan.”


Faisal Irfani adalah jurnalis lepas di Jakarta. Follow dia di Instagram

Semua foto oleh Hafitz Maulana, karya-karyanya juga bisa dilihat di laman ini.